Kulihat Jeffry berpegangan pada sebuah batang pohon yg berukuran lumayan besar. Dan untungnya, ada sebuah karang besar yang menjorok keluar dengan permukaan yang cukup landai tak jauh dibawahnya.
"JEFF!!!" panggilku cemas.
Jeffry melepas pegangannya pada batang pohon itu sehingga tubuhnya merosot pada batu karang yang agak landai itu. Dengan berhati-hati aku segera mendekatinya. Meski kering, tanah disini cukup curam kemiringannya. Kalau sampai aku terpeleset, semua akan jadi bertambah runyam.
"Jeffry!! Kamu nggak apa-apa?" tanyaku cemas dan berjongkok untuk memeriksanya.
"You think?!" erangnya geram. Perlahan dia mendudukkan dirinya. Kulihat bagian belakang bajunya robek dan mengeluarkan darah. Punggungnya terluka. Dan juga kakinya tampak baret-baret. Dia meringis menahan sakit. Pasti perih sekali. Ya Tuhan!! Apa yang telah kulakukan?!
"Kita harus kembali ke undakan," kataku cepat dan membantunya bangkit. Kusampirkan satu lengannya kebahuku. Jeffry mendesis kesakitan saat aku menegakkannya, tapi tidak protes.
"Terimakasih sudah melukaiku. Ini yang kedua setelah kau menabrakku. So what next? Kau akan melemparku keluar pesawat?" tanyanya dengan rahang terkatup menahan sakitnya.
"A-a-aku g-gak. . . "
"Shut up dan kembalikan saja aku pada peradaban normal! Aku masih ingin hidup!" desisnya dingin tanpa menungguku membela diri. Aku tak bisa bereaksi karenanya. Dadaku masih berdebar kencang karena kejadian tadi. Dan syukur pada Tuhan, tebing itu tidak lurus kebawah. Karena kalau sampai Jeffry jatuh pada batu karang disana, bisa dipastikan kalau dia. . . .
Aku bergidik ngeri membayangkannya.
"M-maaf," gumamku pelan dan dengan penyesalan yang dalam.
Tak ada sahutan dari Jeffry dan kami pun melangkah kembali ke undakan semen itu dengan berhati-hati. Jeffry yang terpincang mengikuti papahanku.
Perjalanan keatas kami lalui dalam diam. Kalau tadi pada saat turun aku sudah kepayahan, kini pada waktu naik aku benar-benar harus berusaha mati-matian. Kali ini bebanku ditambah dengan membantu Jeffry, juga sedikit lelah akibat pemotretan tadi. Aku benar-benar nyaris tak mampu untuk melangkah. Tapi aku harus menguatkan diri karena kondisi Jeffry. Dia harus segera mendapatkan perawatan untuk luka-lukanya. Jadi dengan susah payah, kami terus melangkah sambil sesekali berhenti untuk mengambil nafas .
Setelah beberapa lama aku sudah merasa akan pingsan. Ulu hatiku terasa nyeri. Aku mencoba mengacuhkannya karena tahu kalau kami harus segera sampai. Apa lagi saat kulihat Jeffry yang kupapah. Wajahnya mulai memucat sehingga aku semakin merasa cemas. Kugigit bibirku untuk menahan diri meski aku juga merasa kepayahan dan hampir pingsan. Kami harus segera sampai diatas, batinku dan kembali melangkah. Rasa-rasanya mustahil kalau kami bisa sampai kesana. Tadi siang, perjalanan kebawah sepertinya hanya memerlukan waktu beberapa menit, maksimal mungkin setengah jam jika ditempuh dengan santai. Tapi sekarang saat naik, terasa sudah berjam-jam kami melakukannya. Udara yang semakin terasa dingin dan suasana yang semakin gelap membuatku bergidik ketakutan. Apa jadinya kalau kami justru terjebak ditempat ini? Aku menyesal kenapa tadi aku tak membawa ponselku?! Tapi. . . . memangnya disini ada sinyal ya?
Saat aku sudah hampir menyerah, kudengar panggilan beberapa orang diatas kami. Kulihat Mas Arya dan yang lain segera turun menyosongsong kami dengan tergesa. Belum pernah aku merasa selega ini melihat orang lain.
"Apa yang terjadi Jeff?" tanya Mas Arya yang memeriksa Jeffry dengan matanya. Jelas dia tahu kalau kami bukannya berpelukan dalam konteks romantis.
"Tadi aku tergelincir Ya!" kata Jeffry sebelum aku bisa menjawabnya. Dia segera melepas pegangannya padaku dan ganti menyampirkan lengannya pada Mas Arya. Anehnya, meski aku sudah kepayahan, aku ingin tangan Jeffry tetap dibahuku. Aku tetap ingin menjadi orang yang membawanya keatas. Ada perasaan tak enak yang kurasakan saat melihat dia dipapah oleh Mas Arya. Aku merasa bahwa akulah yang seharusnya melakukan itu. Aku yang menyebabkannya terluka.
Penyesalan didadaku semakin terasa besar dan memberat.
Yang lain cepat-cepat memanggil dokter. Dan Jeffry pun ditangani segera setelah dokter itu datang. Dokter itu juga memeriksaku. Tentu saja, komentarnya hanya terdiri dari dua kata. Kelelahan dan kaget. Jadi aku hanya butuh istirahat dan minum multivitamin yang dia berikan. Meski tubuhku terasa sakit semua dan harus beristirahat, sebenarnya aku ingin melihat keadaan Jeffry. Tapi tentu saja Mas Arya dan yang lain memaksaku untuk istirahat saja karena besok pagi kami akan kembali ke Jakarta, sehingga aku tak punya pilihan lain. Aku mencoba memejamkan mata. Kupikir akan sulit, karena kekhawatiranku akan keadaan Jeffry tak juga hilang, meski tadi dokter sudah meyakinkanku bahwa dia baik-baik saja. Tapi nyatanya, karena kelelahan dan pengaruh obat, aku terlelap dalam hitungan menit.Pagi harinya aku terbangun dengan kaki yang masih terasa nyeri, meski tubuhku sudah agak mendingan. Setidaknya kelelahan kemarin sedikit terbayar oleh tidur awal semalam. Hingga kemudian aku teringat pada Jeffry. Aku sontan bangun. Dengan cepat aku mandi dan mengepak barang-barangku. Selesai, aku langsung menuju kamar Jeffry.
Pintunya terbuka. Aku melongokkan kepalaku dan melihatnya sedang mengemasi barang-barangnya. Jalannya masih agak terpincang, tapi selebihnya dia terlihat baik-baik saja. Dia memakai celana panjang sehingga aku tak bisa melihat bagaimana luka disana. Tapi pada tangannya, aku bisa melihat beberapa perban yang direkatkan.
Saat melihatku, dia menghentikan apa yang dilakukannya tapi tak mengatakan apapun. Kami saling menatap sejenak dalam diam.
"Apa?" tanya Jeffry akhirnya, memecah keheningan. "Punya cara lain untuk membunuhku yang akan kau coba?" tanyanya datar.
"Aku nggak pernah punya niat untuk membunuhmu!" tukasku cepat. "Apa istilah itu tidak berlebihan?" gerutuku lagi. Pilihan kata-katanya membuatku terdengar seperti seorang psikopat sadis.
"Menabrakku dengan mobil, lalu mendorongku dari tebing. Hhmmm. . . . ," Jeffry berlagak berpikir keras, "Kalau itu perwujudan rasa cintamu padaku, mungkin kau harus berfikir ulang akan apa makna cinta sebenarnya Maz!" simpulnya singkat. Tentu saja aku tak terima.
"Aku nggak. ."
"Cemburu itu wajar! Tapi kan tidak harus dilampiaskan dengan cara yang sadis dan mengerikan bukan? Kita bisa membicarakannya dengan baik-baik," cerocos Jeffry memotong kalimatku.
Aku ternganga tanpa kata saking kagetnya. Ngoceh soal apa sih dia?! Apa kemarin kepalanya terbentur ke batu sehingga dia gegar otak gini? Atau mungkin sudah sinting beneran?
"Aku gak nyangka lho, dibalik wajah kalem dan alimmu itu, ternyata kau orang yang cukup menakutkan," lanjutnya lagi seolah-olah dia sedang memberitahuku kalau satu tambah satu itu ada dua. Seakan-akan dia cuma sedang membicarakan hal umum yang anak SD saja bisa mengerti. Bukannya menjelaskan tentang kesimpulannya yang jelas-jelas absurd dan sepihak itu.
"Kau sinting!" gumamku tak percaya.
"Hei! Aku bukan orang yang berusaha membunuh orang yang kusukai dengan mendorongnya dari tebing karena cemburu," kata Jeffry sembari kembali membereskan barangnya.
"AKU NGGAK SU. . . .," aku langsung sadar kalau aku hampir saja berteriak kesal. "Aku nggak suka denganmu," desisku dengan rahang terkatup geram. Mungkin aku tak harus menyesal dengan kejadian kemarin, pikirku lagi jengkel.
Jeffry telah selesai mengepak barangnya dan kini berjalan terpincang mendekatiku sambil menyeret kopernya. Lalu berhenti persis didepanku. "Menurutku kau suka padaku. Kau cemburu karena aku bercumbu dengan Whitney didepan mukamu. Kau suka sekali padaku, tapi kau takut untuk mengakuinya. Karena aku tahu bagaimana matamu memperhatikanku. Terlebih lagi saat aku telanjang. Kau menyukainya sampai-sampai kau tak tahan untuk menyentuhku. Dan kau marah saat ini karena aku telah mengatakan tentang sebuah fakta yang kau sendiri, tak mau mengakuinya. And you know what. . . ?" dia mendekatkan bibirnya ketelingaku sementara aku tanpa sadar menahan nafas. "Tadinya aku juga menyukaimu," bisiknya dan tanpa kuduga dia mengulum bagian bawah telingaku dengan bibirnya yang lembut, membuatku sontan menarik wajahku yang telah memerah darinya. Mataku terbelalak tak percaya.
Jeffry tersenyum sinis dan kembali berdiri tegak. "Tapi sayang sekali, aku tak tertarik untuk berhubungan dengan orang yang sakit jiwa," lanjutnya tenang lalu dia mengambil kameranya yang dari tadi kupegang karena kemarin belum sempat kukembalikan padanya. "Dan ini milikku! Good bye Dimaz!" katanya singkat lalu pergi meninggalkanku yang terpaku disana. Terlalu bingung untuk bereaksi.
Butuh beberapa waktu bagiku sampai akhirnya aku bisa kembali bernafas normal dan memahami apa yang dia katakan tadi. Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat.
"Tidak! Aku tidak menyukainya!" gumamku berulang-ulang. Tapi bahkan aku sendiri mulai ragu akan kebenaran kata-kataku itu. Penyangkalanku terdengar lemah dan sangat tidak meyakinkan. Bahkan bagi diriku sendiri.
"Tidak. . . . ," gumamku lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMOIRS II (Dimaz' classic story)
General Fiction*Cerita ini bertema gay, bagi yg homopobic silahkan menjauh... Budayakan membaca biar gak salah. * cerita ini gw ambil dri blognya mas SONI DUAINNE yaitu soniduainne.blogspot.com dan gw uda minta ijin ke beliau. *FB, soni prabowo damian duainne *...