11. jauh

759 59 19
                                    

Terimakasih buat yang udah vote, comment di chapter sebelumnya😍
Happy reading💞

• • • •

Pagi ini, seperti dua hari yang lalu, aku berangkat sambil mencari angkot. Tidak ada Aldan yang menungguku lalu mengusir angkot yang kuberhentikan. Bahkan saat di angkot, tidak ada Aldan yang masuk seperti dua hari lalu atau seperti hari-hari sebelum itu. Syukurlah, dia mau mendengarku.

Sebenarnya, ada maksud aku meminta Aldan untuk menjauh. Bukan karena aku tidak suka ada Aldan di sekitarku. Namun, aku hanya ingin jauh dari anak Bramasta untuk beberapa waktu ke depan. Dan aku harap, Aldan bisa memahamiku. Melihat Aldan kadang seolah sedang melihat Alvan, padahal mereka sangat jauh berbeda.

Sesampainya di sekolah, tidak ada lagi yang bergosip tentang berita di mading kemarin. Bahkan tak jarang ada orang yang menyapaku lebih dulu. Aku yang tidak mengenal mereka hanya tersenyum kaku. Gerombolan kelas Peter yang mencemoohku kemarin pun tidak bersuara saat aku lewat di depan mereka. Jadi, Aldan benar membuat mereka lupa dengan berita itu hari ini? Terserahlah, aku tidak peduli. Mungkin dia hanya tidak ingin membohongiku.

"Pagi, Setan," aku hanya mengangguk, cukup terkejut sebetulnya saat Rossa menyapaku lebih dulu. Dia tergolong jajaran anak hitz di sekolah.

"Hai, Intan," aku mengangguk lagi saat, Desta, gebetan yang aku tinggalkan untuk Alvan, menyapaku.

Aku duduk di samping Moza. Di barisan nomor tiga dari depan dan lurus dengan meja guru. Di belakangku belum ada Adel dan Bella. Mereka berdua hobi berangkat beberapa menit sebelum bel berbunyi. Jika mereka sampai berangkat pagi, pasti ada yang salah dengan jam di rumah mereka. Oh, aku baru ingat, Adel mungkin harus mengurusi anak dan suaminya. Wajar saja kalau dia datang siang.

"Tan."

"Hmm.."

"Lo ada buat PR?"

"Ada."

Mendengar kata PR, aku jadi teringat akan Aldan yang membantuku mengerjakan PR semalam. Aku tidak menyangka, cowok seperti Aldan bisa mengerjakan soal yang materinya baru dibahas kemarin. Ternyata dia tidak bohong soal otaknya yang lebih baik dari otak Peter dan Alvan. Dia jujur, cukup menjadi alasan utama aku tidak membencinya. Mungkin aku terlalu cepat memutuskan kalau dia jujur padaku, namun, itu bukan urusan kalian.

"Hoy, kok Lo bengong sih?"

"Sorry sorry, Lo ngomong apa tadi?"

"Gue nyalin PR Lo dong."

Aku memutar tubuhku untuk mengambil buku di dalam tas. Memberikannya kepada Moza lalu aku kembali melamun. Salah satu hobiku, melamun dan banyak berkhayal. Wajar saja kalau aku sering memikirkan adegan di film, sinetron, FTV, atau novel-novel. Lalu aku teringat novel yang kemarin aku beli. Mengingat itu membuatku kesal. Karena malam saat aku mengerjakan PR bersama Aldan, Bella meneleponku.

"Intan."

"Ya?"

"Lo masih di mal atau udah pulang?"

"Di mal."

"Hah? Yang bener? Aduh, sorry, Tan, mending sekarang Lo pulang aja deh."

"Terus Lo?"

"Gue udah balik sama Alfi, Lo balik sendiri ya? Gue pesenin go-car, Lo bayar, besok gue ganti."

"Gak usah, lagian Lo gak tau alamat rumah gue."

"Terus, Lo pulangnya gimana? Gue harus tanggungjawab dong."

"Tadi gue ketemu tetangga, dia bawa mobil, gue bonceng dia aja."

"Ya udah deh, hati-hati di jalan."

"Hmm.."

Aku baru sadar, ternyata novel itu belum kubuka plastiknya. Setelah kubuka, dengan asal kutaruh di atas meja. Membawa plastik yang membalut novel untuk dibuang di luar. Saat akan sampai di ambang pintu, ada segerombol siswi masuk ke kelasku. Aku hanya diam saja karena tidak mengenal mereka. Setelah semuanya masuk, aku keluar untuk membuang sampah.

"Heh, maksud Lo apa?!" aku meringis begitu mendengar teriakan Moza, merasa ada yang tidak beres, aku langsung masuk ke dalam.

Melihat segerombol siswi tadi berdiri di dekat mejaku dan Moza. Banyak sudah penghuni kelasku yang berdiri menyaksikan ini.

"Lo siapa, dateng-dateng numpahin air di novel temen gue?!"

"Heh, denger ya, temen Lo itu buat gara-gara sama gue!"

"Terus apa hubungannya sama novel?! Buat jadi sasaran pembulian pertama Lo?! Gak elite!!"

Jadi, Moza berteriak karena si ketua gerombolan siswi itu menumpahkan air ke novelku? Aku mengangguk paham. Apa? Novelku? Bodoh, kenapa aku baru sadar?

Dengan amarah memuncak, aku berjalan membelah gerombolan siswi alay tersebut. Saat sampai di mejaku, aku melihat kondisi novelku yang basah kuyup. Jika kering nanti, pasti akan mengembang. Aku benci orang yang mengusik milikku tanpa seizinku.

"Hai, Setan, see you soon. Gue pastiin Lo gak bakalan tenang, tenang aja," ujarnya dengan nada lembut padaku namun matanya bersinar meremehkan.

"Gaes, balik kelas!" komandonya pada yang lain.

Gerombolan siswi pemakan permen tusuk itu, lantas keluar meninggalkan kelas. Aku benci mereka. Sebelum mereka mengusikku hari ini aku sudah benci mereka jauh-jauh hari. Sifat mereka yang membuatku membenci mereka.

"Moz, Lo gak diapa-apain kan sama mereka?" tanyaku yang khawatir pada Moza.

"Gue gak pa-pa, mending Lo lapor BK sekarang. Bawa novel Lo buat jadi bukti."

"Gak usah lah, Moz, cuma novel juga."

"Cuma novel kata Lo? Gak denger peringatan si Vita kalo dia bakal bikin Lo gak tenang? Pembulian berlanjut juga berasal dari kata cuma, Intan."

"Besok, kalo mereka macem-macem dan lebih dari ini, gue pastiin mereka di-drop out."

"Pasti susahlah, Tan, mereka udah kelas dua belas," ujar Moza geregetan, "pihak sekolah pasti bakal pertahanin mereka. Ujian akhir sekolah aja cuma tinggal berapa bulan tuh."

"Gak ada yang gak mungkin buat gue di sekolah ini, Moz," namun aku hanya mengatakan itu di dalam hati.

"Gini aja, mau taruhan?"

Moza menaikkan satu alisnya, "maksud Lo?"

Aku berdecak gemas pada Moza, "kita taruhan, kalo si geng permen tusuk itu sampe di-drop out dari sekolah, Lo harus beliin satu novel karya penulis yang gue suka, kalo Lo yang menang, gue beliin Lo sepuluh komik yang Lo pengen."

Moza nampak sedang mempertimbangkan taruhan yang aku berikan. Aku cukup yakin dia akan menerima taruhan itu. Bayangkan saja, satu banding sepuluh. Satu novel paling hanya seratus ribuan, satu komik paling hanya tiga puluh sampai lima puluh ribuan, dan komik itu dikalikan sepuluh. Lumayan kan, tiga ratus sampai lima ratus ribu tidak jadi terbuang untuk membeli sepuluh komik?

"Oke, gue mau."

"Deal?"

"Deal!" mantapnya sambil menjabat tanganku.

Sudah kubilang bukan, dia akan menerima taruhan itu. Siapa yang bisa menolak Intan? Peter. Dan aku benci itu. Namun, aku juga sayang Peter.

Kalian ngiranya gimana? Vita bakal diDO apa gak?

Alasan kenapa si Intan minta Aldan buat menjauh udah jelas kan? Iya dong, kalian kan 'OOC' Orang-Orang Cerdas😊

Jan lupa ninggal jejak yeaa😋

31.07.18

JOMBLO✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang