XXVII

1.7K 78 1
                                    

Kamu sakit Maz?" tanya Jeffry saat kami sarapan bareng. Hari ini kami memiliki jadwal pagi. Dia harus meneruskan syuting filmnya, sementara aku ada pemotretan untuk sebuah majalah.
"Enggak Jeff. Kenapa?" tanyaku setelah sadar akan apa yang dia tanyakan. Dari tadi aku memang sedikit melamun, jadi agak-agak gak nyambung bila diajak bicara.
"Kamu sadar kalau dari tadi kamu cuma main-main sama makananmu?" tanya Jeffry dengan kening berkerut. Aku menoleh ke piringku. Nasi goreng yang ada dihadapanku memang masih banyak. Aku sendiri merasa kalau aku sudah menyantapnya dari tadi. Tapi kok masih banyak juga sih?
"Aku. . . ," otakku berputar mencari kalimat yang tepat.
"Ada masalah?" tanya Jeffry. "Ada yang bisa kubantu?"
Aku hanya menggeleng untuk menjawabnya. Allah, kenapa semakin sulit begini? keluhku dalam hati. Kemarin, aku begitu yakin kalau aku akan bisa. Waktu kembali dari tanah kelahiranku, aku sudah memutuskan untuk menghentikan ini. Apapun yang kumiliki dengan Jeffry, tak lebih dari satu ilusi konyol, dan sudah tiba waktunya untuk diakhiri.

Waktu itu aku menelepon Jeffry untuk mengabarkan kepulanganku. Dan Jeffry ternyata masih ada di lokasi syuting saat aku menghubunginya.
"Jam berapa pesawatnya?" tanya Jeffry.
"Jam 8 malem."
"Aku masih syuting jam segitu," gumam Jeffry pelan.
"Ya sudah. Kita ketemu di rumah saja ok?" kataku. Malah kebetulan. Aku bisa langsung bicara denganya. Menyelesaikan semuanya dengan tuntas.
"Aku jemput di bandara!" putus Jeffry langsung tanpa menunggu protesku. Dan dia memang melakukannya. Dengan memakai t-shirt yang ditutupi jaket yang kerahnya dinaikkan, jeans robek, serta topi yang dibenamkan dalam-dalam, lalu kaca mata gelap dia berdiri di luar pintu kedatangan menungguku.
Dengan cepat dia membantuku membawa trolley ke mobilnya. Sekarang memang agak sulit baginya untuk bergerak bebas seperti dulu lagi. Wajah Jeffry sudah terlalu akrab bagi publik. Dan dia tidak bisa lagi melenggang seperti dulu. Para wartawan dan penggemar tak pernah berhenti memburunya. Jadi, sering kali dia harus menyamar.
"Syutingmu gimana?" tanyaku saat kami melaju keluar bandara.
"Sudah selesai. Jemput kamu lebih penting," sahutnya singkat dengan senyumnya. Aku hanya membalasnya dengan senyuman tipis.
Aku harus bisa, batinku. Tadi dalam pesawat aku sudah berlatih untuk mengucapkan kata maaf dan mengatakan pada Rafly bahwa hubungan kami harus segera diakhiri. Aku sudah menyiapkan berbagai versi dan alasan. Bahwa yang kami miliki sungguh indah, tapi tak boleh terjadi. Bahwa aku mencintainya, tapi kini adalah waktu bagiku untuk meneruskan hidupku, kembali pada kodratku. Bahwa kami mungkin hanya terbawa nafsu belaka, sehingga batas pertemanan antara kami jadi buram.
Ya Tuhaaaaann!! Bahkan aku sendiri merasa konyol dan sakit memikirkan kata-kata itu. Tapi bila teringat Abi dan Ummi, aku tahu kalau aku harus melakukkannya.
Dan tanpa kusadari, tahu-tahu kami sampai dirumah Jeffry. Aku segera turun untuk mengambil barang-barangku.
"Hei, kamu bawa oleh-oleh untukku kan?" tanya Jeffry mengikutiku turun.
"Jangan khawatir," jawabku tanpa mampu melihatnya dan membuka bagasi. "Bahkan Ummi dan Abi juga menitipkan sesuatu untukmu."
"Really?" tanya Jeffry yang sudah membantuku.
"Mereka ingin kau mampir kesana segera," kataku nyengir dan mengangkat koper dan sebuah hand bag kertas besar kedalam. Jeffry meraih 2 hand bag besar lainnya dan mengikutiku.
"Huh? Kalau begitu mungkin aku harus segera menyempatkan diri," gumam Jeffry.
Aku hanya tertawa kecil dan masuk ke dalam rumah yang telah kubuka. Mencoba bersikap sewajar mungkin. "Yang tak kupercaya adalah mereka mau menonton film kita dan. . .  JEFF!!" Aku terpekik kaget saat Jeffry tiba-tiba saja meraih tanganku dan menyentakannya dengan kuat, sehingga barang-barang yang kubawa berjatuhan dilantai. Sesaat kemudian dia telah mendorongku hingga menabrak dinding dan bibirnya segera menempel dileherku. Menghisap kulitku yang langsung terasa sensitif.
"I miss you!" desah Jeffry pelan dan bibirnya telah menemukan bibirku, mengulumnya lembut. Tangan Jeffry bergerak meraih pinggangku dan mengangkatku. Sembari menekankan tubuhku didinding, dia melingkarkan satu kakiku dipinggangnya, hingga secara otomatis, kakiku yang satu mengikuti. Bibirnya hampir tak pernah lepas dariku. Saat dia melepasnya, kami berdua terengah-engah kehabisan udara. Aku berpegang erat pada lehernya sambil mencoba mengatur nafas.
Jeffry menatapku dengan lembut. Matanya merayapi wajahku dengan intens hingga aku sedikit tersipu.
"Aku bener-bener kangen kamu," bisiknya lagi lalu kembali menciumku. Akupun membalasnya.
Tuhanku, aku tak bisa!!!!
Hingga saat ini, 7 hari setelah kepulanganku ke Jakarta, aku masih belum bisa mengatakannya pada Jeffry. Tiap kali aku mencoba, sepertinya kata-kata itu berhenti di ujung tenggorokanku. Hasilnya, aku jadi susah untuk makan dan tidur. Tanpa sadar aku sering diam melamun, hingga kadang Jeffry harus mengulang kata-katanya kalau berbicara denganku.
Beberapa kali dia menanyakan kalau-kalau ada yang salah, atau mungkin masalah. Bahkan dia sempat mengira kalau mungkin Ummi dan Abi yang bermasalah. Dia menyangka kalau mungkin Abi sudah parah dan harus dirawat diluar, sementara aku kesulitan biaya. Jeffry menawarkan bantuannya. Tentu saja aku terharu dan segera meyakinkan Jeffri, bahwa bukan itu masalahnya. Aku hanya sedikit homesick.
"Kamu sudah cukup?" tanya Jeffry saat aku bangkit membereskan piringku.
"Sudah! Lagi gak enak makan," jawabku pelan.
"Maz. . . ," panggil Jeffry membuatku terhenti. Dia mendekat dan meraih tanganku. "Kapan kau mau mengatakan apa masalahmu?" tanyanya pelan.
Aku cepat-cepat membuang muka saat dia mulai menatapku dengan intens dan penuh selidik. "Nggak papa kok Jeff. Cu-cuma s-sdikit homesick saja," elakku gugup. Kurasakan satu tangan Jeffry meraih daguku dan memaksaku untuk menatapnya.
"Aku siap mebantumu," katanya lagi tanpa melepaskan pandangannya.
Aku hanya tertawa kecil untuk mengatasi gugupku. Aku segera melepaskan diri. "Ada-ada saja! Nggak ada apa-apa. Aku berangkat dulu ya?" pamitku dan cepat-cepat pergi dari sana setelah menyambar tas ku.
Aku tahu Jeffry tak percaya sedikitpun kata-kataku. Tapi dia cukup menghormatiku dengan tak memaksaku mengatakan apapun. Dia menunggu aku sendiri yang mengatakannya, dan aku tak bisa. Aku nyaman berada disisinya. Aku menyukai kehangatan dalam pelukannya. Saat bersama dirinya aku bisa menjadi diriku sendiri. Bersamanya aku merasa bebas dan tak terikat. Dan aku belum rela untuk melepasnya.
Mungkin aku egois. Tapi aku benar-benar tak bisa meski aku harus. Aku mencintai Jeffry, tak ada keraguan tentang hal itu. Jauh lebih besar dibandingkan perasaan yang kurasakan pada Rafly. Apa yang terjadi antara aku dan Rafly boleh dibilang adalah cinta monyet, karena kami masih sama-sama remaja dan labil. Tapi dengan Jeffry, aku sudah dewasa dan tahu apa yang aku inginkan. Memikirkan untuk berpisah dan tak mampu lagi berada didekapannya membuatku ngeri. Aku tak sanggup untuk melakukannya.
Bagaimana aku bisa bekerja kalau pikiranku penuh begini? pikirku. Aku harus menghubungi Mbak Rara, manager ku dan mambuat jadwal ulang. Dan saat itulah baru kusadari, kalau hp ku tertinggal dikamar.
Aku mengumpat pelan dan segera menghentikan mobil untuk berbalik. Untung saja aku masih belum jauh. Kulihat mobil Jeffry juga masih belum hilang.
"JEFF!!" panggilku dan masuk kerumah. Kulihat dia sedang menonton tv diruang tengah. Dia hanya melihatku yang nyelonong masuk. "Hp ku ketinggalan dikamar dan. . . ," aku terhenti saat kulihat dia mengacungkan hp ku ditangannya.
"Tadi ada telepon dari tante," katanya datar.
Aku mendekat dan mengulurkan tangan untuk mengambil hp ku darinya. "Ada. . . pesan?" tanyaku perasaan khawatir yang mulai merambatiku.
"Beliau bilang pesta pertunanganmu akan dilaksanakan dalam seminggu. Kau harus meluangkan waktu," katanya. Tak ada marah ataupun kaget. Suaranya benar-benar datar tanpa ekspresi.
Aku terdiam dengan aliran darah yang seakan-akan terhenti. Pasti wajahku sudah memucat sekarang. Bahkan aku tak menyadari hp ku yang jatuh berkelotakan dilantai.
"Ada yang lupa kau katakan?" tanya Jeffry lagi.
"Jeff, a-a-ku. . . bi-bisa jelaskan. . . ,"
"Kalau begitu mulailah bicara!" potong Jeffry dingin. Tatapannya begitu menusuk, dan akupun sadar. Sadar bahwa apa yang kami miliki, telah menjadi sejarah.
Kejadian setelah itu aku tak begitu ingat lagi. Aku bahkan tak tahu apa yang kukatakan. Yang kuingat adalah mataku yang berair dalam hitungan detik. Lalu aku ngoceh tak jelas tentang Abi yang sakit, Ummi yang kesepian dan aku anak yang tak berbakti. Juga bahwa aku mencintainya dan tak ingin berpisah dengannya. Seingatku itu inti dari ceracauan tak jelas yang kuucapkan sembari menangis. Aku hampir-hampir histeris. Nyaris tak terkendalu. Beban yang kusimpan beberapa hari terakhir tumpah begitu saja. Semua menyembur keluar tak terkendali sampai akhirnya Jeffry memelukku. Dia mencoba menenangkanku. Namun bahkan diantara ocehanku yang tak jelas, aku bisa merasakan sesuatu yang berbeda.
Pelukan Jeffry tak sehangat sebelumnya. Pelukannya dingin. Dan jauh didalam bawah sadarku, aku merasakan bahwa dia kembali menjadi Jeffry yang baru pertama kali ku kenal dulu.
Jeffry yang menutup dirinya dari siapapun.
Bahkan dariku!

MEMOIRS II (Dimaz' classic story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang