Cindy terbangun dari pingsannya. Sekelilingnya sudah gelap. Samar-samar Cindy melihat Enca terkapar di sampingnya. Pusing dan bau busuk masih menyengat.
Dengan sigap ia mengabari anggota geng lainnya.
Girls7
Cindy ya : Buruan ke Basecamp. Help me.
Setelah mengirimkan pesannya. Hp Cindy berukangkali bergetar tapi tenaganya habis. Tak lama kemudian ia kembali tak sadarkan diri.
"Saya nikahin kamu buat ngurus rumah sama Cindy! Bukan kelayapan jelas!"
"Aku kerja! Nggak kelayapan!"
"Harusnya dulu saya mikir 2x buat nikahin perempuan cabe cabean kayak kamu!"
Plakk!
Satu tamparan pipi mendarat dengan sukses.
"Terserah kalo kamu nyesel nikahin aku!" Perempuan itu menangis.
"Sekarang kamu pilih! Berhenti jadi model! Atau berhenti jadi istri saya dan ibu Cindy!"
"Aku ambil opsi ke dua!" Pilihan wanita itu menjerumus pada kerusakan rumah tangga yang sudah ia bangun 13 tahun itu.
Sering sekali bahkan hampir setiap hari. Tanpa memikirkan nasip makhluk lain yang semakin tertekan dengan situasi ini. Mereka berdua sama-sama egois. Hanya pekerjaan masing-masing yang kejar. Kadang mereka mengeluarkan keluh kesahnya kepada anak mereka.
Hingga dia mengalami stress. Takut pada orang dan enggan untuk keluar. Ia berpura-pura untuk bisu dan tuli pada dunia. Berpura-pura menjadi patung. Bahkan jika ia dilahirkan kembali dia ingin menjadi sebuah batu yang tetap diam tanpa mempunyai perasaan.
Sosiophobia yang dideritanya mengantarkan pada kehidupan barunya yang tak seharusnya dialami oleh bocah seumurannya. 'Lakukan apapun sesukamu' kata yang menyembuhkannya dari keterpurukan jiwa. Tapi baginya malah mengubah seluruh dunia lamanya. Dia tidak pernah menangis meski dalam keadaan apapun. Hanya ada beberapa kata yang mampu menggores hatinya. Dia sayang namun dia juga benci.
Maminya atau bahkan papinya dan asisten rumah tangganya semua membuatnya gila. Jika ada sebuah cahaya yang menyinari hidupnya maka ia akan mencarinya sampai dapat. Tapi takdir seperti berkata lain. Tidak ada yang peduli padanya.
"Cindy! Bangun Cin!" Bahu Cindy terasa digoncang-goncangkan. Perlahan lahan cahaya mulai memasuki pupilnya.
Ia langsung duduk. Dan mulai menceritakan semuanya hingga tuntas. "Kalian bawa Enca ke rumah sakit ya!" Perintah Cindy pada teman-temannya.
Namun pandangan temannya tidak bergerak memandang Cindy khawatir. "Gue baik-baik aja. Maaf gue nggak ikut nganter. Mau langsung pulang. Bau. Mau mandi."
Cindy berdiri lalu berjalan terhuyung-huyung menuju mobilnya yang sama baunya.
Pinggangnya terasa sangat sakit sekali. Ia pun mulai memegangnya dan benar ada darah di pinggangnya. Pandangannya sekejap kabur sekejap kembali sadar begitu seterusnya hingga ia sampai di depan gerbang rumahnya yang terbuka otomatis.
Masih dengan tangan yang memegang pinggangnya ia turun dari mobil. Samar-samar melihat seseorang di depan terasnya. Semakin ia berjalan seseorang itu semakin jelas di matanya. "G-gue mau ambil jaket." Katanya dengan suara berat khas seorang laki-laki
Semakin lama sangat jelas hingga reflek ia sebutkan namanya. "V-vano." Lirihnya sebelum ia jatuh tak sadarkan diri di pelukan Vano.
***
Cindy merasakan tangannya di genggam. Terasa sangat hangat dan nyaman. Ia menoleh ke sampingnya memastikan siapa yang menggenggamnya. Ia sama sekali tidak terkejut karna hal terakhir yang ia ingat adalah lelaki itu. Vano.
Beruntung Cindy tidak bermimpi hal menyedihkan yang pernah ia alami. Kejadian itu mengingatkannya pada sebuah masa yang mengubah segalanya. Jika di pikir-pikir apa yang Vano suka dari Cindy yang nakal dam tidak jelas itu. Atau jangan-jangan Vano hanya penasaran. Atau hanya ingin bermain-main? Atau hanya ingin menjadikan Cindy pelampiasan.
Cindy masih memandangi Vano dalam diam. Hanya memandang tidak berbuat apa-apa. Hingga Vano terbangun dari tidurnya.
"C-cin!" Mata mereka berdua bertemu. Memgingatkan tentang kejadian sosialisasi di SMP tempat pertama kali mereka bertemu. Mata hitam pekat dari Vano bertemu dengan mata cokelat dari Cindy. Kakeknya orang Belanda. Dan kakek dari ibunya orang Swiss. Mata yang indah berpadu menjadi milik Cindy.
Cindy masih diam namun ia segera mengubah posisinya menjadi bersandar pada dinding. Masih tanpa suara ia merasakan rasa nyeri di pinggangnya lantas segara ia pegang.
"Ada luka sayatan di sana. Kata dokter kemungkinan itu sayatan cutter atau gunting. Yang emang di sengaja." Vano mengerti Cindy merasakan sakit karna tangannya memgang perbanan di pinggangnya.
Melihat Cindy yang masih membisu Vano kembali berbicara. "Tapi kata dokter lo nggak bisu."
"Cerita sama gue siapa yang bikin lo layak gini." Vano mulai menjadi sok asik.
Tapi Cindy malah memalingkan wajahnya. "Gue mau ambil jaket tadi." Vano malah menggati topik pembicaraan.
"Nggak gue cuci."
Senyum Vano terukir mendengar suara jutek Cindy. "Nggak usah di cuci. Semprotin aja pake parfum lo."
"Harus?"
Vano mengangguk dengan tersenyum. "Biar gue bisa rasain kehadiran lo pas make jaket itu." Ujarnya.
"Jangan tinggalin aku." Lirih Cindy
"Jadi temen yang baik ya." Lanjutnya.
Padahal gue berharap lebih dari temen.
Vano mengangguk sambil terus tersenyum meski mukanya sangat kusut. Diliriknya jam di tangannya yang sudah menununjukkan pukul setengah dua pagi.
Dan ada banyak pesan serta panggilan dari orang tuanya. Rasanya tidak tega untuk meninggalkan Cindy sendiri. Jadi Vano berniat untuk mengabari Enca sahabat Cindy menggunakan hp Cindy.
Dan sekarang Vano tau semuanya.Berkali-kali Vano telfon tapi tetap saja tidak aktif. Akhirnya Vano menghubungi Sasa. Tak lama setelah itu sasa tiba di tempatnya.
Vano memandang teduh tubuh Cindy yang terbaring lemah. "Get well soon bocah." Lirihnya namun bisa didengar oleh Sasa meski hanya samar-samar.
Vano pergi meninggalkan Cindy di rumah sakit bersama Sasa. Badannya sangat lelah sekali. Dan ia harus menyiapkan mental mendengar ceramah dari mamah Ica. Belum lagi mendengar ceramah dari mamah Nafa. Dan mendengar ceramah mamah Yuli karna dia akan tidur di pelajaran ppkn nanti. Sungguh mulia hidup Vano penuh dengan ceramah-ceramah.
Subhanallah.
_______________
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bad Girl
Teen FictionTegas, berani, nakal namun sebenarnya rapuh ialah diri Cindy yang sebenarnya. Tidak seorangpun yang sadar dan peduli akan hal itu kecuali satu-satunya orang yang bimbang tentang kisah percintaannya selalu di kata brengsek namun ialah satu-satunya le...