16. permintaan maaf dan Alvan

709 60 22
                                    

Aku ada di sini. Di ruangan serba putih yang sangat tidak kusukai. Pasalnya, aku semakin terlihat tidak ada. Bagai manekin yang menyatu dengan warna putih yang mendominasi ruangan.

Peter sudah ada di sini. Membawa baju ganti untukku dari rumah. Tapi sama saja, dia justru membawa kemeja putih polos dan hotpants berwarna putih juga. Sekarang Peter sedang ada di luar. Karena dia kelaparan. Sebab biasanya dia sudah nongkrong di kantin bersama kawannya di jam seperti ini.

Aldan masih belum kembali ke sekolah. Itu atas perintah Peter. Sebenarnya aku heran. Ada perjanjian apa yang membuat Peter selalu meminta Aldan untuk menemaniku. Terlebih, aku penasaran bagaimana dia bisa tahu kalau aku ini adiknya Ella dan Peter.

"Ngapain Lo lihat-lihat gue?" sinis Aldan dari tempatnya duduk di kursi samping tempat tidurku.

Aku memalingkan muka. Tertangkap basah sudah.

"Lagi mengagumi ciptaan Tuhan?" aku memutar mataku malas dan dia justru tertawa, "gue tau gue ganteng plus punya bibir yang manis."

Shit, kenapa dia jadi mengatakan bibirnya yang manis?

"Dih, PD Lo," desisku karena dia memang benar, eh, minus gantengnya.

"Tapi, munafik banget kalo gue gak ngakuin dia ganteng. Dia bahkan lebih ganteng dari Alvan."

Aldan terkekeh sambil menatap layar ponselnya yang menyala, aku jadi bingung, dia terkekeh padaku atau pada ponsel?

"Udah, ngaku aja."

Aku berdecih, "siapa juga yang mengagumi Lo? Iya sih gue akuin kalo bibir Lo tuh manis, gue sampe bingung, Lo olesi bibir Lo pake gula cair tiap sebelum ketemu gue?"

"Bagus deh kalo Lo gak mengagumi gue. Karena gue hidup bukan untuk Lo kagumi, tapi--" aku bingung saat kalimat Aldan berhenti seolah dia ingat caranya mengerem, "tapi gue gak ngolesi gula cair ke bibir gue."

Hening. Aku tidak menyahuti lagi apa yang Aldan katakan. Sejujurnya aku masih tidak percaya, kalau kata tapi yang menggantung tadi kelanjutannya adalah itu. Namun, aku Intan si masa bodoh, daripada kepalaku semakin pusing untuk memikirkan itu, lebih baik aku diam.

"Al, Shireen apa kabar?"

"Hah?"

Pintu kamar dibuka dari luar. Nampak di sana Pak Yosa, Bu Salwa, Pak Ega (wali kelas ku), dan Ervita. Aku tidak melihat Peter, apa mungkin dia masih di kantin? Oh, aku lupa satu hal. Dia tidak mau melihat wajah orang yang berani berbuat kasar padaku. Untuk menghormati yang lebih tua, aku berusaha bangun dari posisi tidurku. Walau tak dapat dipungkiri kalau punggungku rasanya sakit.

"Aldan, bantuin ngapa?" lirihku pada Aldan yang justru dia acuhkan.

"Udah tiduran aja, tangan gue pegel abis gendong Lo tadi," sahut Aldan yang tidak memelankan suaranya.

"Iya, tiduran saja Mbak Intan," ujar Bu Salwa yang membuatku meringis tidak enak.

"Lagipula kami di sini tidak akan lama," sambung Pak Ega.

Aku menatap Pak Yosa dengan tatapan tak terbaca. Sekarang keputusan ada di tangan Pak Yosa. Dia masih mempertahankan Ervita atau melepasnya. Seolah mengerti maksud tatapanku, Pak Yosa akhirnya mengeluarkan suara.

"Pihak sekolah mengeluarkan Mbak Ervita. Atas permintaan Mas Peter Rianova Jenner."

Wow, bahkan kakakku sendiri yang meminta.

"Maksud kalian datang ke sini mau apa sih sebenernya? Cuma mau bilang begitu? Cih, kalian ganggu Teroris mau istirahat."

Aku mencubit lengan Aldan yang entah sejak kapan bertengger di tepi kasurku.

"Apa? Gue benerkan? Entar sore Lo harus latian jalan, itupun kalo kaki Lo udah gak kek jelly lagi. Terus, punggung Lo juga masih sakit kan? Ya, walau gak ada yang retak. Terus juga, telinga Lo masih sering berdengung gitu kan, karna dia--"

"Stop, jangan beberin penderitaan gue," potongku sambil menutup mulut Aldan agar tidak lagi bersuara.

Aldan menyingkirkan tanganku dari mulutnya, "udah, to the point aja, maksud kedatangan kalian apa? Terlebih yang pake seragam sekolah itu."

"Maksud kedatangan kami--"

"Untuk minta maaf," potong Aldan membuatku memejamkan mata menahan kesal. "Ris, Lo maafin gak?" tanya Aldan padaku dan aku mengangguk agar sesi ini cepat selesai.

"Kan, si Teroris udah maafin, berarti kalian bisa balik sekarang."

"Baiklah, kami pergi sekarang. Semoga lekas sembuh."

"Bacot deh," desis Aldan yang membuatku menatapnya kesal.

"Tan--"

"Lo manggil Intan apa Setan?!" tanya Aldan dengan suara meninggi.

"I-Intan," jawab Ervita yang mungkin kaget dengan sentakan Aldan.

"Mau ngomong apa Lo sama dia?" tanya Aldan dengan suara normal tapi sinis setelah aku mengusap punggungnya. Kupikir cara ini tidak akan berhasil pada Aldan, karena biasanya aku menenangkan Peter yang emosi dengan cara ini. Mungkin usapan tanganku menenangkan, ha.ha

"Intan, makasih udah maafin gue."

"Udah sana cepet pergi, dari muka Lo aja keliatan jelas kalo gak ikhlas."

Setelah mereka semua pergi, aku langsung menatap Aldan dengan tajam.

"Apa?" tanya Aldan masih dengan nada bicara pada Ervita dan para guru tadi.

Aku mendengus kesal, mengusap bibirnya dengan tanganku lalu menepuknya.

"Ngomong kasar boleh, tapi juga harus menghormati yang lebih tua. Mulut itu cerminan hati, hati boleh emosi, tapi mulut harus bisa ngontrol diri. Gue tau, gue kadang masih sering bertingkah kayak Lo barusan. Bahkan yang gue lawan ibu-ibu."

Aldan diam saja mendengar kata-kata yang entah bisa disebut nasihat dariku atau tidak.

"Percuma dong, rasa bibir Lo manis tapi jadi pedes cuma karena gak bisa ngeredam hati emosi?" aku tersenyum sembari mengusap lembut rahangnya yang masih mengeras, dengan harapan cepat melunak.

"Mau gue kasih saran gak?" tanyaku membuat Aldan menoleh. "Gue kalo emosi biasanya langsung cari es krim, buat ngademin hati, coba gih," ujarku lalu tersenyum.

Ajaibnya, Aldan langsung berdiri. Meminta izin untuk keluar sebentar. Masih dengan senyum merekah, aku melihat Aldan hilang di balik pintu. Aku mulai paham bagaimana menghadapi Aldan yang kemakan emosi. Dengan cara dilembuti.

Senyumku hilang saat melihat siapa yang datang.

"Hai, Intan," sebuah sapaan yang membuat jantungku mencelos dan darahku berdesir cepat.

Alvan..

Haduh mantan gebetan dateng tuhh😂 mau ngapa yak?

Jan lupa ninggal jejak sebanyak mungkin yeaa 😋

24.08.28

JOMBLO✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang