"Pasti. Aku pasti membatalkan perceraian kita! Aku gak akan membiarkan anak kita tumbuh tanpa ayah! Dan aku akan berusaha apapun caranya supaya kita bisa kembali! Meski nyawa taruhannya!!"
Ucapan Ali semalam terus terngiang-ngiang dikepala Prilly, semakin sulit rasanya untuk menjauhinya, bahkan semalaman Ali terus menemani Prilly tanpa mau beranjak sedikitpun. Jika pengacara tahu maka akan lebih sulit mengabulkan permintaan gugatan cerai Prilly, karena nyatanya yang mereka lihat Ali dan Prilly baik-baik saja, artinya tidak ada alasan untuk mereka berdua melanjutkan perceraian.
Kriett...
Barusaja Prilly memikirkan nasib perceraiannya dengan Ali, kini orang tersebut kembali menampakkan diri.
"Sarapan dulu umi.." katanya seraya mendekati brangkar Prilly.
"Aku gak laper." Prilly mengalihkan pandangannya kesembarang arah. Mendengar kata 'umi' keuar lagi dari mulut Ali setelah sekian lama menghilang rasanya ada yang nyeri. Tidak terasa matanya memanas, kenapa jadi se-sensitif ini hanya karena mendengar itu? Sepertinya pengaruh sang jabang bayi.
"Hey, kok malah nangis?" Dengan sigap Ali langsung menghapus air mata yang mulai mengalir membasahi pipi berisi milik Prilly.
"Kenapa li? Kenapa sekarang? Disaat posisi kita udah kayak gini??" Prilly makin terisak tak kuasa menahan tangis. Jujur dilubuk hati paling dalamnya, ia senang mendapat perlakuan manis Ali, tapi disisi lain separuh hatinya masih terlalu sakit mengingat pengkhianatan Ali padanya.
"Maaf... aku emang terlalu berengsek buat kamu, aku bukan suami yang baik, aku juga bukan abi yang patut dijadikan panutan! Aku menyesal pril.." Ali tertunduk menyesali semuanya. Meski ia tahu penyesalannya tidak akan berdampak apa-apa untuk keadaan sekarang, tapi Ali berharap Prilly mau sedikit saja memberinya kesempatan, setidaknya kesempatan untuk memperbaiki perannya sebagai abi bagi anak-anaknya.
"Sudahlah li, penyeselan juga gak akan merubah apapun. Aku mohon.. biarkan aku bahagia bersama anak-anak. Dan kamu juga bisa bahagia bersama keluarga barumu!" Setelah sepersekian detik saling terdiam akhirnya Prilly menegaskan dengan pernyataan tetap ingin berpisah dengan Ali.
"Aku gak bisa bahagia tanpa kalian! Kebahagiaan aku cuma ada dikeluarga kecil kita!"
"Tapi semuanya udah beda li! Kamu gak bisa egois kayak gini, kamu pikirkan perasaan Uti, dia anak kandung kamu yang selama ini kamu sia-siakan! Dia butuh kamu sebagai ayahnya."
"Uti anak yang baik, dan kamu juga orang yang baik, aku gak mau dia hidup bersama orang jahat seperti ibunya. Dengan kamu tetap bersama Uti, aku juga akan merasa aman karena Uti ada bersama orang baik, yaitu kamu ayahnya li!" Ali mengepalkan tangannya kuat-kuat hingga buku-buku jarinya tercetak jelas. Prilly menghakimi dengan pendapatnya sendiri. Dia selalu memikirkan perasaan orang lain, selalu seperti itu.
"Kamu ngomong kayak gitu, artinya kamu membiarkan aku mengulang kesalahan untuk kedua kalinya! Kamu mau aku ninggalin kamu dalam keadaan mengandung, dulu aku meninggalkan Uti saat dia masih dalam kandungan. Lalu apa bedanya kamu dengan Widi??" Ucap Ali dengan nada dingin menahan gejolak kemarahan.
Bukan, Ali bukan marah pada Prilly, justru Ali marah pada dirinya sendiri dan keadaan yang membuat dirinya ada diposisi sulit ini.
Kriett
"Permisi.." dokter semalam bersama dua perawat masuk memecah kehening yang terjadi antara Ali dan Prilly pasca perdebatan mereka. Untuk saat ini sepertinya diam lebih baik, karena berdebat pun percuma, tidak akan membuahkan hasil.
"Mas Ali, saya cek lagi ya istrinya, semoga sudah normal dan bisa segera pulang." Ucap dokter Meli meminta izin. Ali balas menganggukkan kepalanya kemudian bergegas menunggu diluar.
"Mas Ali.. sudah bisa masuk sekarang." Salah satu perawat memberitahu Ali.
"Bagaimana dok? Apa istri dan calon anak saya baik-baik saja?" Tanya Ali cemas.
Doter Meli tersenyum simpul.
"Sejuah ini kondisi mba Prilly dan si jabang bayi sudah sangat membaik, dan alhamdulillah sudah bisa pulang."
"Alhamdulillah.. terimaksih dokter." Ali mengucapkan syukur dan bernapas lega. Kecemasan diwajahnya berganti dengan binar bahagia.
"Oh iya mas Ali, dijaga baik-baik ya istrinya, karena kondisi kandungan mba Prilly kali ini cukup lemah, jangan banyak pikiran, apa lagi sampai stress." Dokter Meli memberi wejangan dan warning untuk pasangan yang ia ketahui artis tersebut.
"Baik dokter. Terimakasih.."
"Kalau begitu kami permisi, semoga lancar sampai persalinan nanti."
-------------------
"Istirahat ya sayang, ingat kata dokter jangan capek-capek, jangan banyak pikiran."
"Iya mamaku sayang.." Prilly tersenyum lembut membalas perlakuan mamanya yang luar biasa itu menurutnya. Mama Alya selalu ada disamping Prilly apapun keadaannya. Super women.
"Mama Dewi makasih juga ya selalu khawatirin ii.." Prilly beralih menatap mama mertuanya dengan rasa haru. Mama mertuanya itu tak kalah super womennya dengan mamanya sendiri, Dewi selalu mengkhawatirkan menantu dan cucu-nya, meskipun Ali adalah anaknya, Dewi tidak pernah berpihak pada Ali karena Ali memang salah.
"Kembali kasih sayang... meskipun mama gak tinggal satu rumah sama ii, mama akan selalu ada buat ii kapanpun ii butuhin mama, ii anak mama sampai kapanpun." Balas Dewi tak kalah tulus. Dari zaman dulu Ali dekat dengan Prilly, Dewi langsung klop dengan Prilly, entahlah seperti ada magnet yang menariknya untuk menyayangi wanita mungil itu.
"Udah ah, jangan melow-melow lagi, umi harus happy biar dede dalam sini juga happy." Ucap Ali sembari mengelus perut rata Prilly disela kehangatan melihat ibu dan istrinya yang penuh cinta.
"Eh?" Prilly terjengit kaget mendapat perlakuan spontan Ali.
"M...maaf," Ali tiba-tiba salah tingkah. Alya dan Dewi saling berpandangan dengan lengkungan dibibirnya. Ada perasaan bahagia saat melihat anak-anak mereka kembali bersatu. Ya.. meskipun belum normal seperti sediakala tapi para orang tua cukup bahagia melihat anak-anaknya yang akhirnya mau menurunkan ego masing-masing.
"Mama keluar dulu ya.." pamit Alya diikuti Dewi dibelakangnya.
"Umi juga istirahat ya?" Ucap Ali sembari menaikkan selimut untuk menutupi tubuh Prilly sampai dada.
Prilly hanya mengangguk membalasnya. Ia mencoba berdamai dengan ego-nya, teringat pesan-pesan dan nasehat kedua orang tuanya.
"Um...." Uta mematung diambang pintu tidak melanjutkan panggilannya kala melihat didalam kamar ada seseorang yang belakangan ini ia benci.
"Uta, abang udah pulang?"
"Berhenti! Jangan deketin aku!!" Pekik Uta menghentikan langkah kaki Ali saat ingin mendekatinya.
"Sayang, gak boleh gitu sama abi." Tegur Prilly tidak nyaman. Sungguh Prilly melihat kilatan kesedihan dimata Ali saat ditolak oleh putranya sendiri.
"Umi jangan belain dia! Dia itu orang jahat!! Pergiiiiii!!!!" Uta berusaha mendorong Ali keluar dengan sekuat tenaga.
"Uta!! Awwssss..." Prilly meringis memegangi perutnya yang tiba-tiba keram saat beranjak ingin menghentikan aksi putranya.
"Umi!!!!"
-----------------
Sepertinya Please, Forgive me akan segeras selesai dan aku udah siapin story baru lagi 😃
KAMU SEDANG MEMBACA
Please. Forgive Me
FanfictionSebuah kebohongan besar dimasa lalu membuat Ali dibenci oleh Prilly. Ali harus merelakan dirinya kehilangan keluarga yang merupakan sumber kebahagiaannya, dibenci pula oleh keluarga besarnya, bahkan dihujat habis-habisan oleh para fansnya. Kebohonga...