Pagi itu aku menyiapkan sarapan bagi mereka semua. Aku membuat omellet dan sandwich sembari bergumam kecil. Kebiasaan kecil yang berguna bukan hanya untuk mengusir sepi, tapi juga menyingkirkan bayangan-bayangan polos yang menyatu semalam. Aku tak menyangkal kalau hal itu sangat mengguncangku, tapi aku sudah bertekad untuk berada disamping Jeffry. Seperti apapun faktanya.
Aku menghela nafas dan berdoa dalam hati agar aku memiliki kekuatan untuk menghadapi hal-hal yang mungkin akan terjadi nantinya.
"Kau menang!"
Aku berbalik cepat dan mendapati Jeffry yang berdiri bersandar ditembok dengan tangan terlipat didada. Aku hanya tersenyum sekilas lalu kembali pada masakanku yang hampir selesai.
"Aku bikin sandwich ma omellet," kataku dengan nada yang untungnya terdengar biasa, malah cukup riang. "Oh ya, susumu hampir habis. Jadi udah waktunya buat belanja."
"Kau bodoh atau apa sih?" tegur Jeffry dengan tajam. "Tidak bisakah kau bereaksi normal seperti manusia lainnya?"
"Kenapa bukan kamu yang bereaksi normal seperti yang lain?" balasku dengan senyum tipis. Aku berjalan ke meja makan untuk meletakkan masakanku yang telah siap. Kulewati dia seraya menampilkan senyum terbaikku.
"Aku sudah bersikap normal."
Aku berpaling pada Jeffry dan menatapnya. "Kau sebut normal membiarkan tubuhmu dinikmati oleh siapa saja? Normal bercinta dengan siapapun yang bahkan tak kau sukai hanya untuk pelampiasan? Atau bercinta dengan lebih satu orang, itu normal?"
"Normal bagiku," jawab Jeffry santai.
Aku mendekat pada Jeffry, melangkah dengan tenang. Tangan kananku terangkat membelai sisi wajahnya. Terasa kasar karena cambang dan janggut yang baru tumbuh. "Entah berapa banyak kebencian yang kau miliki disini," kataku pelan dan meletakkan tanganku pada dada telanjangnya yang hangat, "Tapi percayalah, masih ada orang yang bisa benar-benar menyayangimu."
Tak ada jawaban dari Jeffry.
Kembali aku menampilkan senyum terbaikku padanya. "Aku pulang dulu ya? Hari ini aku ada pemotretan!" kataku lagi dan segera meninggalkannya. "Dan ingat, aku sudah resmi jadi stalkermu. Jadi nanti, kau harus mau mengangkat teleponku," godaku dan mengedipkan sebelah mata.Malam itu saat kutelepon, Jeffry mengatakan kalau dia ada disebuah club dikawasan Jakarta Barat. Sebenarnya aku males kalau harus pergi ke tempat semacam itu. Tapi, kali ini mau tak mau aku harus kesana. Aku langsung bisa melihat mobil Jeffry yang terparkir begitu aku tiba. Kebetulan sekali, spot disebelah mobilnya kosong. Jadi aku langsung parkir disana.
Aku sudah hendak keluar dari mobil saat kulihat beberapa orang yang melangkah dari arah club itu dengan langkah sempoyongan. Mabuk.
Aku bukan orang suci yang tanpa noda, tapi nggak tahu kenapa, aku paling nggak suka melihat orang mabuk. Aku paling jijik dengan bau minuman keras. Karena itu akhirnya aku batal untuk menyusul Jeffry kedalam dan lebih memilih untuk menunggunya disini.
3 jam berlalu. Jam telah menunjukkan pukul 2 dini hari. Akupun sudah hampir memutuskan untuk pulang, namun batal saat kulihat Jeffry yang keluar dari club itu. Tampak teler berat. Aku segera keluar dari mobil dan mendekatinya. Tapi Jeffry tak melihatku. Dia terus melangkah melewatiku dengan langkah terhuyung menuju mobilnya. Tangannya merogoh saku untuk mengambil kunci. Tapi kunci itu terjatuh saat dia mencoba membuka pintu mobil.
Aku menggelengkan kepala melihatnya begitu dan mendekatinya. "Kau mabuk berat," tegurku.
Jeffry yang sudah mengambil kembali kunci mobilnya yang terjatuh melihatku. Dia mendengus keras saat tahu siapa yang menegurnya. "Hebat! Kau memang pintar! Kau bisa tahu padahal aku tak mengatakan apapun," gerutunya acuh.
"Jeff!"
"PERGI!!!" bentaknya kasar dan mendorongku. "TEMUKAN PEKERJAAN YANG LEBIH BERGUNA SELAIN MEMBUNTUTIKU OK?!!"
Aku menghela nafas dan segera merebut kunci mobilnya. "Kau mabuk berat. Kalau kau membawa mobil dalam keadaan begini, kau bisa kecelakaan. Mau mati?!" tukasku pelan dan meraih tangannya. Kubimbing dia untuk menuju kursi penumpang. Tak ada perlawanan dari Jeffry. Sepertinya dia benar-benar mabuk.
"Kau orang aneh!" gerutu Jeffry lagi saat dia kududukkan di kursi.
"Aku tahu!" sahutku singkat dan langsung menutup pintu setelah memasang seat belt untuknya lalu segera ketempat kemudi. Aku memang aneh karena bisa menyukai orang sinting sepertimu, pikirku. Aku harus mengantarnya pulang. Aku bisa mengambil mobilku nanti. Yang penting Jeffry sampai dulu dirumah.
"Sebenarnya apa yang kau inginkan huh?" tanya Jeffry sedikit tak jelas. Dia menelengkan kepalanya yang bersandar dikursi. Melihatku yang berada di kursi pengemudi.
"Kamu!" jawabku singkat sambil meliriknya singkat. Jalanan ibukota memang telah lumayan sepi. Tapi aku tetap saja harus berhati-hati.
Jeffry kembali mendengus sinis. "Bukankah itu yang diinginkan semua orang?"
"Tidak semua kok!" tukasku.
"Yeah right!" cibirnya. "Kau contohnya. We've fucked! Tapi tetap kau menginginkanku. Untuk apa? Menjadi suamimu? Nggak kan? Kau hanya ingin kita melakukannya lagi. Sex!"
"Aku ingin lebih dari sekedar teman tidur Jeff!" tegasku lagi.
"Oh please, shut your mouth!! Katakan itu pada orang lain yang tak melihat sendiri bagaimana bola matamu melotot melihat tubuh telanjangku!" sentak Jeffry jengkel.
"Well. . . you're hot! Apa lagi yang bisa aku lakukan?" selorohku bercanda.
Jeffry tersenyum sinis. "And yet you said you didn't want my body!" ujarnya menusuk. Aku hanya diam karena tahu kalau percuma saja aku mendebatnya dalam keadaannya sekarang. Toh dia tak akan mengingatnya besok.
Aku memapah Jeffry untuk masuk kedalam rumahnya. Tapi yang mengejutkanku, saat kami berada didalam, Jeffry meraih tanganku dan menarikku. Ia menyeretku dengan langkah limbung kekamarnya. Disana dia mendorongku dengan kasar ke tempat tidur dan langsung menjatuhkan dirinya keatasku.
"Ini yang kau inginkan bukan?" desisnya dan menciumku dengan bibirnya yang berbau minuman keras. Aku sontan menahan nafas dan mengatupkan bibirku. Tapi Jeffry terus mencumbuku dan menggumamkan kalimat yang sama. Bahwa ini yang aku inginkan.
Aku mencoba mendorongnya, tapi dia benar-benar seperti orang yang kesetanan. Tangannya segera bergerak membuka bajuku. Lalu beralih ke celananya. Dan tepat ketika dia berusaha melepas celananya aku mendapat sedikit kesempatan. Aku segera menahan tangannya.
"Aku tak pernah ingin bercumbu denganmu dalam keadaan mabuk begini. Yang kuinginkan adalah bercinta dengan orang yang aku cintai," kataku cepat.
Ajaibnya, kalimat itu sontan membuat tubuh Jeffry mengejang kaku. Dia menatapku kaget tanpa mengatakan apapun. Aku hanya tersenyum padanya. Perlahan aku mendorong agar dia mengangkat tubuhnya dariku. Jeffry jatuh berguling pelan kesebelahku. Akupun terbebas dari tindihannya dan bangkit.
"Kamu tidur saja ok?" kataku lembut lalu membetulkan posisi kepalanya pada bantal. Kulepas bajunya yang amburadul, sepatu dan celananya yang separuh terbuka. Kuselimuti dia hingga ke dagunya. Anehnya, Jeffry hanya diam saja dengan tatapan kosong.
Dia seolah-olah tak sadar dan berada didunia lain. Aku hanya menatapnya dengan sayang lalu duduk dipinggir pembaringan, tepat disebelahnya. Kenapa kau harus merusak dirimu sendiri? Kenapa kau tak menyayangi dirimu sendiri? Mengapa kau membiarkan tubuhmu dijadikan pemuas nafsu orang lain sementara kau tak mendapatkan apapun darinya? Mengapa kau tak menghargai diri dan tubuhmu sendiri? Mengapa kau begitu marah pada semua yang ada disekelilingmu? Berbagai tanya berkecamuk dalam hatiku. Sungguh sangat disayangkan kalau seseorang dengan potensi seperti Jeffry menyia-nyiakan semua kelebihannya dan hanya menjadi pemuas syahwat banyak orang. Hatiku bisa merasakan ironinya sehingga aku jadi begitu iba melihatnya yang kini sedikit meringkuk seperti anak kecil yang ketakutan.
Aku mengusap lembut rambutnya. "Tidurlah dengan tenang," bisikku pelan dan mencium keningnya. Akupun bangkit untuk mematikan lampu lalu keluar. Aku harus mengambil mobilku, pikirku. Ingat akan apa yang belum aku bereskan
Aku tak pulang kerumah dan tidur dikamar tamu Jeffry sesudah mengambil mobilku di club. Dan pagi harinya, aku membuatkan Jeffry sarapan. Karena tahu dia tak akan sanggup turun, aku membawa makanannya kekamar. Aku tersenyum saat kulihat dia telah bangun, meski dia masih tiduran dikasur.
"Morning! Breakfast's ready!" sapaku riang. "How do you feel?" tanyaku sembari meletakkan baki makananku disebelah lampu kamar.
Tak ada sahutan dari Jeffry. Dia hanya diam dan melihatku dengan tatapan datar. Aku hanya tersenyum karenanya dan duduk disebelahnya, lalu kuletakkan telapakku didahinya, memeriksa.
"Normal kok suhunya. Mungkin kamu masih sakit kepala karena minuman semalam. Minum dulu kopi pahit ini. Cocok untuk hangover mu," kataku dan membetulkan posisi Jeffry. Kuangkat sedikit bagian atas tubuhnya, dan kutumpuk bantal untuk menjaga agar posisinya jadi setengah duduk. Lalu kuambil cangkir kopi dan ku sorongkan ke bibirnya.
Jeffry meminumnya tanpa protes. Sedikit mengernyit karena rasa pahitnya sehingga aku jadi tergelak kecil.
"I know. Tapi ini bagus agar sakit dikepalamu itu hilang," kataku. Aku mengusap sedikit kopi yang menetes di dagunya dengan jempolku. "Mau mandi dulu? Biar segar," tawarku.
Kembali tak ada jawaban. Aku mencoba menariknya untuk bangkit. Tak ada perlawanan. Dia mengikutiku. Patuh seperti anak kecil yang berada dalam bimbingan orang tuanya. Sampai dikamar mandi aku melucuti boxernya lalu membawanya kebawah shower. Kumandikan dia seperti anak kecil. Kusabuni dan kugosok bersih. Rambutnya ku keramasi. Sekalian aku juga mencukur wajahnya. Tubuhku sendiri jadi separuh basah karenanya.
Dan tak ada sedikitpun protes. Dia hanya diam membiarkan aku melakukan apapun padanya. Dia menatapku dengan pandangan datar dan mengamati.
Selesai aku pun mengeringkan tubuhnya dengan handuk besar dan menuntunnya kembali. Kududukan dia di pinggir ranjang. Aku mencari pakaian ganti untuknya di lemari dan menemukan sebuah t-shirt hangat dan celana pendek berwarna putih.
Aku kembali mendekat pada Jeffry. Kupasang celana pendek itu setelah memasang celana dalamnya. Tapi saat aku hendak memasangkan t-shirt, Jeffry meraih tanganku. Aku yang jadi sedikit kaget dengan tindakannya sontan berhenti. Urung memasukkan kerah t-shirt itu ke kepalanya.
"Ap. . ."
Dia telah menciumku.
Ciumannya berbeda. Bukan ciuman terburu-buru dengan nafsu yang menuntut untuk dipuaskan seperti dulu. Ciumannya lembut dan dalam. Bibirnya mengulum bibirku dengan gerakan pelan. Tubuhku merinding bersama dengan tiap hisapannya yang halus. Tangannya yang meraba belakang kepalaku pun terasa sangat perlahan hingga nyaris tak terasa.
Ketika dia melepaskanku, aku baru sadar kalau aku menahan napas sedari tadi. Dan dengan ciumannya yang cukup mengguncangku tadi, aku tahu. Aku tahu kalau dia telah memahamiku. Dia telah mengerti keinginanku. Dia tahu. . . , perasaanku.
Aku menyunggingkan senyum termanisku untuknya. Tanganku terangkat untuk mengusap lembut sisi wajahnya. Kuusapkan jempolku dengan lembut dipermukaan bibirnya yang basah dan kemerahan. "Terimakasih," bisikku lirih.
Jeffry telah meraihku kedalam dekapannya. Dia memelukku erat. Menempelkan kepalaku ke dadanya. Dan akupun menenggelamkan diriku dalam rengkuhan lengannya yang kuat. Ke dalam pelukannya yang begitu nyaman, hangat dan menenangkan. Berbeda sekali dengan pelukan saat kami berhubungan badan yang terasa dingin dan berbalut nafsu saja. Kuhirup dalam-dalam aroma tubuhnya yang segar. Memenuhi rongga dadaku dengan harumnya. Kutempelkan telapakku tepat dimana jantungnya berdetak. Dia mengerti, batinku.
Dan dengan itu, pipiku pun basah!
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMOIRS II (Dimaz' classic story)
Ficción General*Cerita ini bertema gay, bagi yg homopobic silahkan menjauh... Budayakan membaca biar gak salah. * cerita ini gw ambil dri blognya mas SONI DUAINNE yaitu soniduainne.blogspot.com dan gw uda minta ijin ke beliau. *FB, soni prabowo damian duainne *...