Keesokan paginya, pada jam sepuluh pagi, aku sudah berada didepan rumah Rafly. Hampir semalaman aku tak bisa memejamkan mata. Yang terbayang dimataku adalah Rafly yang berdiri didepanku dengan tersenyum ramah. Sama seperti Jeffry, aku merasa mungkin akan lebih baik kalau Rafly meledak. Tapi semalam dia terlihat begitu santai dan tenang. Aku justru tambah merasa kacau karenanya. Aku nyaris tak bisa memahami apa omongan Oom Ghani semalam itu. Pikiranku benar-benar tak karuan. Aku ingin berbicara banyak pada Rafly. Ingin tahu apa saja yang telah terjadi dalam hidupnya. Ingin meminta maaf padanya. Sayangnya, hampir sepanjang sisa malam itu aku tak lagi melihatnya. Hingga aku tak tahan. Dan sebelum aku bisa menyadarinya, aku sudah berada disini sekarang.
Rumah Rafly tampak jauh lebih baik dari terakhir kali aku melihatnya. Tampak lebih bersih, asri dan lebih pantas disebut rumah. Berbeda dengan dulu yang selalu terlihat lengang dan tak berpenghuni. Sebagian rumahnya sudah ditembok. Aku mendekat untuk mengetuk pintu Rafly perlahan.
Rafly yang membuka pintu jelas kaget melihat kedatanganku. Tapi dia segera menguasai diri dan dengan tertawa santai mempersilahkanku masuk.
"Pagi bener Maz. Duduk dulu ya?" kata Rafly dan berlalu kedalam.
Aku hanya mengangguk padanya. Saat duduk didalam sini, aku juga merasakan atmosfir yang tak lagi sama seperti dulu. Lebih hangat dan nyaman. Terasa ada sentuhan-sentuhan berbeda dalam tiap sudutnya. Ruangan itu sudah banyak dihias. Taplak meja, bunga, hiasan didinding dan juga foto.n
Mataku langsung tertancap pada foto berbingkai ukuran 10R itu. Foto Rafly dengan seorang gadis manis berambut panjang. Keduanya berpelukan dan tampak mesra. Ada sedikit ketidaknyamanan yang kurasa. Aku tak pernah melihat Rafly begitu intim dengan orang lain. Apalagi sampai berpelukan begitu.
"Itu Rasti," kata Rafly yang muncul dengan segelas teh hangat dan sekaleng kue kering.
"Pacar?" tanyaku.
Rafly tersenyum. "Tunangan," jawabnya singkat dan duduk.
Aku tak bisa berbicara, hanya menatapnya kaget. Lagi-lagi Rafly hanya tersenyum dengan reaksiku dan mempersilahkanku untuk duduk didepannya. Aku menurutinya dengan gerakan gamang. Apa yang kau harapkan Dimaz? Dia akan diam saja meratapi kesengsaraannya dan terus menunggumu? batinku getir.
"Sudah lama kalian. . . , bertunangan?"
"Sekita lima bulan. Akhir tahun ini kami menikah," jawab Rafly, lagi-lagi membuatku terlengak kaget.
"M-menikah?"
Rafly mengangguk. "Yup! Menikah. Aku sudah bosan hidup sendiri Maz. Rasti sudah memberiku banyak hal. Dia juga sudah banyak merubahku. Kau lihat kan? Rumahku pun jadi lain sekarang. Semua ini dia yang melakukannya. Setiap hari dia datang dan. . . "
"Assalamu'alakum wrwb!"
Wajah Rafly langsung sumringah mendengar salam itu. "Aaah Rasti. Wa'alaikumsalam," jawabnya.
"Oh ada tamu Bang?" sapa cewek itu lagi dan tersenyum. Dia masuk dan langsung menghampiri Rafly. Dia menyalami dan mencium tangannya takzim.
"Ras, ini teman lamaku Dimaz. Maz, Rasti tunanganku!" ujar Rafly memperkenalkan.
Mata Rasti terbelalak melihatku. "Teuku Dimaz Putra Alamsyah?! Yang selebriti itu kan? Ya ampuuun!! Benerr!!!!" Dengan antusias dia menyalamiku. Matanya berbinar menatapku dengan kekaguman.
"Hei! Jangan bikin Dimaz gak enak hati!" tegur Rafly ringan dan tertawa geli oleh reaksi heboh Rasti.
"Habis gak nyangka! Temen Abang ada yang artis juga!" jawab Rasti, masih dengan terpana dan mengamatiku.
Lagi-lagi Rafly tertawa. "Dasar! Oh ya, untuk acara kita hari ini mungkin harus diundur. Rasti gak papa kan pulang dulu?"
Rasti jadi sedikit kaget dan sontan berpaling pada Rafly yang hanya tersenyum dan mengangguk. Senyum pengertian segera tersungging dibibir Rasti. Bisa kulihat kedekatan mereka, hingga dengan satu isyarat kecil seperti itu sudah cukup untuk membuat mereka paham.
"Ya sudah. Rasti pulang dulu. Bang Dimaz, nanti Rasti minta foto sama tanda tangannya ya?" tukasnya riang. Aku hanya mampu tersenyum tipis menanggapinya. Benar-benar anak yang ceria.
"Gak apa-apa kan Ras?" tanya Rafly meyakinkan.
"Iya Bang. Rasti pamit ya?" kata Rasti lalu kembali menyalami dan mencium punggung tangan Rafly. Kali ini Rafly meneruskannya dengan meraih kepala Rasti dan mengecup keningnya. Rasti keluar, meninggalkan kami yang untuk sejenak jatuh dalam keheningan.
Aku mengamati semua itu dengan dada sesak dan mata yang sedikit perih. Entah apa yang sebenarnya kurasakan. Kaget, cemburu, tak rela, atau hanya menyesal. Aku hanya mampu menelan ludah dan berdehem pelan. Mencoba mengumpulkan suara dan bersikap biasa. "Dia. . . , manis sekali Raf," kataku setelah kediaman yang sedikit canggung itu.
Rafly tersenyum dan mengangguk. "Dia baik, tegar dan sangat menyayangiku," katanya dan menatapku tanpa berkedip. "Dia orang yang akhirnya bisa membuatku tersenyum setelah kepergianmu. Aku sempat down saat kau tiba-tiba menghilang. Sekali lagi, setelah kematian orang tuaku, kau membuatku merasa terbuang, tersisih, tak layak dicintai dan ditinggalkan. Apa lagi setelah apa yang terjadi diantara kita malam itu. Aku benar-benar merasa kau. . . , buang. Aku merasa sangat bingung, takut dan terpukul," lanjut Rafly dengan nada pelan. Tak ada kesan menuntut atau marah dalam suaranya. Dia hanya sekedar bercerita. Tapi tetap saja, dadaku sontan luar biasa nyeri. Kali ini aku sudah tak sanggup menatapnya. Aku cuma mampu menunduk dengan pandangan yang mulai kabur. Nafasku tersendat keras.
"Sungguh! Aku benar-benar down. Kau menghilang tanpa satu katapun. Dua tahun aku berantakan. Untung saja Mas Arif tak henti-hentinya mengingatkanku. Agar aku terus selalu ingat akan studiku yang mulai terbengkalai. Dan seperti harapanmu, aku berhasil menjadi siswa terbaik disekolah kita. Bahkan mendapat beasiswa penuh di Perguruan Tinggi kota. Satu tahun pertama di Perguruan Tinggi itu, Rasti mendekatiku. Tak sedikitpun aku menggubrisnya. Takut akan terbuang dan sakit lagi. Terlebih, waktu itu aku tak yakin bisa menyukainya. Karena yang ada dipikiranku waktu itu . . . , hanya kamu," kata Rafly.
Aku tak mampu bersuara sama sekali. Tapi lantai dibawahku telah basah oleh air mataku.
Tunggu sebentar," kata Rafly dan bangkit. Ia melangkah kedalam. Aku yang ditinggal cepat-cepat mengusap air mataku, meski aku tahu itu percuma karena Rafly jelas telah melihatnya. Tak berapa lama dia kembali dan mengangsurkan sebuah dokumen keeper tebal padaku. Aku menerimanya dengan pandangan tak mengerti. Rafly hanya mengangguk dan memberikan tanda agar aku membukanya.
Aku mendesah dengan mata yang kembali berair saat melihat isinya.
"Aku mengikuti ceritamu dari majalah-majalah, koran dan berbagai tabloid. Kukumpulkan semua gambar dan artikel tentangmu. Berharap bisa dekat denganmu dengan satu dan lain cara. Karena kau. . . , sama sekali tak kembali," kata Rafly yang kemudian duduk disampingku.
Aku memandangnya dengan penuh penyesalan. Hatiku benar-benar terasa sakit, sadar bahwa sepertinya aku telah melukainya terlalu dalam. Tapi nyatanya, dia tidak meledak didepanku. Dia justru begitu tenang dan terkendali. Justru aku yang tak karuan. Perasaan bersalahku jadi semakin membesar. "M-ma-af," pintaku lirih dan tersendat.
Rafly kembali tersenyum. "Memang sangat menyakitkan pada awalnya. Tapi Rasti muncul dalam kehidupanku. Dia terus berusaha masuk, tak perduli apapun yang kulakukan untuk mengusirnya. Kuacuhkan, ku konfrontasi, ku usir dan ku tolak mentah-mentah. Semuanya. Dia tetap terus berusaha mendekatiku. Hingga akhirnya aku menyerah. Menyerah menghalangi Rasti dan. . . ,menyerah mengharapkanmu. Dan siapa sangka, dengan Rasti, aku kembali hidup. Dia mampu membuatku melihat sisi lain dari hidupku, selain yang pernah kau tunjukkan. Dia mengajariku untuk bertahan dan menghargai semua yang ku miliki. Dia terus berada disampingku dan mendukungku. Aku kalah dan. . . . ,menyayanginya."
Rafly menatapku lembut dan memegang pundakku. "Aku sudah menemukannya. Orang yang benar-benar ingin membagi hidupnya denganku. Orang yang ingin kubagi hidupku dengannya. Karena itu, ambillah buku itu. Itu kenangan yang ku miliki tentangmu. Aku ingin kau menyimpannya. Karena aku akan segera membuat buku kenangan baru dengan Rasti."
Kata itu terdengar seperti ucapan selamat tinggal bagiku. Aku meraih tangannya yang dipundakku dan menggenggamnya erat. "Raf. . ., ma-maaf."
"Semua sudah berlalu. Aku sudah lama memaafkanmu. Meski aku punya beberapa pertanyaan yang ingin ku tahu. Kenapa? Apa yang terjadi? Apa salahku?"
"Aku tahu seharusnya aku mengatakan sesuatu," sahutku cepat meski dengan mata dan hidung yang berair. "Waktu itu aku juga takut, bingung dan sama sekali tak mengerti. Kau bukan satu-satunya orang yang terbayang akan peristiwa itu. Aku juga! Saat perjalanan pulang, aku sempat mual dan muntah hebat. Yang ada dalam pikiranku hanyalah, ini salah! Apa yang kita lakukan itu salah menurut kepercayaan dan ajaran yang selama ini diberikan oleh orang tuaku! Mati-matian aku menyangkal apa yang kurasakan padamu. Mencoba menganggapmu sebagai satu fase gila dalam kehidupan remajaku. Meski dalam hati aku sadar kalau aku benar-benar menyayangimu. Karena itu aku pergi!
Kau tak tahu kehidupan seperti apa yang kujalani di Jakarta. Kuhabiskan semua waktu yang kumiliki dengan beraktifitas. Karena kalau aku diam, aku akan mengingatmu. Mengingat betapa aku sayang kamu! Ingat akan apa yang kita rasakan bersama. Aku belajar dan bekerja seperti orang gila. Aku hanya kembali kerumah saat aku sudah terlalu lelah untuk berpikir. Agar aku tak bisa mengingatmu. Aku terus berlari dari bayanganmu Raf. Meski akhirnya, aku tahu kalau aku tak bisa lari dari diriku yang sebenarnya." Aku mengusap wajahku dengan frustasi.
Rafly memandangku dengan sorot tanya yang besar.
Aku tertawa getir. "Aku gay Raf! Aku pergi ke Jakarta untuk lari darimu. Berharap dengan menjauh, aku bisa mengembalikan pikiran normalku. Tapi disana aku justru menemukan orang yang begitu mengingatkanku padamu. Kegetirannya pada hidup dan lingkungan sosial nya benar-benar mirip denganmu," kataku lagi. "Dan aku jatuh cinta setengah mati padanya. Ironis kan? Semuanya membuat aku sadar, kalau tindakanku lari darimu, penyangkalan perasaanku padamu dulu adalah tindakan bodoh dan sia-sia. Karena pada akhirnya, aku tak bisa lari dari diriku sendiri.
I'm gay! Aku kembali jatuh cinta pada seorang lelaki. Dan dia juga mencintaiku. Butuh usaha berat bagiku untuk mendapatkannya. Sama seperti Rasti berusaha mendapatkanmu, aku juga mati-matian berusaha untuknya. Karena aku tak ingin kehilangan dia, seperti aku kehilangan kamu. Tapi setelah kami akhirnya bersama, orang tuaku menjodohkanku dengan seorang gadis yang hampir-hampir tak kukenal."
"Dimaz. . . ," desah Rafly penuh simpati.
"Ini karma kan? Karma karena aku sudah meninggalkanmu. Menyakitimu."
"Dimaz. ."
"Demi Allah Raf! Aku juga bingung dan takut! Aku nggak mau jadi. . ." Aku sudah tak bisa lagi meneruskan kalimatku karena aku sudah menangis hebat, dan hanya mampu menggumamkan kata maaf berkali-kali padanya. Rafly memelukku erat, mencoba menenangkanku.
Dia tak tahu, waktu itu aku menangis bukan hanya karena aku menyesal atas apa yang telah kulakukan padanya, tapi juga karena ironi yang harus ku tanggung. Kenapa aku tak bisa seperti dia, yang pada akhirnya bisa mencintai dan menikahi seorang gadis? Aku justru jatuh cinta pada pria lain, sementara aku ditunangkan dengan seorang gadis yang benar-benar asing.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMOIRS II (Dimaz' classic story)
General Fiction*Cerita ini bertema gay, bagi yg homopobic silahkan menjauh... Budayakan membaca biar gak salah. * cerita ini gw ambil dri blognya mas SONI DUAINNE yaitu soniduainne.blogspot.com dan gw uda minta ijin ke beliau. *FB, soni prabowo damian duainne *...