Septiyan dan Nafa makan dalam diam. Hening tidak ada satu patah kata pun yang keluar. Awalnya Nafa yang memulai pembicaraan tapi semakin lama Septiyan semakin canggung untuk mengeluarkan suaranya.
Cindy dan Vano sudah pergi sejak 30 menit yang lalu. Tentunya mereka tidak bersama melainkan mempunyai urusan masing-masing.
Vano mengantarkan Mama nya pergi ke rumah sakit. Tempat di mana Mami Cindy sakit. Namun di sana Vano tidak menemukan Cindy. Vano juga tidak mau bertanya karna itu sama saja membongkar rahasia Mami Cindy.
Sedangkan Cindy saat ini sedang di dalam kamarnya. Sendiri dalam sunyi namun telinganya berisik. Iya karna ia hanya mendengar suara musik. Sembari merenungi segala peristiwa yang menimpanya akhir-akhir ini.
BRAAKK.
Pintu kamarnya terbuka dengan bunyi yang sangat keras. Kira-kira pintu itu baru saja di dobrak.
Cindy melepaskan headphone yang dipasangnya. Ia beranjak dari tempatnya dan menghadap wajah lelaki paruh baya yang seingatnya terakhir kali ia temui satu bulan yang lalu atau lebih mungkin.Cindy memandang wajah Papinya yang sudah memerah menahan amarah. Sekarang sudah sangat larut. Papinya sangat jarang pulang ke rumah. Sekali pulang pasti hanya satu atau dua jam.
"Kamu tu nggak capek apa buat masalah terus?!" Papi Cindy berteriak di depan wajah anaknya. Padahal harusnya ia merasa rindu dengan anak semata wayangnya itu.
Cindy mengernyitkan dahinya. Wajah datarnya berubah menjadi serius dengan sorot mata yang sangat tidak menyenangkan. "Maksud Papi apa sih?! Pulang-pulang malah marah-marah ga jelas!"
"Kamu pikir Papi nggak tau kelakuan kamu selama ini?!" Papi Cindy berteriak tanpa mengurangi tenaga dari teriakan sebelumnya.
Cindy menaikkan dagunya seperti menantang arah pembicaraan ini. "Papi emang nggak pernah tau, ya!" Cindy meninggikan suaranya.
"Papi tau, Cindy! Kamu sering pulang malam, ngerokok, minum-minum, bolos, rapor sekolah nggak pernah bener, panggilan orang tua, dan kamu pikir papi nggak tau?!!
Cindy tercekat. Ia mendengar pengakuan papinya tentang seperti apa dirinya yang sebenarnya. Ditambah lagi kalimat dari papinya selanjutnya sukses membuatnya merasa terhina.
".... dan kamu pikir papi nggak tau kalo akhir-akhir ini kamu clubing sama temen-temen kamu! Mau jadi apa kamu? Mau jadi JALANG kayak Mami mu, HA?!"
"Kamu itu cuma malu-maluin! Semua temen papi pada bicarain kamu!"
"CUKUP!" Cindy berteriak dengan histeris. Sudah Cindy katakan bukan? Ia sangat membenci kata itu. Tapi kali ini papi nya sendiri yang memanggilnya panggilan hina itu. Semua orang tidak ada yang peduli padanya tidak ada yang peka terhadap dirinya. Cindy juga hanya remaja labil yang ingin tau tentang dunia baru.
"Jangan berkata seolah papi yang paling suci di sini! Cindy juga tau papi dan mami cerai. Kerusakan keluarga kita karna papi yang suka main wanita bahkan sama pembantu itu!" Air mata Cindy keluar.
"Di saat mami kerja buat kita juga papi malah asik selingkuh dan berbuat zina sama dia!" Memori tentang kejadian itu kembali terinhat di ingatan Cindy.
"Cindy tau saat itu perusahaan papi sedang ada masalah besar. Cindy tau. Setiap malem mami bingung gimana caranya nyelamatin perusahaan papi. Tapi papi malah ngga tau diri." Ingatan tentang hal buruk yang seperti menuntut untuk diungkit kembali.
"Papi nuduh mami yang nggak-nggak saat karir mami udah di atas!"
"Papi mikirin aku nggak saat itu?! Papi mikirin gimana nasib aku nggak? Bocah SD yang lihat gimana papinya sendiri bercumbu di depan tv bersama pembantu!" Dada Cindu naik turun karna nafasnya yang tidak teratur
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bad Girl
Teen FictionTegas, berani, nakal namun sebenarnya rapuh ialah diri Cindy yang sebenarnya. Tidak seorangpun yang sadar dan peduli akan hal itu kecuali satu-satunya orang yang bimbang tentang kisah percintaannya selalu di kata brengsek namun ialah satu-satunya le...