Aku sadar kalau aku harus menerima konsekuensi dari pilihanku. Tapi tetap saja aku merasa sakit meski aku sudah tahu apa yang akan kuhadapi. Terkadang aku tak habis pikir. Kata CINTA telah dibahas berulang-ulang dalam berbagai generasi dan zaman. Kata yang sepertinya kecil dan terkadang terasa remeh itu tanpa kita sadari telah bermakna besar dan dalam rentangan zaman telah menaklukkan banyak sekali orang-orang hebat dalam sejarah.
Kitab suci telah mencatat bagaimana Adam terbuang dari surga untuk memenuhi permintaan istri tercintanya, Hawa. Julius Ceasar, penakluk sepertiga permukaan dunia yang tampak, telah jatuh terseok-seok karena cintanya dibawah kaki Cleopatra. Bahkan mantan pemimpin negara kita yang mahsyur, almarhum Soekarno, terkenal juga akan kelemahannya dalam cinta. Dia bisa mempesona anggota dewan PBB dunia, namun toh takluk karena cintanya pada wanita.
Atau B.J Habiebie. Salah satu cendekiawan asal negara kita yang mahsyur akan kekuatan otaknya, bisa dibuat mewek saat wanita yang dicintainya meninggal. Sepertinya, otak jenius yang beliau miliki juga tak terlepas dari virus cinta.
Aku bukan orang besar. Tapi aku juga mengalami penderitaan karena cinta seperti mereka. Nasehat-nasehat usang yang kudengar tentang bagaimana kita bisa survive meski cinta kita hilang, terdengar seperti sampah bagiku. Aku nyaris tak bisa menemukan alasan bagaimana aku harus mempertahankan kewarasanku. Tapi begitu melihat Abi dan Ummi, aku tahu aku harus kuat. Aku harus melakukan semua ini demi mereka. Rasa sakit yang kurasakan karena Jeffry sungguh kecil dibandingkan dengan kebahagiaan mereka. Aku sakit, hampir gila rasanya. Tapi aku tetap tersenyum.
Bahkan dalam pesta pertunanganku yang meriah ini, aku tampil dengan seyumku. Meski sekujur tubuhku hampir-hampir kebas.
Aku nyaris tak bisa merasakan minuman atau makanan yang tadi kusantap. Aku merasa begitu hampa. Seperti berada dalam sebuah film bisunya Charlie Chaplin, dimana semua hal disekelilingku sedang heboh melakukan sesuatu sementara aku tak mendengar sedikitpun suara yang mereka keluarkan. Seakan-akan telingaku tertutup oleh sebuah headset besar.
Pesta pertunangan ini berjalan lancar. Beberapa anggota keluarga ku dan pihak Oom Ghani hadir. Juga beberapa teman bisnis mereka. Setengah mati aku berusaha terlihat sebagai laki-laki yang bahagia. Menikmati godaan dan sindiran beberapa saudara. Mereka bilang aku beruntung memperoleh Sarah yang menawan dan dari keluarga terpandang. Sepertinya gadis itu cukup terkenal didaerah ini. Aku hanya tertawa kecil dan menerima kecemburuan mereka dengan senyum.
Banyak orang yang mengucapkan selamat dan memberi hadiah pada kami malam itu. Entah berapa orang yang telah kusalami dan kuberi ucapan terimakasih. Aku sudah lupa. Aku benar-benar lelah. Yang aku inginkan hanya sendiri dikamarku dan menelepon Jeffry.
Bahkan tanpa ada kata berpisah, kami berdua telah paham bahwa apa yang kami miliki telah berakhir. Jeffry tak mengatakan apapun waktu itu selain, "Lakukan apa yang menurutmu yang terbaik!"
Kami berdua sudah tahu keputusan apa yang kuambil.
Aku masih ingat percakapan terakhir kami saat aku akan bertolak ke kampung halamanku. Waktu itu, aku telah menyelesaikan semua kontrak dan transfer kuliahku. Bahkan barang-barangkupun telah terbungkus rapi dan siap dikirim.
"Besok pagi aku berangkat," kataku pada Jeffry yang duduk diruang tengah menonton tv.
"Hmm. . . ? Well, sorry aku gak bisa nganter," sahutnya acuh tanpa berpaling dari layar.
Aku duduk disebelahnya. Ikut-ikutan memandang layar tv tanpa tahu apa yang sedang tayang. "Apa ada yang ingin kau katakan?" tanyaku pelan.
"Let me think," gumam Jeffry dengan jari telunjuk mengusap bibirnya. Ekspresi wajahnya seolah-olah dia sedang berfikir keras. "Semoga bahagia. Selamat menempuh hidup baru. Semoga sukses daaaaann. . . . I don't know. Menurutmu apa lagi yang harus ku ucapkan?" tanya Jeffry balik.
"Kau bisa memakiku," saranku.
Jeffry mendengus keras. "Itu cuma akan membuang-buang energiku. Thank you, but no! Thanks," selorohnya.
Tak ada suara. Hening diantara kami. Hanya televisi yang mengeluarkan bunyi-bunyian yang tak kumengerti. Saat ini, aku lebih berharap kalau Jeffry akan meledak. Mengeluarkan semua yang ingin dia lontarkan padaku sejak beberapa hari kemarin. Sikapnya yang datar dan biasa-biasa saja justru lebih menyiksaku.
"Sepertinya tak ada lagi yang bisa kukatakan padamu. Kau sudah mengambil keputusan," kata Jeffry akhirnya.
"Kalau begitu. . . ,boleh aku mengajukan satu permintaan?" tanyaku.
"Apa lagi yang kau inginkan dariku?" tanya Jeffry, masih dengan mata yang menatap layar tv.
"Jangan hapus aku dari kehidupanmu," pintaku lirih. "Tolong beri aku sedikit tempat dihidupmu. Aku tahu ini egois. Tapi aku masih ingin bisa bicara, bertemu dan tahu keadaanmu."
"I'm not gonna . . ."
"Aku tidak minta sex darimu!" potongku cepat. "Aku tahu aku tak berhak. I just wanna be a part of your life. We can be friends. Aku akan selalu ada kapanpun kau butuh. Aku janji! Kapanpun kau panggil, aku akan datang. Boleh?" tanyaku dan melihatnya.
Jeffry berpaling dan menatapku. "Untuk apa? Bukankah lebih baik kalau kita tak usah bertemu agar kau bisa hidup seperti yang orang tuamu inginkan? Akan lebih mudah bagimu."
"Jeff, aku bersumpah! Andai saja aku bisa, aku akan berikan apapun yang aku bisa untuk tetap berada disini. Apapun itu! Tapi aku tak bisa. Mereka membutuhkanku. Dan aku membutuhkanmu!"
"Untuk apa?!"
"Untuk tetap hidup! Untuk tetap waras!" jawabku keras. Aku tak tahan lagi. Aku biarkan air yang menggenang dimataku turun. Sudah tak ada gunanya lagi berpura-pura didepan Jeffry. Didepannya aku bisa menjadi diriku sendiri.
"Kau gila kalau berpikir aku akan diam saja disini menunggumu!" gumamnya dingin.
Aku menggeleng kuat-kuat mendengarnya. "Aku tak berhak meminta itu. Kau punya hak penuh dengan hidupmu. Kau bisa melakukan apapun maumu. Cari dan dapatkan orang yang lebih baik dariku. Yang kupinta, beri sedikit tempat dihidupmu untukku. Ijinkan sesekali aku menemuimu. Aku tak akan menghalangi apapun yang ingin kau lakukan. Aku tahu aku sudah kehilanganmu saat aku memutuskan untuk menuruti permintaan Abi dan Ummi. Tapi demi Tuhan, aku benar-benar membutuhkan- mu Jeff!"
Jeffy menarik nafas panjang dan mengangkat wajah, menatap langit-langit seolah-olah ada sesuatu yang menarik disana.
"Please. . . ," pintaku lagi lirih, hampir tak terdengar.
Tak ada jawaban dari Jeffry, tapi satu tangannya kemudian menarik dan memelukku. Dan untuk kesekian kalinya, aku menangis keras dalam dekapannya.
Malam ini dia tak datang ke pesta dengan alasan syuting. Sebenarnya kalau boleh jujur, aku ingin dia ada disini untuk menemaniku. Permintaan yang egois. Aku tahu. Tak adil bagi Jeffry untuk melihatku bertunangan dengan orang lain. Jadi, kini aku harus menghadapinya sendiri. Berakting sebagai seorang pria yang bahagia dan menebarkan senyum ke segala arah.
Sungguh melelahkan!
Karena itu aku memilih untuk bersembunyi di pojokan saja. Siapa tahu mereka melupakanku. Ide konyol, tapi tak ada salahnya berusaha. Mumpung Sarah juga sedang sibuk dengan teman-temannya, pikirku dan melangkah
"Ah!!!" aku mendesah pelan,kesal saat tak sengaja tanganku yang memegang segelas minuman tersenggol seseorang yang lewat. Sedikit cairannya mengenai jasku yang untungnya berwarna hitam. Aku mengeluarkan sapu tanganku dan mencoba membersihkannya.
"Assalamualaikum Dimaz! Selamat ya atas pertunangannya," tegur seseorang dari sebelahku.
Bahkan saat aku belum mengangkat wajahku aku tahu siapa dia. Ya Tuhan, suara itu!! batinku mencelos. Bisa kurasakan desiran ngeri yang mengusap dadaku dengan tiba-tiba. Perlahan aku mengangkat pandanganku. Dia disana, berdiri dengan senyum ramahnya yang hanya beberapa kali kulihat seumur hidupku.
"Rafly. . . ," gumamku dengan wajah memucat.
"Hei! Awas ada lalat masuk. Mulutmu terlalu lebar kebuka tuh," godanya. Aku refleks menutup mulutku yang terbuka kaget karenanya. Tanpa sadar aku menelan ludah. Sosok Rafly berubah dengan dramatis. Tubuhnya jauh lebih tinggi. Bahunya lebih lebar daripada yang kuingat. Terlihat lebih gagah. Tapi senyumnya yang paling mengesankan. Selama aku kebersamaan kami yang singkat, hanya beberapa kali senyum selebar itu ia sunggingkan. Ekspresi ramah yang ada diwajahnya itu cuma pernah ia tampilkan hanya didepan Mas Arif dan aku saja.
Tapi lihat kini. . .
Aku sudah merasa tak nyaman dari awal acara malam ini. Fisik dan mentalku benar-benar diambang batas kemampuannya. Sedari tadi aku mencoba bertahan, tapi kehadiran Rafly merupakan sebuah pukulan yang telak padaku. Kelebatan dari semua hal yang pernah kami alami melintas dengan cepat. Berputar disekelilingku. Menjadikan ruangan ini benar-benar seperti bergerak cepat. Aku limbung.
"Dimaz!!!" seru Rafly kaget dan segera memburuku.
Aku mengangkat tangan,mencegah agar dia tidak mendekat. Untungnya aku telah berada dipojok ruangan sehingga aku bisa bersandar pada tembok. Karena kalau tidak, aku pasti sudah roboh.
"Perlu kupanggilkan orang? Kau pucat sekali!" tanya Rafly khawatir tanpa berani mendekat.
Aku ingin mengatakan sesuatu tapi tak bisa. Aku hanya mampu melihatnya. Menelusurinya dengan mataku. Bertahun-tahun aku membayangkan pertemuanku dengannya. Sudah ku buat banyak skenario dalam berbagai adegan dimana kami bertatap muka. Kebanyakan dalam scene itu dia marah. Dia akan menuntutku. Dia akan mengamuk, dengan ekspresi yang lebih mengerikan diwajah dinginnya. Bukannya menyapaku dengan santai dengan wajah kalem berhias senyumnya seperti sekarang.
"Dimaz! Kamu dicari Oom Ghani lho!" kata Ummi yang berjalan kearah kami. "Rupanya mojok disini. Beliau mau memperkenalkan saudaranya yang tinggal di Singapura dan. . . " Kalimat Ummi terhenti saat melihat Rafly yang berdiri tak jauh dariku.
"Tante. . . ," sapa Rafly hormat pada beliau.
"Rafly! Sudah bertemu kalian rupanya. Dari tadi ya?" tanya Ummi ramah.
Jelas saja aku kaget mereka bisa ngobrol akrab begini. Seingatku aku tak pernah mengenalkan mereka.
"Ummi nggak sengaja ketemu dia waktu belanja beberapa hari yang lalu. Ummi ingat dia yang titip bungkusan ke kamu waktu itu kan? Rafly bilang kalian sudah tak pernah berhubungan lagi sejak kamu pindah. Karena itu, Ummi kasih surprise kamu dengan mengundangnya ke pesta ini," jelas Ummi begitu tahu aku menatapnya heran. "Bagaimana menurutmu calon menantuku Raf?"
"Sangat cantik Tante! Cocok sekali dengan Dimaz!" sahut Rafly dengan tertawa kecil. Ummi jelas senang mendengarnya.
"Tuh Dimaz. Dengerin tuh. Kalau begitu, Tante pinjam Dimaz dulu ya? Ada saudara dari pihak besan yang belum melihatnya," pamit Ummi dan meraih tanganku, membawaku pergi mejauh dari Rafly. Meski aku ingin berteriak pada beliau agar meninggalkanku disana, aku hanya menurut mengikutinya. "Ayo Nak. Eh, kamu sakit?" tanya Ummi khawatir melihatku. Tatapannya meneliti wajahku yang mungkin sudah sepucat mayat.
"Enggak Mi. Cuma sedikit cape," dustaku pelan. Aku menoleh kebelakang dimana Rafly berdiri. Dia hanya kembali tersenyum dan mengangkat gelas minumannya padaku, dan kembali mengucapkan selamat dalam bahasa bibirnya.
Ya Tuhan!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMOIRS II (Dimaz' classic story)
Ficción General*Cerita ini bertema gay, bagi yg homopobic silahkan menjauh... Budayakan membaca biar gak salah. * cerita ini gw ambil dri blognya mas SONI DUAINNE yaitu soniduainne.blogspot.com dan gw uda minta ijin ke beliau. *FB, soni prabowo damian duainne *...