Aku tahu, aku mungkin terlalu terburu-buru dalam mengambil keputusan. Tapi aku jg tahu, kalau aku harus segera pergi menjauh dari Rafly, karena kalau tidak. . . . , aku yakin kejadian itu akan terulang lagi. Aku tak menyangkal kalau apa yg terjadi antara kami adalah pengalaman yg sangat manis. Tapi hal itu juga. . . . , mengguncangku. Dg caraku dibesarkan, adat dan ajaran agamaku, menjadi gay adalah terlarang. Bersama dg Rafly adalah suatu kemustahilan bagiku. Aku tak yakin kalau aku menginginkannya. Jadi, aku pergi. Atau mungkin lebih tepatnya, melarikan diri. Aku tahu ini tindakan pengecut. Tapi, pilihan apa yg kupunya?!
Setelah masa karantina selama 2 minggu, siapa sangka, akhirnya aku menjadi juara ke 3 dalam ajang pemilihan wajah sampul itu. Dan jelas, aku mendapat banyak tawaran pekerjaan disini setelahnya. Dengan alasan itu, aku meminta untuk meneruskan sekolahku disini. Tante Ruli cukup mebantuku untuk meyakinkan Ummi dan Abi. Meski dengan berat hati, mereka mengijinkanku. Tapi dengan syarat, aku harus tinggal bersama Tante. Aku dengan cepat menyetujuinya sembari berjanji dalam hati, aku akan tinggal sendiri saat lulus SMA nanti.
Disini, dalam dunia model ini, mulanya aku sedikit jengah. Karena ternyata, dunia asing yg pernah kurasakan bersama Rafly, sudah bukan menjadi hal yg aneh. Apalagi dalam dunia entertaint. Banyak kutemui atau kudengar para pelaku dari dunia gay yg sudah mengaku secara terang-terangan. Tapi aku tak tertarik. Aku menjauhkan diri secara sopan dan baik-baik dari dunia itu. Juga dari dunia gemerlap yg hanya menawarkan kenikmatan sesaat. Hingga pernah suatu saat sebuah majalah memberiku sebutan model alim.
Dunia model kujalani karena aku memperoleh banyak manfaat darinya. Selain pekerjaan yg cukup menghasilkan, dg menjadi model waktuku akan berguna secara efektif. Dan aku tak perlu diam terlalu lama memikirkan Rafly. Meski sering sekali aku teringat padanya. Tapi aku berusaha mati-matian untuk tak menghiraukannya.
Kupusatkan konsentrasi dan tenagaku pd pendidikan dan pekerjaan. Aku mencoba hidup normal, kembali pd ajaran-ajaran yg telah lama ku anut dan kupercaya. Akupun lebih selektif dalam memilih pekerjaan.
Kuakui, aku hampir tak tahan untuk kembali mencari Rafly. Apa lagi pd bulan-bulan pertama keberadaanku di Jakarta. Tapi aku takut, bingung dan menyangkal habis-habisan perasaanku. Hal itu absurd dan mustahil terjadi. TIDAK BOLEH terjadi! Jadi aku berusaha mati-matian untuk melupakannya. Menjauh dari segala sesuatu yg berhubungan dg Rafly. Termasuk kampung halamanku.Selama 3 tahun aku menjalani kehidupanku di Jakarta, dan tak sekalipun aku pernah pulang ke kampung halamanku. Aku telah kuliah disebuah perguruan tinggi negeri yang cukup terkenal dan juga tinggal dalam apartemenku sendiri. Aku tak pernah kembali kedaerah asalku. Dg alasan pekerjaan dan yg lainnya, aku selalu menolak permintaan orang tuaku untuk pulang, hingga akhirnya orang tuaku yg datang ke Jakarta untuk merayakan hari-hari besar bersama. Dan selama itu, hanya satu kali aku mendengar lagi nama Rafly disebut.
Pada waktu pertama kali orang tuaku datang, Ummi memberiku sebuah bungkusan. Beliau bilang seorang temanku yg bernama Rafly datang mencariku kerumah. Dia tak mengatakan apa-apa, hanya menitipkan bungkusan itu. Saat kubuka, isinya adalah pakaianku yg kupakai saat kehujanan waktu itu. Juga selembar surat yg hanya berisi satu kata;
KENAPA?!
Malam harinya, untuk pertama kalinya, aku menangis hebat. Hingga dadaku terasa luar biasa nyeri.
Hingga kemudian 3 tahun itu berlalu.Orang bijak berkata bahwa sedalam apapun sebuah luka, suatu saat, seiring dg berlalunya waktu, pasti akan sembuh juga. Tapi sialnya, orang bijak brengsek yg membuat kalimat itu jg tidak tahu pasti, berapa lama tepatnya waktu yg dibutuhkan agar luka itu benar-benar sembuh.
Dan kini 3 tahun berlalu. Ku jalani kehidupanku di Jakarta dg berbagai kesibukan. Baik kerja dan kuliah. Dan masih juga sesekali, Rafly terbayang di benakku. Ada luka yang masih kurasakan menganga dalam diriku. Aku masih bertanya-tanya bagaimana keadaannya sekarang, apa yg dia lakukan, atau apa yg dia pikirkan. Meski tiap kali hal itu terlintas, aku selalu berusaha menyingkirkannya. Mencoba melarikan diri darinya. Ada sedikit kesadaran samar yg kuacuhkan, kalau dg perginya aku dari kampung halamanku, pd hakikatnya, aku tidak saja melarikan diri dari Rafly saja. Tapi aku jg melarikan diri dari kenyataan yg tak pernah mau aku akui. Kenyataan yang bahkan aku membuatku terlalu takut hanya dengan mengatakannya saja.
Untuk sementara, aku pikir aku telah terbebas dari semua itu. Sampai akhirnya aku bertemu Jeffry.
![](https://img.wattpad.com/cover/127446512-288-k527628.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMOIRS II (Dimaz' classic story)
General Fiction*Cerita ini bertema gay, bagi yg homopobic silahkan menjauh... Budayakan membaca biar gak salah. * cerita ini gw ambil dri blognya mas SONI DUAINNE yaitu soniduainne.blogspot.com dan gw uda minta ijin ke beliau. *FB, soni prabowo damian duainne *...