[PACARAN] Part 15 : Kotu

1K 32 1
                                    

Sampai di rumah, Gio kena omel Ayah Tisa habis-habisan. Tapi bukan Gio namanya kalo belum menerima omelan Ayah Tisa.

Entah kenapa, Ayah Tisa jadi semakin posesif terhadap kedua anak perempuannya tersebut. Sampai-sampai ketika Ari datang ke rumah Tisa, Ayahnya langsung menginterogasi Ari.

Ari berusaha untuk tidak terlihat gugup ataupun kesal, karena ia benci semua hal yang sejenis itu dan lagi, kali ini yang menginterogasinya bukan sembarang orang, yaitu Ayah Tisa yang mungkin nanti jadi mertuanya.

"Yaudah, jangan malam-malam pulangnya! Maksimal jam 6 dari sana harus sudah pulang!"

Di luar rumah Tisa, Ari bernapas lega ketika Tisa tengah menutup pintu pagarnya.

"Kenapa?" tanya Tisa dengan senyum kecil yang berusaha muncul. "Jantungan."

"Kayak habis lari gitu ya? Ngos-ngosan gitu." Ledek Tisa. Ari segera merangkul Tisa dan berjalan beriringan menuju halte busway yang tidak jauh dari rumah Tisa.

Mereka berdua sengaja naik angkutan umum, katanya biar bisa berduaan lebih lama tapi di tempat ramai. Kalau mereka berduaan di dalam mobil, Ayah Tisa bisa ngamuk.

Setengah perjalanan mereka lewati, Ari tidak tau kalau kaki Tisa sedang sakit, dan Tisa juga masih berusaha menutupi ekspresi sakitnya. Sampai akhirnya Tisa meminta untuk beristirahat sebentar.

"Kamu capek? Mau aku gendong?" tawarnya. Tisa terdiam bingung, "emang kamu kuat gendong aku?"

"Cuman gendong kamu doang, bukan gendong gajahkan."

Tisa mendelik, tiba-tiba Ari sudah berjongkok di hadapannya. "Ayo naik! Keburu lutut gua pegel nih gara-gara kelamaan jongkok!"

"Ayo jalan!" seru Tisa yang sudah naik ke punggung Ari. Ari berjalan dengan menggendong Tisa menuju bus berikutnya.

Mereka berdua menjadi sorotan ketika masuk, sampai ada yang berbisik-bisik membicarakan mereka.

Tiba-tiba seseorang yang mengenakan topi dan masker yang duduk di dekat mereka bangkit. "Bang, ceweknya disuruh duduk aja." Ucapnya melirik Tisa sekilas lalu kembali menatap Ari.

"Wah, makasih Bang. Tis, duduk gih."

Mau tidak mau Tisa akhirnya duduk, untungnya kursi yang ia duduki bukan kursi prioritas. Jadi tidak perlu khawatir akan disuruh berdiri.

Dan hari ini, bus yang mereka tumpangi padat penumpang. Jadilah Ari berdiri dengan terdorong-dorong penumpang lain.

"Ri, mau gantian duduk? Nanti kita gantian lagi."

Ari segera mendorong pelan bahu Tisa yang hendak berdiri dari duduknya. "Nggak usah, guekan laki, jadi yang harus laki-laki prioritaskan itu perempuan."

👣

Matahari untuk hari ini tampak bersinar sangat terang. Mungkin sepulangnya nanti, kulit Tisa akan lebih gelap dari sebelumnya.

"Panas banget, Ri. Cari tempat adem yuk!" ajak Tisa yang menarik lengan Ari dengan langkah yang tertatih-tatih.

Ari berjongkok lagi di depan Tisa, "naik!" Tisa mengangguk dan segera naik ke punggung Ari. "Emang gue nggak berat apa? Kok lu mau gendong gue terus sih?"

"Berat sih sebenernya, mungkin ini tuh lebih berat dari anak gajah."

"Heh?! Yaudah gue turun aja."

"Bentar, nanti gue turunin lo di sana."

Ari masuk ke dalam museum wayang dengan Tisa digendongannya. Lalu membayar tiket untuk dua orang dewasa, karena mereka lupa membawa kartu pelajar mereka.

"Mas, itu ceweknya kenapa digendong?" tanya penjual tiket yang lain. "Kakinya dia lagi sakit, Mba, makanya saya gendong."

"Ih, so sweet banget!" gumamnya pelan. Lalu Ari beranjak masuk ke dalam, dan mendudukkan Tisa disebuah kursi kayu panjang yang ada.

"Kaki kamu kenapa sih?"

Tanpa menjawab, Tisa membuka sepatunya.

"Loh? Luka gini, kenapa?"

"Kena beling."

"Kok bisa?"

"Ya bisalah."

"Lu jangan sakit dong! Lu nggak tau apa, kalo lu sakit, gue juga ikut sakit!"

Just MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang