Beberapa orang bijak mengatakan bahwa hal terhebat yang akan kita pelajari adalah saat kita mencintai seseorang, dan orang itu juga mencintai kita. Itulah puncak hubungan tertinggi yang ada antara dua orang manusia. Well, diluar hubungan kita dengan keluarga atau ibu kita tentunya.
Dan aku setuju.
Kebahagiaan yang kita rasakan saat kita bisa mencintai seseorang dan mendapatkan balasan yag sama, benar-benar pengalaman yang menakjubkan. Hampir setiap hari, selalu ada hal yang menyenangkan hanya dengan mengingat sosok yang kita cintai. Apa lagi saat kita bertemu dan menyentuhnya. Hari-hari terasa begitu ringan dan fun. Bahkan saat kita mengalami hari yang berat dalam bekerja. Hanya dengan sebuah telepon,sms atau melihatnya, semua yang ada disekeliling kita menjadi terasa lebih menyenangkan. Aku banyak mendapatkan gambaran betapa indahnya saat bersama dengan belahan hati kita dari buku-buku yang kubeli. Buku-buku yang kugunakan dalam mencari trik bagaimana menaklukkan Jeffry. Meski tak ada satupun cara yang disebutkan dalam buku itu berhasil, aku menyukai ilustrasi indah yang mereka gambarkan. Aku ingin memiliki semua itu bersama dengan Jeffry.
Tapi tidak dalam situasi seperti sekarang ini. Jeffry masih tergolek dikamarnya, hasil dari pesta minum semalam. Jadi kuputuskan untuk beres-beres rumahnya.Tapi sialnya, siang itu, tanpa sengaja aku tertidur diruang tamu Jeffry. Sedikit kelelahan karena kemarin aku bekerja seharian, malam menjemput Jeffry di club, pulang dengan mobilnya, lalu kembali lagi ke club untuk mengambil mobilku. Saat ini aku baru merasakan lelahnya. Dan tanpa sengaja, aku tertidur disova.
Ketika aku terbangun, tubuhku telah diselimuti dan Jeffry duduk diam didepanku. Seolah-olah memang sengaja menungguiku. Saat tahu aku bangun, dia hanya memandangku dengan tatapan hangatnya.
"Hei. . . . ," sapaku dengan suara sedikit serak. "Sudah bangun? Enakan?" tanyaku. Tapi Jeffry tak menjawab. Saat kulihat keluar jendela kacanya, lampu-lampu malam telah dinyalakan. Sepertinya cukup lama juga aku terlelap. Aku bangkit duduk dan mengusap mataku yang masih terasa berat. "Maaf, aku tertidur. Jam berap. . . ," kalimatku terputus.
Aku yang sudah hendak bangkit jadi urung saat tahu-tahu Jeffry telah membaringkan dirinya di sova dan menggunakan pahaku sebagai bantal.
"Kenapa? Masih pusing?" tanyaku pelan dan meraba dahinya. Tapi Jeffry meraih tanganku lalu mendekapnya didadanya. Aku tak bisa melihat ekspresi wajahnya, karena Jeffry berbaring miring.
"Seharusnya kau pergi dariku," bisiknya.
Aku tak langsung menjawab, dan menghela nafas panjang. "Terlambat," jawabku pelan dan menggunakan tanganku yang lain untuk mengusap rambutnya. "Aku sudah memutuskan untuk bersamamu."
"Aku pernah menjadi piaraan seorang designer untuk bisa survive disini."
"Aku tak perduli."
"Aku juga tidur dengan banyak orang!"
"Aku melihatnya sendiri," sahutku ringan.
"Tapi kau masih menginginkanku?" tanyanya lirih.
Kembali aku mengusap kepalanya lembut. "Yah! Aku masih menginginkanmu," jawabku dengan yakin.
Tak ada sahutan dari Jeffry. Namun sesaat kemudian, bahunya berguncang. Dan dia semakin erat memegang tanganku yang dipeluknya. Aku yang menyadari kalau dia menangis langsung mendekap kepalanya dengan erat dan berbisik pelan untuk menenangkannya.
Kami berbicara banyak malam itu. Jeffry menceritakan semua hal yang ingin ku ketahui tentangnya. Masa lalunya, kehidupan pahit yang ia rasakan saat harus menumpang dirumah saudaranya. Saat dimana dia diperlakukan nyaris seperti pembantu. Satu-satunya saat dimana dia merasa bebas adalah saat dia berada disekolah. Dirumah dia selalu bekerja dan bekerja. Selain mengerjakan pekerjaan rumah, Jeffry juga harus ikut membantu usaha mereka. Jeffry yang sering pindah-pindah, tergantung pada saudara mana yang mau menampungnya, sudah pernah menjajal berbagai macam profesi. Penjaga warung makan, kuli toko, sales makanan sampai tukang loak. Selama dia ikut salah seorang dari mereka, dia selalu ikut membantu usaha mereka dalam mencari nafkah.
Mulanya dia tidak berkeberatan, karena Jeffry sadar dia hanyalah menumpang. Sebisa mungkin dia tak ingin dia menjadi beban berat. Dia berusaha untuk memberikan sedikit sumbangan yang dia mampu untuk membantu mereka. Sayangnya, hampir keseluruhan saudaranya itu tidak bisa menghargai usahanya. Kebanyakan dari mereka justru memerah habis tenaganya. Selesai membantu usaha mereka, Jeffry masih harus mengerjakan pekerjaan rumah lainnya seperti membersihkan rumah, mencuci atau memasak. Nyaris tak ada waktu baginya untuk beristirahat.
"Kenapa kau tak pergi dan hidup sendiri saja?" tanyaku.
"Dan tidur dimana? Dibawah jembatan?" tanya Jeffry balik. Aku terdiam tak bisa menjawab. Jeffry yang berbaring telentang berbantal pahaku hanya tersenyum melihatku. "Aku tak punya rumah Maz. Orang tuaku tak meninggalkanku apa-apa. Mulanya aku tak menyadari keironisan kehidupanku sampai aku menginjak remaja. Waktu itu aku mulai sadar kalau aku banyak kehilangan waktuku sebagai anak. Aku tak bisa bermain seperti teman-temanku. Aku bahkan tak pernah sekalipun ikut belajar kelompok. Aku tak bisa memiliki waktu bebas seperti mereka. Aku harus bekerja sepanjang waktu. Ngeceng, hang out bareng teman, atau pacaran jadi hal yang aneh bagiku. Aku tumbuh menjadi anak yang minder karenanya.
Aku begitu ingin merasakan hal normal itu. Tapi aku tak pernah bisa. Sampai suatu saat, primadona sekolahku waktu SMA menembakku."
"Primadona sekolah?" tanyaku balik dengan kening berkernyit heran.
"Yeah! Cewek paling cakep dan tajir disekolahku memintaku untuk jadi pacarnya. Saat itu keinginanku untuk ikut merasakan apa yang teman-temanku rasakan hampir-hampir tak terbendung. Jadi kami kencan. Dia membawaku jalan-jalan dengan mobilnya. Kami nonton, pergi makan dan pergi ke sebuah studio foto. Disana dia mengambil fotoku dalam berbagai pose. Kukira itu hal wajar. Kukira itulah hal yang dilakukan oleh orang yang pacaran."
"Jadi dia temanmu yang mengirimkan fotomu ke majalah?"
Jeffry mengangguk untuk menjawabku.
"Apa yang kau katakan pada saudaramu?"
"Bahwa aku mendapat tugas dari kepala sekolahku untuk ikut sebuah lomba. Tapi kebohongan itu terbongkar hari itu juga. Karena aku bertemu dengan bibiku yang sedang belanja di mall itu. Disana, didepan orang ramai dan cewek itu, dia memakiku habis-habisan. Mengucapkan segala macam sumpah serapah yang mungkin hanya kau dengar dari mulut seorang sopir truk," kenang Jeffry dengan dahi berkernyit, seakan-akan mengingat hal itu seperti menelan sebuah pil pahit.
"Apa yang kau lakukan?" tanyaku lirih.
"Diam!" jawabnya pelan. "Diam dan menerima saja telah dipermalukan seperti itu. Karena aku tak punya pilihan. Saat itu juga, pacarku itu tahu, kehidupan seperti apa yang aku miliki."
"Lalu?"
"Aku diseret pergi oleh bibiku. Kembali dimaki dirumah, dan beberapa kali mendapat tamparan dari pamanku," jawab Jeffry lugas. Aku hanya mampu mengeluarkan suara terkesiap dan tanpa sadar tanganku mengusap pipinya.
"Mereka mampu melakukan itu?" desisku jijik.
"Dan juga hal lain yang mungkin lebih parah. Meludahiku, menyiramku dengan air kotor, atau menyuruhku tidur diluar rumah sebagai hukuman!" lanjut Jeffry dengan nada enteng. Aku hanya mampu diam dan menatapnya ngeri.
"Tak mungkin ada saudara yang mampu melakukan hal seperti itu," gumamku tak percaya.
Jeffry hanya tertawa getir. "Welcome to my world!" katanya sedikit sinis.
"Apa yang terjadi setelahnya?" kataku mengalihkan perhatian, mencoba menepis bayangan Jeffry yang harus tidur diluar rumah. Meringkuk kedinginan.
"Aku tak mampu mengangkat muka saat kembali bertemu cewek itu. Tapi dia meyakinkanku kalau antara kami masih tetap sama dan baik-baik saja. Dia janji tak akan mengatakan insiden kemarin pada siapapun Hingga hampir sebulan kemudian, dia memberikanku majalah itu. Majalah yang memuat daftar finalis pemilihan model. Dia juga yang membantuku mengurus tetek bengek lainnya. Menyiapkan baju, mengurus ijin dari sekolah, sampai membelikanku tiket dan memberiku uang saku. Waktu itu, aku hanya melihat bahwa itu adalah kesempatanku untuk pergi dari rumah pamanku."
"Kau. . . tidak ijin pada mereka?"
"Tentu saja ijin. Pada akhirnya mereka hanya mengomel dan dengan jelas mengatakan kalau mereka tak akan mau untuk mengurusi keperluanku. Untunglah pacarku cukup berada. Jadi aku berangkat dan mulai meniti karir disini."
"Saudaramu tak pernah datang mencarimu?"
"Aku yang datang kesana. Karena aku harus mengurus segala keperluan untuk pindah. Mengurus surat-surat disekolah dan yang lainnya. Aku memberikan sebagian uang hadiahku pada mereka."
"Apa yang mereka katakan?" tanyaku penasaran.
"Banyak. Tapi intinya adalah aku berhutang banyak pada mereka dan punya kewajiban untuk membantu mereka," jawab Jeffry.
"Dan apa yang kau katakan?"
"Bahwa mereka brengsek dan tak tahu diri. Dan aku tak mau lagi berurusan dengan mereka," jawabnya enteng. "Bahwa aku tak mau lagi mereka perlakukan sepeti sampah. Dan kalau sampai mereka mencari masalah, aku akan bongkar kebusukan mereka. Karena banyak saksi mata yang pernah melihat langsung, bagaimana mereka memperlakukanku."
Aku diam sesaat untuk mencernanya. Aku bisa merasakan emosi Jeffry. "Dan cewek itu. . . . ?"
"Aku ganti semua yang pernah ia berikan padaku dan memutuskannya. Sampai sekarang, aku selalu meneleponnya saat dia ulang tahun dan mengiriminya hadiah. Karena bagaimanapun, aku berhutang kebebasanku padanya," kata Jeffry.
Aku tersenyum. "Kalau begitu aku benar. Ada kebaikan dalam dirimu yang masih tersimpan," kataku pelan dan kembali mengusap pipinya.
Jeffry menatapku. Diraihnya tanganku dan digemggamnya erat. "Apa yang membuatmu begitu yakin padaku?"
Aku hanya menggelengkan kepala. "Aku sama sekali tak tahu. Aku hanya yakin. Itu saja. Sama dengan saat aku bertanya pada diriku sendiri, kenapa aku bisa menyukaimu. Aku tak bisa menemukan satu jawaban yang tepat. I'm just. . . simply in love with you!" kataku pelan.
Jeffry tak mengatakan apapun. Dia hanya mengangkat tubuhnya dan menciumku lembut.
"Menurutku itu adalah sebuah jawaban," bisiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMOIRS II (Dimaz' classic story)
General Fiction*Cerita ini bertema gay, bagi yg homopobic silahkan menjauh... Budayakan membaca biar gak salah. * cerita ini gw ambil dri blognya mas SONI DUAINNE yaitu soniduainne.blogspot.com dan gw uda minta ijin ke beliau. *FB, soni prabowo damian duainne *...