Pagi itu aku bangun sebelum Jeffry membuka mata. Perlahan agar dia tak terusik aku turun dan melangkah kekamar mandi sembari berkernyit menahan perih. Disana, aku berdiri sejenak menatap bayangan wajahku dikaca. Aku melihat diriku yang tampak kusut, lelah dan super berantakan. Ada tanda-tanda berwarna merah bekas dari percintaan yang tampak pada beberapa bagian tubuhku. Dan juga sakit dibagian belakang tubuhku yang bisa menjadi bukti akan liarnya perbuatanku semalam. Aku benar-benar terlihat tak karuan. Orang yang melihatku pasti bisa langsung menyimpulkan apa yang telah kulakukan semalam.
Tapi ada sedikit ketenangan diwajah yg membayang di cermin itu. Karena kini, mulai saat ini, aku putuskan untuk menerima perasaanku. Berdamai dengan kemelut yang selalu kuhindari. Aku tak akan lari lagi. Aku tak akan meninggalkan Jeffry seperti aku meninggalkan Rafly. Aku akan mencoba memahami semuanya. Menerimanya. Dan menghadapi apapun yang akan terjadi nantinya. Aku ingin tahu, sampai dimana semua ini akan berlangsung.
Dengan tekad itu aku mandi membersihkan tubuhku dari sisa-sisa percintaan semalam. Sempat beberapa kali berdesis sakit saat membasuh bagian belakang tubuhku yang ternyata robek berdarah. Lalu akupun turun ke bawah untuk membuat sarapan.
Aku sedikit bergumam sembari memasak omellet. Pengennya sih masak sambil goyang-goyang dikit seperti yang biasa aku lakukan dirumah. Tapi perih ditubuhku mencegahnya. Jadi aku hanya bergumam saja sembari menggerak-gerakkan kepalaku.
"Apa yang sedang kau lakukan?!"
Aku berbalik dengan cepat sehingga kembali berjegit ketika nyeri ditubuhku terasa. " Hei! Sudah bangun? Aku sedang menyiapkan sarapan untukmu. Have a sit!" kataku lagi dan kembali pada omeletku yang hampir matang.
"Kenapa kau tidak langsung pulang saja?" tanya Jeffry lagi. Nadanya yang sedikit tidak enak membuat punggungku agak menegang. Aku mengangkat omellet ku yang telah matang dan meletakkannya dipiring saji.
"Maaf?" tanyaku pelan, berusaha terdengar wajar meski dadaku mulai berdebar keras.
"Bukankah kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan semalam? Jadi tak ada gunanya lagi kau disini," kata Jeffry santai lalu mengambil piring omellet ditanganku. Dia lalu duduk dan menyantapnya dengan tenang. Sementara aku masih termangu dengan reaksinya yang dingin acuh. Seolah-olah apa yang terjadi pada kami semalam tak ada maknanya sama sekali.
"Bisa kau perjelas?" tanyaku sedikit bergetar karena gugup dan cemas mulai merambatiku.
Jeffry mengangkat muka dan menatapku dengan mimik heran. "Soal?" tanyanya tak mengerti.
"Kau. . . . ," aku menarik nafas, ". . ingin aku pergi?" tanyaku dengan perasaan sedikit ngeri.
Jeffry mengangkat bahu, "Kalau kau tak keberatan! Hari ini aku libur, jadi aku ingin istirahat saja. Dan jangan berharap kalau aku akan mengulangi yang semalam. Aku tak tertarik," ujarnya tanpa beban.
Tubuhku terasa dingin mendadak, "Apa. . . .a-apa yang terjadi semalam menurutmu?" tanyaku lagi, masih dengan nada gugup.
"We fucked!" jawab Jeffry enteng. "Itu yang kau inginkan selama ini bukan? Kau ingin aku mencumbumu. And that's what we did last night. Aku sudah memberimu apa yang menjadi keinginanmu."
"Kau pikir aku kesini hanya untuk . . . tidur denganmu?" tanyaku lagi dengan suara tercekat.
"Ada yang lain?" tanya Jeffry heran.
Aku menggeleng tak percaya. Ya Tuhan! Apa yang sebenarnya kulakukan?! pikirku ngeri. "Jeffry. . . apa yang aku. . . , kita," ralatku cepat, ". . . , lakukan semalam tak ada artinya bagimu?"
Jeffry menatapku, tampak berpikir sejenak. "Tidak! Haruskah?"
Aku menelan ludah pahit, benar-benar tak percaya kalau dia mampu mengatakan itu dengan enteng. Dia tak tahu kalau hal itu sudah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun membuatku sakit kepala. Sering aku tak bisa tidur semalaman karena memikirkannya. Dan dia mengatakannya seolah-olah hal itu bukan hal yang berarti. "Aku mempertaruhkan kewarasanku semalam! Aku harus. . . ,berjuang mati-matian untuk bisa melakukan apa yang kita lakukan semalam. Butuh waktu bertahun-tahun bagiku untuk memikirkannya dan kau. . . , ingin membuangku begitu saja?"
"Kau ingin aku mengatakan apa?" tanya Jeffry balik sedikit sinis. "Bahwa kita sudah terikat? Bahwa kita punya hubungan yang khusus? Bahwa kita saling jatuh cinta dan akan bersama selamanya? That we have such a great chemistry?" Jeffry mendengus keras. "Please! What do you know about me?! Kau tahu kapan ulang tahunku?"
Aku tak bisa menjawab.
Senyum mengejek kembali tersungging dibibirnya. "See?! Kau hanya tertarik pada tubuhku. Dan kau sudah mendapatkannya semalam? Apa lagi? Please, don't be such a drama queen. Kita tak memiliki apa-apa. Kau tak tahu apapun tentangku. Apa yang kau ketahui cuma sekumpulan berita burung yang mungkin kau sendiri ragu akan kebenarannya. Aku juga tak tahu apapun tentangmu. Jadi lupakan ide romantis konyolmu."
Hening yang lama dan mencekam!
Ya Tuhan, betapa bodohnya aku?! Apa yg sebenarnya aku harapkan? Bahwa kami akan menjalin suatu hubungan? Bahwa dia akan mengatakan kalau dia mencintaiku? He has a point. Kami nyaris tak mengenal masing-masing. Tapi yang jelas, dia telah membangunkan sesuatu yang selama ini tertidur dalam diriku, dan tak pernah terusik oleh yang lain. Itu pasti bermakna sesuatu kan? Dan aku tak mungkin melepaskannya begitu saja, seperti aku melepaskan Rafly.
"Ta-tapi . . . ," aku berdehem untuk mengumpulkan suara, "Tidak bisakah kita mencobanya?" pintaku pelan. "Aku akui. . . , aku tak tahu apapun tentangmu. Tapi aku akan mencari tahu. Aku akan menjadi orang yang paling memahamimu. Tolong Jeff,beri aku. . . . , kita!" ralatku lagi cepat, ". . kesempatan. Kau. . . . , telah membuatku merasakan sesuatu yang selama ini hanya pernah kurasakan sekali."
"Seperti Rafly?" tanya Jeffry sinis.
Aku termangu. Aku ingat kalau pernah mengucapkan nama itu dengan keras didepannya. Saat aku pikir kalau aku berhadapan dengan Rafly. Akupun terdiam, tak tahu harus bagaimana.
"Siapa dia?" tanya Jeffry lagi dan menatapku dengan intens.
Aku membuang muka dan menghela nafas sejenak. "Cinta pertamaku," jawabku. "Orang yang pertama kali membuatku jatuh cinta. Cowok pertama. Aku. . . . , melarikan diri darinya."
"Apa yang membuatmu tidak lari dariku?"
"Kata-katamu. Bahwa aku tak akan pernah bisa lari dari diriku sendiri. Apa yang terjadi antara aku dan Rafly membuatku ketakutan setengah mati. I was just sixteen! Karena itu aku lari. Dan aku tak ingin melakukannya lagi. Aku ingin menghadapinya."
"Kenapa harus denganku?"
"Karena tak pernah ada yang bisa membuatku seperti ini selain kamu!" jawabku sedikit terlalu keras. "Aku ingin mencoba untuk memahaminya denganmu. Aku ingin . . . . memiliki sesuatu denganmu."
Jeffry diam sejenak. "Aku tidak suka dengan ikatan! Aku orang yang bebas. Maaf!" kata Jeffry dan bangkit.
"Jeff!!" panggilku cepat membuatnya berhenti. "Aku tak akan pergi! Aku akan membuatmu menginginkanku!" tegasku padanya.
Perlahan dia berbalik dan menatapku datar. "Lakukan apapun yang kau mau! Tapi jangan harap aku melakukan hal yang seperti kau inginkan!" katanya acuh dan pergi.
Begitu dingin! pikirku. Penolakannya benar-benar membuatku hampir kehilangan rasa. Butuh beberapa saat bagiku untuk pulih dari kebasku. Mungkin ini karma atas apa yang pernah aku lakukan pada Rafly! Tapi yang jelas, aku tak akan membiarkan kali ini berakhir seperti Rafly! tekadku dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMOIRS II (Dimaz' classic story)
Ficción General*Cerita ini bertema gay, bagi yg homopobic silahkan menjauh... Budayakan membaca biar gak salah. * cerita ini gw ambil dri blognya mas SONI DUAINNE yaitu soniduainne.blogspot.com dan gw uda minta ijin ke beliau. *FB, soni prabowo damian duainne *...