III

3.7K 170 0
                                    

Keesokan harinya, ternyata Rafly tetap tidak masuk sekolah. Saat istirahat, aku dipanggil oleh wali kelas. Segera saja kuberitahukan apa yang ku ketahui. Bahwa Rafly sakit dan orang tuanya telah meninggal. Beliau sepertinya mengerti dan mengatakan akan melakukan sesuatu untuk memperbaiki catatan Rafly di sekolah.
Aku sendiri,begitu usai sekolah usai langsung menuju tempat praktek dokter pribadi keluargaku dan membawanya ke rumah Rafly.

Seperti sebelumnya, rumah Rafly tampak lengang seperti tak berpenghuni. Setelah mengetuk dan mengucapkan salam bbrp kali tp tak ada sahutan, akhirnya aku memberanikan diri untuk membuka pintu yang ternyata tak dikunci. Ruang depan kosong, jadi aku ke dalam. Aku menemukan Rafly tergolek pingsan dilantai kamarnya. Ada bekas muntahan didekatnya.

Sedikit kehebohan terjadi!

Dokter segera memeriksa dan mencoba menyadarkannya. Karena dia terlalu lemah, kami memutuskan untuk langsung membawanya ke rumah sakit. 3 jam aku menungguinya. Saat dia sadar dan tahu sedang berada dimana,  Rafly marah dan ngotot pulang. Tentu saja pihak rumah sakit menahannya. Karena dia terus berontak, Dokter memberinya obat penenang. Tapi sebelum tertidur dia sempat menggumamkan tentang uang dan biaya perawatan. Sepertinya, itu adalah alasan kenapa dia ingin segera pergi.

Keesokan harinya saat aku kembali, Rafly terbaring tenang meski aku bisa melihat gurat kekesalan di wajahnya. Untuk beberapa saat kami cuma saling diam.
"Dokter bilang, kamu gak boleh makan yang keras-keras untuk sementara waktu," kataku, mencoba memulai percakapan. "Jadi. . . . , aku bawakan roti dan bbrp makanan ringan yang lunak. Juga susu. Aku sudah tanya Dokter, asal bukan susu coklat, kamu boleh meminumnya."

Tak ada sahutan.

"Mengenai biaya rumah sakit, kamu gak usah khawatir," imbuhku. "Pihak sekolah yang akan menanggungnya. Kamu tentu tahu kalau ada asuransi bagi para siswa. Jadi kamu gak perlu khawatir dan. . ."

"Kamu yg memberitahu pihak sekolah?" tanya Rafly tiba-tiba dan memotong kalimatku.

Untuk sesaat aku tercenung mendengar nada suaranya yang tidak ramah. Lebih cenderung menegur dari pada bertanya. "Yeah. . .! Tentu saja. Aku satu-satunya orang disekolah yang tahu keadaanmu kan?" tanyaku balik dan sedikit tersenyum untuk mencairkan suasana. Kembali tak ada sahutan dari Rafly. Aku yang masih canggung akhirnya meraih sebungkus roti dan membukanya. "Coba rasain roti ini deh. Aku suka banget. Tiap pagi aku makan ini lho!" ujarku nyengir dan mengulurkan selapis roti itu padanya.    

Semula Rafly ragu. Namun akhirnya, sesaat kemudian dia bergerak hendak bangkit dari tidurnya. Terlihat agak susah karena ada selang infus dan dia juga sepertinya masih lemah.

"Jangan!" kataku cepat menahannya. "Kamu tidur aja! Masih lemes gitu. Biar aku bantu," kataku dan mencuil sedikit roti itu dan menyorongkan ke depan bibirnya. Rafly sedikit tertegun. Aku paham apa yang dirasakannya. Akan tampak aneh kalau aku menyuapinya. Tapi kepalang tanggung. Dan keadaan Rafly juga tidak mendukung. Akhirnya Rafly mau membuka mulutnya meski dengan sedikit enggan. Aku tersenyum agar dia merasa rileks.

Rafly berdehem tanda hendak mengatakan sesuatu. "Jadi. . . apa benar ada ansuransi untuk kasus seperti aku?" tanyanya ingin tahu.Aku diam,tak langsung menjawabnya karena aku tahu kalau aku tidak berhati-hati, akan ada masalah baru.

"Maksudmu apa?" tanyaku balik.

"Aku tahu memang ada ansuransi bagi para siswa disekolah kita. Tapi biasanya pihak ansuransi mau menanggung, hanya jika insiden itu terjadi pd saat proses belajar disekolah. Jika terjadi sesuatu diluar lingkungan dan jam sekolah,bukannya itu jadi tanggung jawab pribadi?"

Seharusnya aku tahu kalau dia tidak bodoh, pikir ku. Tapi tak mungkin kalau aku bilang ke dia bahwa semalam aku minta bantuan ayahku untuk menanggung biaya rumah sakit ini. Bahkan aku merekomendasikan Rafly pada beliau agar dia mendapat beasiswa. Untuk hal itu, masih perlu waktu. Tapi bagaimanapun juga, dia layak mendapatkannya kan? Selain karena prestasi akademisnya, ekonomi Rafly juga memenuhi syarat.

"Apa itu penting Raf?" tanyaku sembari menyorongkan secuil roti padanya. Rafly tak menjawab. Dia menatapku dengan seksama, membuatku jadi canggung dan salah tingkah. Aku tahu orang sejenis dia memiliki harga diri yang tinggi. Kalau dia tahu aku membantunya, mungkin dia akan meledak.

"Aku tak punya pilihan lain kan?" gumamnya kemudian dengan nada pahit, membuatku kembali berpaling pdnya. Rafly sudah membuang pandangannya ke samping dengan ekspresi kalah. Seperti yang kuduga, harga dirinya terusik. Dia sakit hati.

"Tak ada manusia yang bisa hidup sendiri Raf," kataku pelan. "Sekuat apapun seseorang, suatu saat dia akan mencapai batasnya. Dia pasti akan berada di suatu kondisi, dimana dia harus bergantung pada orang lain. Siapapun itu. Orang-orang besar seperti Alexander The Great, Bung Karno, atau bahkan Nabi kita, tidak mengubah dunia sendirian. Ada orang-orang di samping mereka. Para sahabat, keluarga dan yang lainnya. Singkatnya, kita akan selalu membutuhkan orang lain. Jadi. . . tak perlu merasa kalah, lemah. Apa lagi. . . terhina. Hal itu benar-benar wajar kok!"
Rafly kini diam menatapku. Aku kembali tersenyum pada nya. Mencoba menyuntikkan semangat dan kembali menyuapkan roti untuknya. Untuk beberapa lama, sampai akhirnya dia menghabiskan dua lapis roti, tak ada kata-kata yang kami ucapkan. Setelah merasa cukup, aku pun pamit.

"Dimas!" panggil Rafly saat aku hampir mencapai pintu,membuatku kembali berbalik pdnya, " . . . terima kasih," katanya pelan.

Aku mengangguk dan tersenyum,"Besok aku kesini lagi. Mau kubawakan sesuatu?"

Rafly menggeleng, "Datang saja," katanya.

Mendengarnya aku benar-benar merasa lega. Seakan-akan aku telah mendapat restu untuk memasuki dunianya. Kurasa, dia mulai bisa menerimaku.

Bersambung....

MEMOIRS II (Dimaz' classic story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang