Terkadang keinginan manusia memang terbentur pada takdir yang memang harus kita jalani. Seberapa kerasnya usaha manusia dalam menggapai sesuatu, jika Tuhan tidak mengijinkan dia untuk memilikinya, maka manusia itu tak akan mendapatkannya. Tak perduli seberapa keras usahanya. Tak perduli apa saja yang telah dikorbankannya. Tak peduli berapa banyak keringat atau bahkan darah yang ia kucurkan. Takdir adalah keputusan final. Jadi manusia mutlak harus menerimanya.
Dan aku menerima takdirku! Bukan hal yang mudah. Aku banyak mendapat dukungan dari Rafly. Dia tak pernah lelah mendampingiku dan selalu ada saat aku membutuhkannya. Hubungan kami berbeda kalau dibandingkan dengan apa yang kami miliki zaman SMA dulu. Seperti yang pernah dia katakan padaku, "Aku mencintaimu. Dulu dan kini. Hanya saja porsi dan bentuk cintaku berbeda dengan dulu."
Aku paham apa maksud dari kata-kata Rafly. Rasa cinta yang kini ia rasakan padaku, tak ubahnya seperti cinta kita pada keluarga, yang selalu akan ada saat kita butuhkan. Dan memang begitulah Rafly. Dia selalu ada kapanpun aku membutuhkannya. Dia selalu mau meluangkan waktunya untukku. Kapanpun itu. Dan aku benar-benar bersyukur karenanya.
Sesekali aku juga menghubungi Jeffry. Sejak pindah kesini, hampir tiap hari aku menghubunginya. Baik telepon atau hanya sekedar sms. Balasan Jeffry mula-mula biasa saja. Tapi terkadang sedikit ketus. Lalu menjadi dingin. Kebanyakan dia hanya menjawab semua telepon dan sms ku seperlunya saja. Aku tak menyalahkannya. Dia mau membalas semua pesan dan teleponku saja sudah cukup bagiku.
Kabar yang mengejutkan datang sekitar 6 bulan setelah perpisahan kami. Saat kutelepon Jeffry mengatakan kalau dia baru saja keluar dengan temannya bernama TJ. Dan hampir beberapa hari berikutnya, nama itu kembali ia sebut. Semula kukira itu hanya akal-akalan Jeffry saja, agar aku tak menguhubunginya. Tapi pernah suatu malam aku telepon, dan Jeffry mengatakan sedang makan malam bersama TJ. Saat aku minta untuk berbicara dengan pria itu, Jeffry memberikannya. Suara asing yang terdengar sedikit membuatku sakit hati. Tapi aku berusaha untuk tetap tenang dan bergembira untuknya.
Belakangan kemudian saat Jeffry mengundangku ke Jakarta aku ketahui kalau ternyata TJ telah memiliki Soni. Pasangan jiwanya. Kemesraan yang mereka miliki benar-benar membuatku iri dan berharap kalau aku memiliki itu bersama dengan Jeffry.
Tapi harapan hanyalah harapan.Pada akhirnya aku menikah dengan Sarah.
Jeffry, TJ dan Soni (belakangan aku berteman akrab dengan mereka berdua) juga turut hadir dalam acara pernikahanku. Mereka bahkan datang beeberapa hari sebelumnya, bersama dengan Jeffry. Jeffry sendiri terlihat santai dan menikmati suasana. Dia juga menyapa akrab Rafly yang kukenalkan padanya.
Tapi malam harinya, sebelum upacara pernikahanku, Jeffry muncul didepan pintu kamarku.
Sorry ganggu. Gua tau besok lo bakalan sibuk. Bisa bicara sebentar?" pintanya dengan senyum tipis. Dan tanpa menunggu jawabanku dia melangkah masuk.
"Ada masalah Jeff?" tanyaku khawatir dan menutup pintu. Untuk mencegah insiden yang tidak mengenakkan, aku langsung menguncinya.
Jeffry yang telah duduk dikasurku kembali tersenyum. "Boleh dibilang begitu. Sebenarnya aku punya permintaan," katanya.
Giliran aku yang tersenyum mendengarnya. "Jangan katakan kalau kau punya ide gila tentang bagaimana kita harus menghabiskan sisa malam ini?" selorohku.
Jeffry tergelak dan menggeleng. Hal itu justru membuatku sedikit khawatir. Malam ini dia terlihat santai dan kembali seperti Jeffry yang pernah menjadi milikku. Bukannya Jeffry yang hampir setahun ini bersikap dingin padaku. Dia bisa tertawa lepas seperti tadi. Aku tahu aku seharusnya merasa senang. Tapi aku justru menjadi cemas.
"Ada masalah apa Jeff?" tanyaku dengan wajah menegang.Jeffry tak menjawab. Dia hanya melambai dan menepuk kasur disebelahnya, memintaku duduk disana. Aku menurut saja.
"Besok kamu akan menikah. Dan aku ingin mengucapkan selamat tinggal!" katanya enteng.
Sekarang tubuhku benar-benar menegang.
"Setelah besok, aku tak akan menemuimu lagi. Aku tak akan membalas telepon atau sms mu lagi. Aku ingin kita benar-benar berhenti berhubungan."
"Jeff. . "
Dia telah mengangkat tangannya. Mencegahku untuk protes. "Kau sudah memilih jalanmu. Dan aku ingin menjalani kehidupanku tanpa ada bayang-bayang masa laluku bersamamu. Sarah gadis yang luar biasa Maz. Orang tuamu juga orang-orang yang luar biasa. Mereka nggak pantas menerima lebih banyak lagi kebohonganmu. Kebohongan kita. Sudah waktunya kita berhenti, dan kau harus menjalani hidup barumu, lepas dari bayanganku."
Apa yang bisa kukatakan? Aku hanya terpekur diam dengan hati sakit dan pandangan yang kabur. Namun Jeffry tersenyum. Dia meraih tanganku dengan tangan kanannya. Dia lalu menggenggam tanganku dengan tangan kirinya, sementara tangan kananya yang bebas terulur dan mengusap aliran basah di pipiku.
"Terimakasih sudah menjadi bagian dalam ceritaku," bisiknya pelan. "Terimakasih sudah mengajariku untuk menghormati diri sendiri. Kamu hal terbaik yang pernah aku miliki. Karena kamu, aku bisa merasakan perasaan sayang yang kukira, tak akan pernah bisa aku rasakan lagi. Aku nggak akan lupa Maz. Pelajaran yang kau berikan, akan selalu kuingat. Aku janji nggak akan bandel lagi. Aku janji akan menghormati diriku sendiri, lebih dari sebelumnya. Dan aku janji, aku akan jadi orang yang lebih baik. Karena itu. . . . ,ijinkan aku pergi. Ok?"
Aku berusaha menampilkan senyumku untuknya. Berusaha menyampaikan restuku padanya. Tapi aku gagal. Aku hanya mampu terisak. Kutarik tanganku dari genggaman Jeffry. Cepat kuusap airmataku dan bangkit. Aku menarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan diri. Mencoba mencegah diriku sendiri yang sebenarnya ingin berteriak keras. Bertanya pada Tuhan, kenapa aku bisa mencintai seseorang sebesar ini? Dan kenapa harus sesama lelaki?! Tiba-tiba saja kamarku yang besar terasa sempit dan pengap. Aku butuh udara segar.
Maz. . . ," panggil Jeffry lirih membuatku yang sudah hendak menghambur keluar dari kamar, urung. Perlahan aku kembali memandangnya. Jeffry tersenyum dengan tatapan memohon. "Please. Bebaskan aku," pintanya.
Tuhanku!
Aku benar-benar ingin berteriak histeris sekarang.
Saat ini, barulah aku tahu. Semua tingkah santai dan dinginnya hanyalah akting. Dia sama terlukanya denganku. Dia sama sakitnya denganku. Dia juga. . . ,mencintaiku. Dia adalah Jeffry yang selalu berusaha menyembunyikan perasaan sebenarnya. Jeffry yang selalu menutupi rapuhnya dengan tingkah macho dan berangasan. Tapi saat ini, didepanku dia melepas semua topengnya. Matanya memancarkan luka yang selama ini dia sembunyikan. Sorot memelasnya membuat nafasku tersendat dan mataku semakin perih. Dari pandangannya, aku bisa memahami kalimat-kalimat yang tidak bisa dia ucapkan secara lisan. Tatapan itu seperti hamburan kata-kata yang begitu menyesakkan. Dan efeknya jauh lebih terasa dibandingkan bila Jeffry mengatakannya.
Aku memahaminya. Aku mengerti apa yang Jeffry ingin sampaikan. Kesedihannya, sakit hatinya, kebingungan, dan juga kepasrahannya pada takdir kami. Dia mengerti kalau tak ada lagi cerita yang bisa ditulis dengan tokoh Dimaz dan Jeffry. Kami. . . . , sudah tak ada lagi. Jeffry tahu itu.
Dengan matanya, dia seolah-olah ingin memberitahuku, bahwa kali ini, bukan hanya aku yang menderita. Bukan hanya aku yang menyesalkan fakta yang ada. Dia juga merasakannya. Karena dia juga. . . . , mencintaiku.
Nafasku seakan terhenti disana, sementara dadaku luar biasa nyeri, dan hampir-hampir tak tertahankan. Dan kulihat, selajur airmata menetes dari mata Jeffry yang masih juga memandangku tanpa berkedip.
Aku tak tahan melihatnya!
Cepat aku mendekati Jeffry dan mendekap kepalanya di dadaku. Sakit sekali dadaku melihatnya seperti itu. Aku tak sanggup lagi. Tuhanku, kenapa harus ada perasaan cinta seperti yang kami miliki? Kalau ini dosa, kenapa kau biarkan kami memilikinya? keluhku dalam hati nelangsa.
Yah. . . ," bisikku tertahan diantara tangisku. "Aku be-bebaskan kau dariku," sambungku lirih. Kata-kata itu akhirnya kuucapkan. Kalimat yag mungkin seharusnya, sudah dari dulu kukatakan padanya.
Tak ada jawaban dari Jeffry. Tapi tangannya memeluk pinggangku dengan erat. Dibenamkannya wajahnya dalam-dalam ke pelukanku. Bahunya bergetar keras dan kurasakan, bagian depan kemeja yang kupakai mulai basah.
Untuk sesaat, tak ada satupun dari kami yang berbicara. Kami hanya berpelukan sembari terisak pelan. Mencoba melegakan pernafasan kami. Berharap sakit yang kami rasakan akan keluar dari tubuh kami bersama dengan air mata yang kami teteskan. Meski masing-masing dari kami tahu, luka itu masih ada.
Saat aku bisa menguasai diri, aku melepas pelukanku pada Jeffry. Kuusap pipinya. Membersihkan semua sisa airmatanya. "Carilah seseorang yang bisa menyayangimu," kataku pelan.
Jeffry tersenyum. "Pasti! Akan kucari orang yang bisa menyayangiku, lebih dari kamu!" sahutnya dengan senyum tipis. Hampir mirip senyuman pasrah seseorang yang kalah.
Aku mengangguk. "Harus. Dan aku mau kamu berjanji satu hal. Bila suatu saat kau membutuhkan seseorang, dan tak ada orang lain yang ada disisimu, kau harus datang padaku. Kau harus mencariku! Aku akan selalu ada untukmu"
Untuk sesaat Jeffry tak menjawabnya. Dia hanya diam menatapku.
"Berjanjilah!" pintaku lagi.
Jeffry mengangguk. Dan tanpa berkata apa-apa dia bangkit dan melangkah keluar dari kamarku . Dia tak menolehku lagi.
Saat tubuhnya lenyap dibalik pintu, aku sontan memejamkan mata. Kembali merasakan sensasi perih, seakan-akan ada bagian dari diriku yang direnggut dengan paksa.
Sakit!
Aku masih melihat Jeffry keesokan harinya. Setelah pembacaan kalimat ijab qabul, aku masih melihatnya yang berdiri tak jauh dariku. Dia mengacungkan jempolnya padaku. Saat berikutnya, aku dan Sarah menerima ucapan selamat dari beberapa orang. Aku sibuk dengan menyambut salam dari para tamu. Dan baru kusadari saat aku menyalami TJ dan Soni, bahwa Jeffry telah pergi.
Itulah saat terakhir aku melihatnya.5 tahun telah berlalu.
Aku memiliki seorang putri yang berusia 3 tahun kini. Buah dari pernikahanku dengan Sarah. Kami hidup rukun bersama Abi dan Ummi yang tampak semakin bahagia dan sangat memanjakan cucunya. Kadang aku sampai harus menegur mereka. Tapi mereka malah memintaku untuk dibuatkan cucu lagi.
Sarah tetaplah wanita yang sama. Seorang istri yang benar-benar tahu bagaimana menghormati dan menghargai suami. Dan aku sudah menerima dia sebagai bagian dari hidupku. Aku menyayanginya. Meski aku memiliki satu bagian lain yang kusimpan untuk seorang Jeffry.
Hingga kini.
Aku tak pernah mencarinya. Aku bahkan menghindar untuk tahu beritanya. Aku tak pernah sekalipun membaca berita entertainment ataupun ulasan infotainment yang menjamur di Tv. Karena aku hanya akan menemui Jeffry, jika dia yang datang padaku. Karena aku sudah berjanji padanya. Dan aku sudah memilih jalanku.
Luka yang aku alami bersama dengan Jeffry memang telah sembuh. Tapi bekas luka itu masih ada. Masih nyata dengan jelas disana, dan akan terus ada sampai tiba waktunya nanti aku tak akan mampu melihatnya lagi.
Cerita ini baru aku ungkap pada seseorang beberapa hari yang lalu. Saat itu, aku yang sudah lama tidak berhubungan dengan dunia gay, tiba-tiba saja tergelitik rasa ingin tahu, apakah ada orang lain yang memiliki cerita yang sama denganku. Aku browsing google dengan kata kunci gay taubat. Secara tak sengaja aku menemukan sebuah Forum komunitas gay. Di forum ini ada berbagai tempat untuk ngobrol dan salah satunya adalah tempat untuk berbagi cerita. Dan aku iseng membaca sebuah judul cerita yang ditulis oleh seseorang. Aku tertarik dengan judulnya. Memoirs! Karena penasaran aku menghubungi email si pemilik cerita itu. And next thing I know, aku tumpahkan apa yang selama ini aku simpan padanya. Orang asing yang baru kukenal lewat dunia maya dalam hitungan hari.Aku hanya berharap, ada orang lain diluar sana yang bisa belajar sesuatu dari kisahku. Mungkin banyak dari kalian disana yang mengalami masalah klasik yang pernah kualami.
Ada banyak orang lain yang mengalami apa yang kalian rasakan saat ini.
Itu satu hal yang harus diingat oleh kalian yang membaca kisah ini.
Kalian tidak sendiri.
===============the end==================
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMOIRS II (Dimaz' classic story)
General Fiction*Cerita ini bertema gay, bagi yg homopobic silahkan menjauh... Budayakan membaca biar gak salah. * cerita ini gw ambil dri blognya mas SONI DUAINNE yaitu soniduainne.blogspot.com dan gw uda minta ijin ke beliau. *FB, soni prabowo damian duainne *...