17. with Alvan

692 52 20
                                    

"Hai, Intan," sebuah sapaan yang membuat jantungku mencelos dan darahku berdesir cepat.

Alvan..

Aku memaksakan diri mengukir sebuah senyuman. Walau tak dapat dipungkiri kalau hatiku rasanya sakit saat melihatnya. Terlebih barusan, aku melihat dia tersenyum padaku. Senyum yang selalu aku harap Alvan berikan padaku.

"Gue, boleh duduk di sini?"

Aku mengangguk. Padahal sebenarnya aku ingin menggeleng, yang entah alasannya apa. Yang jelas, aku ingin kursi itu tetap kosong sampai Peter atau Aldan kembali.

Dalam sejenak, aku merutuki diriku yang mengizinkan Aldan pergi untuk mencari es krim. Aku juga merutuki Peter yang belum juga kembali. Hingga bingung melanda diriku, bukankah Alvan tidak menyukaiku dan selamanya tidak akan pernah? Lantas untuk apa dia kemari? Menjengukku? Tidak, terimakasih, aku tidak berharap seperti itu.

"Tan," panggilnya dan aku hanya mengangguk sambil menatap apa saja yang ada di ruangan ini. Apa saja kutatap, asal bukan Alvan dan mata Alvan.

"Gue boleh minta waktu Lo sebentar?" aku mengangguk lagi.

"Gue mau minta maaf sama Lo."

"Buat?" tanyaku setelah sempat tertegun tadi.

"Buat semuanya yang pernah gue lakuin ke Lo. Terlebih masalah mading, gue yang nyebarin berita itu."

"Oh."

Terus, dia tidak berniat meminta maaf untuk yang masalah dia menggantungkan perasaanku? Ya Tuhan, hilang kemana kepekaannya? Apa karena dia sudah berkeluarga jadi tidak mempermasalahkan hal itu? Tapi di sini hatiku yang menjadi korban atas penggantungan perasaanku. Jika saja dia langsung menjawab pernyataan perasaanku, walau jawabannya adalah tidak, mungkin aku sudah berusaha membuka hati untuk yang lainnya sekarang.

Penghujung Desember lalu, sekiranya tiga hari setelah aku menyatakan perasaan pada Alvan, ada anak dari SMA lain yang mendekatiku. Bahkan itu sudah sebulan lamanya dia mendekatiku. Sifatnya jelas jauh lebih baik dari Alvan maupun Aldan bahkan Peter sekalipun. Namanya Zehan. Aku pernah bertemu sekali dengannya di angkot. Karena kebetulan jalur sekolahnya sejalur denganku.

Sampai dia menemukan diriku lewat Instagram milikku. Kami mulai dekat. Bahkan tak jarang dia menghubungiku setiap ada waktu senggang. Namun, sejak bertemu di angkot hari itu, aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Aku juga tidak berharap bisa bertemu dengan Zehan lagi.

Suatu hari rasaku pada Alvan mulai goyah dan itu karena Zehan. Dia selalu ada untukku. Bahkan dia yang memulai komunikasi lebih dulu. Namun, ada satu yang tidak kusukai dari Zehan. Hingga di hari itu, Zehan menyatakan perasaannya padaku. Aku menolak, namun tidak memberi alasan. Alasan itu kusimpan rapi sendirian. Alasannya, karena dia menghubungiku saat dia merasa kesepian. Hingga aku ragu bagaimana dengan rasanya yang sebenarnya padaku. Dan alasan yang lain karena aku masih menunggu jawaban Alvan.

"Lo maafin gue, kan?" tanya Alvan lagi untuk memastikan.

"Iya," jawabku seadanya

"Sebenernya gue udah tau siapa Lo."

Dengan sangat terpaksa, aku menoleh pada Alvan. Apa maksudnya sudah tahu siapa aku?

"Gue tau kalo Lo bagian dari keluarga Jenner."

Aku menaikkan satu alisku bingung. Alvan yang mungkin melihat lantas terkekeh dan mengacak poni rambutku. Membuat aku tertegun karena tingkah Alvan yang sangat berbeda dari biasanya.

"Gue belum lama juga tau tentang itu. Tepatnya, pas Lo ngobrol sama kepsek di ruang BK. Gue ada di sana, lagi disidang sama Bu Salwa. Karena gue ngambil mangga sekolah."

Aku mulai ingat pada kejadian di ruang BK hari itu. Ingat Bu Salwa yang berkata kalau beliau harus mengurus murid yang berbuat ulah hari itu. Aku baru sadar kalau ruang tempat aku dan Pak Yosa berbincang dipisah dengan sekat antara ruang untuk menyidang anak pembuat ulah. Dan aku baru tahu kalau anak yang disidang Bu Salwa adalah Alvan Bramasta.

"Oh," responku seadanya.

"Gue sebenernya udah ada niat mau minta maaf ke elo sejak itu, tapi, gue gak sempet minta maaf pas pulang sekolah. Terus juga, waktu Sabtu Minggu gue di rumah Peter, gue gak liat Lo ada di sana. Berhubung ketemu sekarang, jadinya gue minta maaf aja."

"Oh."

Hening. Alvan tidak lagi bersuara. Jika saja kenyataan tentang Alvan dan Adel tidak ada, pasti aku akan sangat senang hari ini. Karena Alvan mengobrol denganku mustahil terjadi. Bahkan lewat pesan pun, Alvan jarang membalas dan sekalinya membalas itupun cuma singkat. Aku teringat akan Adel yang masih di toilet. Dia dikunci oleh Ervita dan kawan-kawan di sana.

"Adel," lirihku tapi Alvan langsung melihatku. Mungkin karena ada kata lain selain buat, oh, dan iya yang aku ucapkan. Yaitu Adel, nama pujaan hatinya.

Tanganku bergerak untuk mengambil ponsel Aldan yang ditinggal di atas nakas. Sebenarnya tadi dia bilang kalau untuk berjaga jika aku butuh sesuatu. Karena ponselku ada bersama Peter. Ikut basah karena diguyur air sabun tadi. Aku yakin, jika hanya nomor ponsel Moza atau Adel, Aldan pasti punya. Moza adalah saudaranya Eza, tentu ada kemungkinan.

Aku bingung saat lock ponsel Aldan adalah scan sidik jari. Berarti hanya bisa dibuka dengan sidik jari Aldan. Namun, mencoba mengabaikan, aku menempelkan ibu jariku di sana. Dan nyatanya bisa terbuka. Sempat bingung, tapi aku masa bodoh. Yang lebih penting adalah Adel sekarang.

Aku mencari kontak Moza atau Adel di daftar kontak yang dimiliki Aldan. Aku menemukan kontak milik Bella. Heran sebetulnya. Tapi aku lantas teringat kalau dulu Bella pernah menyukai Aldan dan sama seperti fans Aldan yang lain.

Aku menghubungi Bella. Dengan harapan ponsel cewek itu tidak tertinggal di rumah seperti biasanya. Dan tidak lama diangkat oleh Bella.

"Ha-halo, Kak, tumben nelpon. Ada apa ya?"

"Bella, ini gue, Intan."

"Loh, Intan, ini, kan, hapenya Kak Aldan. Kok bisa ada sama Lo?"

"Panjang ceritanya, yang jelas, sekarang Adel udah balik belom?"

"Nah, itu, gue kira Adel ikut Lo ke rumah sakit."

"Jadi, Adel belom balik?"

"Lah, emang dia gak ada di situ?"

"Bel, cepet ke toilet deket kantin. Adel dikunci di sana sama cewek permen tusuk."

"Hah? Kok bisa?"

"Panjang ceritanya. Yang jelas, Lo harus cepet ke sana, tadi gue liat kuncinya masih gantung di sana. Pas gue diseret sama Ervita n dayangnya."

"Oke oke, gue sama Moza kesana."

"Cepetan, Bel, Adel gak boleh ada di ruang sempit kek gitu. Terlebih tadi dia udah teriak-teriak."

"Otewe!"

Setelah panggilan terputus. Tanpa sadar aku menggigit pojok ponsel Aldan. Mataku terus bergerak cemas. Tidak ingin sesuatu terjadi pada Adel tentunya.

"Tan, gue pamit ya."

Aku mengangguk dengan hati yang masih saja berdenyut sakit. Alvan pasti khawatir pada Adel.

Howla gess, lama menghilang saya tuh😂

Jan lupa ninggal jejak yee gess gess sekalian😉

28.08.18

JOMBLO✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang