20. berbeda

699 63 43
                                    

Hari ini setelah dua hari lamanya aku tidak berangkat sekolah. Semalam menginap di rumah sakit membuatku bosan tiada ampun. Seperti biasa, aku berangkat naik angkot. Tadi saat mandi aku sempat memikirkan tentang siswa siswi sekolahku yang akan percaya denganku atau tidak. Tapi, doaku, semoga saja mereka tidak percaya. Karena aku tidak ingin diperlakukan beda oleh mereka.

Namun mereka sepertinya percaya dengan apa yang aku katakan. Jika aku berbohong, mana mungkin ada murid yang sampai didepak dari sekolahnya sendiri hanya masalah bullying yang belum terlalu keterlaluan. Apapun itu, mau mereka percaya atau tidak, yang jelas, aku tidak peduli dengan semuanya saja. Pasti akan sangat aneh nanti kalau tetiba mereka yang kerap memanggil tidak sesuai nama menjadi memanggil aku dengan namaku.

Bukannya aku tidak senang, justru sangat senang. Aku hanya tidak mau diperlakukan beda, sekali lagi kutegaskan itu. Aku tidak mau, mereka yang setiap hari menghinaku tiba-tiba baik padaku, hanya karena aku ini anak pemilik yayasan.

"Pagi, Pak Satpam," sapaku saat melewati gerbang sekolah yang ada Pak Satpamnya di sana.

"Pagi, Mbak Intan," balasnya dengan ramah sambil menunjukkan senyumnya.

Aku mengangguk lalu berjalan memasuki area sekolah. Aku menunduk saat melewati orang yang berlalu-lalang. Menghindari tatapan menilai sebisa mungkin dari mereka. Entahlah ini benar atau hanya perasaanku saja, mereka yang lewat di sekitarku seolah sedang menilai penampilanku.

"Ups, sorry, gak sengaja nginjek kacamata Lo," ujar seorang siswi yang barusan menabrakku hingga kacamata di genggaman tanganku jatuh dan dia injak.

Aku hanya menunjukkan senyumku saja di balik masker. Tidak berniat memaafkan dia walau nantinya dia meminta maaf jutaan kali padaku. Aku mengambil kacamataku, saat kulihat ada bagian yang patah atau mungkin kacanya pecah, siswi tadi juga ikut melihat. Ah, aku paham sekarang, dia hanya ingin membuktikan apakah benar aku ini anak Jenner lewat kacamataku.

Karena jika kacamataku sampai pecah atau patah, dia tentu menganggap kacamata ini palsu dan hanya abal-abal.

"Mau kacamata saya?" tanyaku dengan datar.

Aku mengambil tangannya lalu menaruh kacamataku di sana.

"Ambil aja, saya punya banyak sekalian sama pabriknya."

Aku berlalu pergi meninggalkan siswi tadi. Tidak peduli bagaimana respon yang wajahnya tunjukkan.

"Anjir, J Glasses. Sekawannya Jenner Group!" pekik siswi itu yang sayangnya masih terdengar olehku.

Aku berjalan menuju kelas, dengan sengaja tidak menurunkan masker atau melepasnya lalu kubuang seperti biasanya. Saat lewat kelas IPA-2, aku menunduk dalam, enggan menatap ke depan.

"Intan." kakiku otomatis berhenti saat mendengar suara itu. Dengan kaku aku memutar balik badanku.

"Alvan," lirihku melihat orang yang kini berdiri di depanku.

"Gue ada sesuatu buat Lo," ujar Alvan membuatku tertegun. Dia mau memberiku sesuatu? Lantas, bagaimana dengan Adel?

"Ikat rambut buat Lo, gue liat Lo jarang ngiket rambut." aku mengernyit bingung, bahkan aku menatap lama tangan Alvan yang mengulurkan ikat rambut berwarna hitam.

Aku bingung harus menerima atau tidak. Aku tidak enak dengan Adel sekaligus tidak enak jika harus menolak pemberian orang. Akhirnya aku menyentuh ikat rambut itu.

"Kak Aldan." karena panggilan itu aku menatap ke belakang kepala Alvan. Mendapati di sana Aldan berhenti menatap balik mataku sementara di belakang ada, Shireen.

Aku terus menatap Aldan, bahkan dia demikian. Lalu kontak mata kami terputus karena Shireen berdiri di hadapan Aldan. Mereka nampak berbincang, aku bisa dengan jelas melihat kedua sudut bibir Aldan yang tertarik ke atas walau tidak ada sesenti, bahkan setengah senti pun tidak ada. Aku rasa pandanganku mulai mengabur dan hatiku rasanya ngilu.

Dalam sekali kedipan air mataku jatuh, yang entah aku tidak peduli apa penyebabnya. Merembes ke masker yang kupakai. Lalu, tanpa memperdulikan ikat rambut yang ada di tangan Alvan, aku berlari menuju kamar mandi, yang sayangnya harus melewati Aldan dan Shireen. Tanpa sadar aku melepas maskerku, mengusap air mata yang jatuh dengan punggung tanganku.

"Pagi, Intan."

"Hai, Intan."

"Intan, apa kabar?"

"Intan, udah beneran sembuh?"

Bahkan aku mengabaikan segala makhluk yang menyapaku.

Bruk!!

Aku tidak meringis saat terjatuh karena menabrak seorang manusia. Jangan salahkan aku, salahkan dia yang tiba-tiba berhenti di jalan yang akan kulewati.

"Jangan lari-lari,"

Bahkan kata identik dengan iklan Lifebuoy itu terngiang di telingaku. Aku semakin menangis karena mendengar kata itu walau tidak diucap oleh orangnya.

"Sorry," ucap orang yang kutabrak sambil mengulurkan tangannya ke depan wajahku.

"Nepi!" tapi tangan itu ditepis kasar oleh tangan cowok, "jangan sentuh adek gue!"

"Gue cuma mau nolong, gak bermaksud lain."

"Kulit adek gue sensitif, ya, gak sembarang tangan bisa nyentuh dan cocok sama kulitnya dia."

Peter menuntunku berdiri, dia bahkan menjauhkanku dari jangkauan cowok yang kutabrak tadi.

Peter, hatiku ngilu..

Aduku pada Peter dalam hati.

"Intan," panggil cowok yang kini mengabaikan tatapan tajam Peter dan justru menatapku, "wah, gak nyangka bisa ketemu di sini. Aku Zehan. Masih inget, kan?"

Zehan..

Aku tidak amnesia hanya karena dihantamkan ke tembok oleh Ervita Senin kemarin. Dengan jelas aku mengingat Zehan ini, cowok yang pertama kali bertemu denganku di angkot. Untuk apa dia ada di sini? Jelas ini bukan sekolahnya. Apa dia nyasar? Atau, angkotnya berhenti di tujuan yang salah?

"Gak usah sok kenal sama adek gue, Lo bukan anak sini, kan? So, mau apa Lo kemari?" tanya Peter karena aku hanya diam.

"Yang jelas, gue gak ada urusan sama Lo."

"Siapa pun yang mijakin kaki di sini dan itu bukan murid sini, secara otomatis dia berurusan sama gue."

"ALDAN!!"

"Gak usah teriak, gue ada urusan ke gedung IPS bentar."

Ah, hatiku semakin terasa ngilu. Ada yang salahkah dengan gedung anak IPS hingga hatiku sampai sengilu ini?

"Dan Lo, Teroris," ujarnya tertuju padaku, "jangan nangis."

Bahkan Aldan hanya memperingatiku, tidak juga menghapus air mataku seperti yang sudah-sudah. Pagi ini, aku tidak melihat sosok Aldan yang biasanya. Apa dia mulai menyukai suaraku ketika menangis? Apa dia mulai suka saat air mataku meluruh? Hingga dia tidak menghapus air mata sialan ini seperti biasanya?

Jujur hatiku rasanya sakit, saat melihat Aldan berjalan bersama Shireen. Rasanya aku ingin menyempil di tengah posisi jalan mereka yang bersampingan.

"Pete," lirihku membuat Peter balik badan, "pulang."

"Hah? Pulang? Ada yang sakit? Mana? Bagian mana sebelah mana? Otw rumah sakit!"

"ALDAN! BILANGIN PAK EGA, INTAN ABSEN!" teriak Peter pada Aldan yang belum terlalu jauh.

Aldan, dia bahkan tidak menoleh.

Oke, jan lupa ninggal jejak brei❣️❣️❣️

17.09.18

Btw, bsk mantan gebetan saia ultah, enaknya diapain ye?

JOMBLO✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang