4. pembantu

1K 102 41
                                    

Happy reading💞
Terimakasih buat yang vote di chapter sebelumnya.

• • • •

Aku meringis setelah duduk di atas kasur. Saat kuendarkan pandangan, aku sangat yakin ini adalah kamarku. Yang kubingungkan, bagaimana bisa aku di sini? Karena seingatku, saat sebelum pingsan tadi aku dijatuhkan oleh Aldan setelah dia menciumku. Di daerah sepi yang lumayan jauh dari rumah penduduk. Aku sempat meneriakkan nama Peter sebelum pingsan. Tunggu, apa kataku tadi? Aldan menciumku? What? Kok aku gak sadar ya?

Oke, lupakan.

Aku meringis lagi setelah menurunkan kedua kakiku dari kasur. Kedua lututku kini ditambal dengan perban. Kurasa, siapa saja yang melakukan pengobatan pada kakiku ini, dia orang yang berlebihan. Lututku hanya sobek, tidak separah orang kecelakaan ditabrak pesawat. Ingin kulepas namun rasanya sakit. Terlebih plester yang digunakan untuk menempelkan perban itu di kakiku, rasanya saat kulepas seperti menarik kulitku. Dan itu rasanya sakit, apalagi itu di daerah sekitar luka.

Saat ini aku masih memakai seragam sekolahku, jadi kuputuskan untuk mengganti saja dulu seragamku. Dengan seperti robot aku berjalan menuju lemari pakaianku. Setelah mengambil pakaian yang asal kuambil, aku lalu masuk ke kamar mandi. Tak butuh waktu lama aku sudah keluar dari kamar mandi dengan tubuh terbalut kaos berlengan panjang dan celana di atas lutut. Kaos ini milik Peter sebenarnya, namun kupinjam dan lupa kukembalikan hingga akhirnya dia ikhlaskan. Kakak yang baik. Aku senang menjadi adik angkatnya. Andai aku ini adik kandungnya, pasti bahagiaku tiada tara.

Aku keluar kamar untuk mengambil jatah makan siangku. Karena sekarang jam makan siangku sudah tiba, bahkan hampir berakhir. Lama sekali aku pingsan berarti. Kurasa tadi aku sudah terbangun lalu kembali tidur.

Aku terkejut saat mendapati kondisi ruang makan yang kursinya diduduki oleh beberapa orang cowok. Peter salah satunya. Mereka sedang sibuk menikmati makan siangnya. Saat mereka menyadari kehadiranku, mereka yang kompak akan memasukkan sendok ke dalam mulut berhenti hingga sendok mereka menggantung di udara dan mulut mereka yang terbuka.

Mereka saat sudah melihatku kompak terkejut. Terlebih Peter. Karena selama temannya berkunjung ke rumah aku selalu berada di kamar. Mengunci diri. Maka dari itu di dalam kamarku terdapat kulkas agar aku tidak perlu keluar saat menginginkan camilan atau minuman. Tapi sayangnya, orangtua angkatku tidak menempatkan dapur sekalian di kamarku. Jika jam makan siang dan di rumah kedatangan teman-temannya Peter, pasti Peter sudah menaruh jatah makanku di atas kasur. Dan tadi tidak ada piring di kasurku.

"Permisi," lirihku sambil menunduk lalu berjalan kaku kembali ke kamarku.

"Pete, ngapain Lo melihara dedemit kek dia?" tentu aku mendengar itu. Aku tahu siapa nama pemilik suara itu, Tora namanya.

"Iya, dan kenapa bisa tuh si Setan ada di rumah Lo?" itu suara Eza.

"Oh, gue tau, dia pembantu di rumah Lo, kan?"

Suara itu, entah mengapa sangat menyakitkan saat kudengar barusan. Tanpa sadar aku menangis lagi hari ini. Setelah pagi tadi kakaknya yang membuatku menangis di pagi hari hanya karena kata cewek agresif, dan sekarang aku menangis lagi karena adiknya. Alvan Bramasta.

Aku belum mendengar suara Peter. Berharap Peter akan menyangkal dan mengatakan kalau aku adik angkatnya pun pasti hanya sia-sia. Karena dulu aku selalu melarang Peter untuk mengatakan pada temannya atau orang luar lainnya kalau aku ini adiknya walau hanya sebatas adik angkat. Alasannya hanya satu, aku tidak ingin Peter dihina sepertiku.

"Lo gak jawab berarti gue bener," ujar Alvan lagi. Aku hanya bisa tersenyum kecut, dia, Alvan, cowok yang kucinta, mengklaimku seorang pembantu.

Entah mengapa, aku justru lebih merasa sakit hati saat Aldan mengataiku cewek agresif. Daripada Alvan yang menyebutku pembantu. Mungkin karena rasa yang kumiliki untuk Alvan bisa meringankan rasa sakit yang seharusnya. Hingga hinaan bahkan terasa tidak mempan untukku.

JOMBLO✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang