6. benci

889 86 36
                                    

Terimakasih buat yang udah vote + comment di chapter sebelumnya 😍
Happy reading 💞

• • • •

"Gue tau Lo cewek kuat tapi agresif," ujarnya lagi sebelum mendekapku lalu mencium kilat puncak kepalaku.

Aku mendorongnya yang masih senantiasa memelukku erat. Mungkin maksudnya, dia sedang memberiku kekuatan tambahan untuk menghadapi ini semua. Tapi aku tidak butuh apa pun darinya termasuk rasa kasihan dan simpati.

"Mulai sekarang, jangan, pernah, muncul, di hadapan, gue, lagi!" ujarku dengan menekan setiap kata.

Aku mendorong dadanya dengan telunjukku, membuat dia sedikit terdorong ke belakang. Aku benci ini, padahal aku mendorongnya kuat tapi reaksinya tidak sesuai yang kuharap. Harapanku kan, dia tersungkur di lantai. Dengan begitu aku bisa berlalu sambil menginjak lengannya.

Aku berlalu pergi, dengan sengaja menabrakkan lenganku pada Aldan. Namun, Aldan dengan sigap menahan tanganku dan memutar balik badanku. Hingga kulihat wajahnya yang datar seperti biasanya. Namun, aku yakin sepuluh juta persen, kalau dia tersenyum akan terlihat sangat manis. Melebihi Alvan adiknya sendiri.

"Kenapa gue gak boleh muncul di hadapan Lo lagi?"

"Kenapa?" tanyaku dengan sedikit meremehkan, "karena Lo, gue jadi ikut ke dalem permainan temen-temen Lo. Karena Lo, setiap hari yang gue jalani isinya sial semua. Karena Lo, gue benci kenapa gue masih hidup di sini."

"Bukannya gue diem aja? Gue gak ada maksud masukin Lo ke dalem dunianya temen-temen gue. Maksud gue baik dengan dateng ke kehidupan Lo. Gue cuma mau--"

"Gak usah sok baik sama gue, gue tau, Lo cuma kasian sama gue. Kalo maksud Lo cuma mau ngelindungin gue, makasih, tapi gue bisa sendiri."

Aku menghentakkan tanganku agar terlepas dari cekalan Aldan. Aldan hanya diam saja, lagian aku tidak berharap kakak kelas itu mengejarku lalu membawaku pergi seperti di novel-novel yang sering kubaca.

Aku menunduk saat melewati depan kelas IPA-2, itu kelasnya Peter, dan juga, Alvan. Di depan sana masih terdapat banyak penghuni kelas yang duduk di bangku luar kelas. Lebih banyak laki-laki, sedangkan aku hanya bisa menemukan sedikit perempuan. Mungkin perempuan itu menemani pacarnya. Mana mungkin perempuan itu jomblo, terlihat dari rupanya saja mereka cantik, lebih cantik dari Bella.

Di depan kelas tadi aku sempat melihat Peter. Peter pun juga sempat melihatku. Dari tatapannya saja seakan mengulitiku. Sampai rumah nanti, pasti akan ada cekcok jilid dua antara aku dan Peter. Semoga saja dia tidak sampai memindahkan kamarku menjadi satu lantai dengannya. Di sana juga ada Alvan, Tora dan Eza, mereka menatap sinis ke arahku. Aku yakin, salah satu dari mereka yang menempelkan foto itu di mading utama sekolah.

Aku mengetuk pintu kelasku yang hanya dibuka satu. Semua penghuni kelas termasuk guru yang tengah menulis sesuatu di papan tulis langsung melihat ke arahku. Ini kali pertama aku telat masuk kelas. Aku lupa satu hal, jam pelajaran pertama hari ini adalah fisika, di mana guru killer yang mengisi pelajaran itu. Namanya Bu Ros. Sama galaknya dengan Kak Ros.

"Maaf Bu, saya telat masuk."

"Sesuai konsekuensi yang sudah ditetapkan dulu saat pertama kali kalian bertemu saya di kelas ini. Yang telat harus dihukum dengan hormat pada bendera sampai jam pelajaran saya habis."

Aku mengangguk karena memang itu konsekuensinya.

"Permisi Bu," Bu Ros hanya mengangguk.

Saat sampai di ambang pintu, aku berbalik karena Moza memanggilku. Aku menunggunya yang sedang izin pada Bu Ros untuk memberikanku sarung tangan. Sahabatku tahu kalau kulitku sensitif dengan cahaya matahari. Makanya tadi aku mengaduh pada Aldan kalau kepanasan.

"Nih, biar kulit Lo gak kebakar," ujar Moza sambil memberikan sarung tangannya.

"Makasih, Moz. Ntar gue liat catetan Lo, ya?"

"Iya tenang aja," balas Moza lalu kembali ke tempatnya duduk sambil membawa tasku.

Aku keluar kelas sambil memakai sarung tangan itu. Yang aku sukai dari sahabatku, di saat orang lain membiarkanku, mereka datang padaku. Saat orang lain menghinaku, mereka terus ada di sampingku. Contohnya saja kejadian mading tadi. Bahkan Moza, yang notabenenya orang kaya, dia tetap mau berteman denganku. Andai mencari teman seperti mereka mudah.

Aku berjalan melewati penghuni kelas sebelah yang masih saja ada di luar. Berjalan cepat menuju lapangan upacara. Mengabaikan setiap cemoohan yang keluar dari mulut licin mereka. Bagiku itu sudah biasa. Dengan mereka yang seperti itu membuat kebencian di hatiku semakin subur. Karena terus kupendam tanpa bisa kutunjukkan.

Setelah sampai, aku kembali memakai kacamata, tudung jaket dan maskerku. Hormat pada bendera merah putih kebanggaan negara ini. Baru lima menit aku berdiri di sini, tapi kulit bawah rok atas kaos kaki rasanya seperti dibakar. Beberapa kali aku mengusap bagian kulit itu dengan harapan sedikit mendingan. Lalu kurasakan sebuah jaket diikat di pinggangku.

"Jangan lari-lari," aku mengernyit bingung, aku tidak berlari, lalu dia memelukku erat dari belakang, seolah aku ini bisa terbang jika dia tidak dengan erat memelukku.

"Dan jangan benci gue," bisiknya lalu pergi meninggalkanku.

Setengah jam kiranya setelah dia pergi, ketiga sahabatku datang menghampiriku. Awalnya aku bingung mengapa mereka menghampiriku di sini. Namun, setelah Bella menjelaskan kalau kelas jamkos karena Bu Ros ada rapat dinas, aku baru paham.

"Heh, Tan," panggil Bella dan aku hanya berdehem menjawab.

"Di novel yang sering gue pinjem dari Lo, biasanya kalo adegan dihukum gini ada pacar nyamperin trus ngasih minum, ngelap keringet, nemenin dari koridor, lah elu, masa yang nemenin kita-kita?"

"Bacot ae lu, Bel, kalo mau nyindir gue jomblo gak usah banyak basa-basi," sahutku mulai dongkol.

Moza, Bella, Adel mulai tertawa, aku kesal sekaligus benci di saat seperti ini. Mereka mengejekku karena masih sendiri. Tapi, tak lama aku ikut tertawa bersama mereka. Karena aku tahu, mereka hanya menggodaku saja dan menjadikan itu lelucon. Aku tidak marah. Sebab, marah hanya karena lelucon yang dibuat oleh sahabat sendiri, berarti hati masih belum bisa menerima mereka sepenuhnya.

"Nih, Tan, gue kan anak baik, jadi gue beliin minum," ujar Adel memberikan sebotol air mineral kepadaku.

"Enak aja, Lo beliin," nyinyir Moza pada Adel, "kita patungan ya, dan Lo masih hutang lima ratus perak ke gue."

"Halah, ikhlasin aja napa?"

Aku terkekeh karena mereka. Moza dan Adel, mereka berdua sering berdebat hanya masalah sepele.

"Gue pernah denger, kalo punya hutang ntar gak bisa masuk surga loh."

"Tau dari mana Lo, Tan?" tanya Bella padaku.

"Pernah baca sekilas aja dari Facebook."

"Eh, Tan, jaket siapa tuh?" tanya Moza yang melihat jaket di pinggangku.

Aldan.

Haae gaess, thanks yg udah mampir ampe sejauh ini, moga kalian ga bosen.
Jan lupa ninggalin jejak sebanyak mungkin yeaa😋

10.07.18

JOMBLO✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang