VIII

2.9K 131 1
                                    

Setelah semua selesai, ada sedikit kelegaan yang kurasakan. Tapi juga ada kebingungan dan ketakutan yang ikut merambat. Untuk waktu yang lama, kami hanya terbaring diam, terlentang tanpa bicara. Semua masih baru, aneh dan membingungkan. Hingga kemudian aku sadar kalau aku harus pulang.
"Aku harus pulang," kataku dan segera bangkit. Hari sudah gelap dan hujanpun telah sejak tadi berhenti tanpa kusadari."Boleh pinjam bajunya?"
Rafly yg masih terbaring memandangku sejenak lalu bangkit menuju lemarinya. Dia mencarikanku satu stel baju dan menyerahkannya padaku tanpa berbicara. Akupun memakainya tanpa suara. Dan begitu selesai, aku hanya diam disana, melihatnya yg juga memandangku. Aku bisa merasakan keheningan yg janggal dan membingungkan. Dia hanya berdiri diam memperhatikanku, padahal dia dalam keadaan telanjang bulat.
Aku lalu celingukan mencari kunci. Rafly mengulurkan kunci mobilku yg kucari entah dari mana.
"Aku pulang," pamitku pelan dan melangkah dg tertunduk. Tapi sebelum mencapai pintu, Rafly menahanku. Dg satu sentakan keras, dia menarikku kembali ke dalam pelukannya dan menciumku. Ciuman lembut yg begitu dalam dan hampir membuatku lupa untuk pergi. Butuh beberapa waktu bagiku untuk bisa mengendalikan diri. Hingga akhirnya aku menahan dadanya dan mendorongnya sedikit. Aku tersenyum dan mengangguk padanya, lalu pergi.
Saat melaju dijalanan pikiranku mulai berantakan. Kesadaran akan apa yang telah terjadi menghampiriku perlahan berikut dengan semua hal yang pernah aku pelajari dalam kehidupanku sebelumnya, yang boleh dibilang religius.
Aku mengendarai mobilku dg pikiran kacau balau. Kejadian tadi melintas diotakku seperti slide show yg terputar terus menerus. Aku ingat bagaimana tubuh kami saling bersentuhan, bergesekan, dan menindih. Aku ingat bagaimana bibir kami saling berpagut, mengulum dan menghisap. Dan aku ingat bagaimana tangan kami saling meraba,mengusap atau meremas. Aku nyaris bisa merasakan hembusan nafas Rafly ditubuhku sekarang. Aku menggigil keras.
Aku juga teringat dg semua ajaran agama dan semua petuah-petuah dari para alim ulama yg selama ini membimbingku dan sungguh. . . . . aku merasa kotor. Aku merasa bersalah. Karena kini, setelah semua hasrat ku tadi tersalurkan,aku kembali disadarkan pada fakta bahwa kami sama-sama lelaki. Kami berjenis kelamin sama dan apa yg tadi kami lakukan tidak seharusnya terjadi.
Agama kami mengutuknya. Ajaran adat kami melarangnya. Dan jika ada orang tahu apa yg kami lakukan tadi, entah apa yg akan mereka timpakan pd kami. Kalau ada 2 orang berzina harus dihukum cambuk, mungkin kami akan dirajam sampai mati.
Tanganku yg memegang setir gemetar hebat. Perutku bergolak keras sementara keringan dingin mulai merembes dari pori-pori disekujur tubuhku. Saat aku tak bisa menahannya lagi, aku hentikan mobilku ditepi jalan, dan dg cepat keluar.
Aku muntah hebat!

Ada sedikit keramaian yg terdengar dari ruang tamuku. Untuk sesaat aku jadi sedikit ketakutan kalau rahasia ku telah terbongkar. Entah bagaimana ada orang yg melihat apa yg aku dan Rafly lakukan dan dia memberitahu orang tuaku. Tanpa kusadari, keringat dingin mulai kembali mengucur dari tubuhku.
"Dimaz sayaaaang!!" panggilan itu diikuti oleh pelukan erat dari Tante ku Ruli yg berasal dari Jakarta. Kemunculannya dari pintu masuk membuatku agak tertegun.
"T-tante. . . . ," aku sedikit tergagap karenanya, "Kapan datang?"
"Beberapa jam yg lalu. Tante kesini membawa kabar bagus untukmu," kata beliau tapi kemudian diam memperhatikanku. "Kamu sedikit pucat. Sakit?' tanya beliau.
Aku hanya tertawa gugup, "Tadi cuma sedikit kehujanan Tan. Kok mendadak sih?"
"Tantemu lagi kumat isengnya Maz," tukas Ummi ku sedikit menggerutu. Beliau melambai agar kami segera masuk.
"Kamu itu memang udah ketularan suamimu Lis," cemooh Tante Ruli pd adiknya, ibuku."Jangan pedulikan Ummi mu. Dimaz ingat gak foto2 Dimaz yg dulu Tante ambil?" Tanya Tante Ruli. Aku ingat. Tanteku yg satu ini memang hobi fotografi. Dan dari hobinya, sekarang dia memiliki ssebuah studio foto yg cukup terkenal di Jakarta. Sialnya, tiap kali aku kesana, aku selalu ditodongnya untuk jadi model dadakan.
Akupun mengangguk, "Ingat Tante. Kenapa?"
"Tante kirim foto-fotomu itu ke sebuah pemilihan model di majalah ternama. Dan kamu masuk final!!" pekik Tante girang. "Tante dapet telepon sabtu kemarin dan pengumumannya bisa dilihat dari majalah yg akan beredar besok senin. Tapi, malam ini jg kamu ikut Tante ke Jakarta, karena minggu depan kamu akan karantina. Kita cuma punya waktu satu minggu untuk membekalimu. Dan. . . ."
Kata-kata Tante Ruli sudah tak kudengar lagi. Karena seperti biasa, otakku dg cepat bisa melihat kesempatan ini. Ini yg kuperlukan!! Waktu untuk menjauh dari Rafly. Waktu untuk menjernihkan otakku. Waktu untuk mengembalikan akal sehatku.
"Tante yg akan bicara dg Abi mu dan. . ."
"Saya ikut Tante!" sahutku singkat bahkan sebelum beliau selesai berucap! Dan malam itu jg, kami berangkat ke Jakarta.

MEMOIRS II (Dimaz' classic story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang