12. lapangan

720 55 25
                                    

Terimakasih buat yang udah vote comment di chapter sebelumnya 😍
Happy reading 💞

• • • •

Pulang sekolah saat kelas sudah sepi, aku melihat novelku yang diguyur air tadi pagi. Ternyata si ketua geng permen tusuk itu mengguyur novelku dari dalam, bukan dari sampul. Hingga sekarang, banyak bagian yang luntur tulisannya.

Sebenarnya aku bingung apa alasan mereka mengacau hidupku. Perasaan selama ini, aku tidak pernah berurusan dengan mereka. Menyapa mereka saja tidak pernah walau hanya sekali. Gara-gara, aku membuat perkara apa dengan mereka? Bukannya tidak ada yang tahu kalau aku menyukai Alvan selain Aldan dan sahabatku? Aku juga tidak merebut tempat duduk mereka di kantin. Jadi, salahku ini apa?

Mendapati hanya sedikit bagian yang bisa kubaca, aku langsung kesal sendiri. Padahal, sudah lama aku menginginkan novel ini. Cewek permen tusuk itu, sama bastard-nya dengan tokoh di novel ini. Bedanya, bastard di novel ini manis, namun menyebalkan. Sedangkan mereka (gerombolan siswi itu) semanis apa pun penampilan mereka, namun bastard tetaplah bastard.

Dengan kesal aku berdiri lalu berjalan keluar kelas. Membuka tempat sampah yang tadi pagi menjadi tempat aku membuang plastik pembungkus novel ini. Bahkan plastik itu masih ada. Memang sudah seharusnya mereka berdua bersatu. Sedikit tidak ikhlas, aku membuang novel itu. Aku tidak berniat menyimpan itu sebagai bukti atas perlakuan tidak baik dari ketua gerombolan itu. Saksi sudah cukup banyak. Lagian, jika cuma novel tidak mampu membuat mereka di DO.

Aku lelah hari ini, dengan harapan saat sampai di rumah tidak ada teman-teman Peter di sana. Cukup dua hari ini aku tidak bisa istirahat dengan tenang.

Siang-siang begini lumayan sulit mendapat angkot yang sejalur dengan rumahku. Hingga kadang aku memutuskan untuk mencari taksi. Tidak ada jalur bus ke rumahku. Padahal aku berharap bisa berdesakan dengan orang-orang di dalam bus.

Di saat seperti ini, aku terkadang berandai-andai.

"Andai gue punya pacar, udah dianterin pulang gue."

"Andai gue punya cowok, gak akan panas-panasan di sini gue."

"Andai kata andai di depan kalimat itu gak ada!"

Deruman motor yang cukup kukenali masuk ke dalam indera pendengaranku. Suara motor Aldan. Aku hanya melihatnya sekilas dan dia juga melihatku. Kukira dia akan lewat di depanku ternyata dia belok berlawanan dengan tempatku berdiri. Mau kemana dia? Setahuku, apartemen Wijaya Kusuma itu sejalur dengan rumahku. Hanya saja saat ada pertigaan ke rumahku, dia harus tetap lurus. Namun, masa bodoh lah dia mau kemana. Toh, ini dunianya juga.

Lama menunggu akhirnya aku mendapat angkot. Lalu aku sampai rumah dengan selamat. Bahkan teman Peter itu tidak main ke rumah.

• • • •

Hari ini, di sekolah jamkos entah sampai kapan. Guru-guru sibuk rapat untuk membahas apa aku tidak peduli. Yang jelas, sekarang aku sedang diseret oleh siswi kemarin. Mereka membawaku entah kemana. Yang jelas ini masih di sekolah. Berkali-kali aku meronta minta dilepas namun dia semakin mencengkramku erat. Banyak anak kelas lain yang melihatku penasaran. Karena kelas mereka jamkos.

Lalu gerombolan yang menculikku ini berhenti di lapangan. Mereka mengikatku di tiang bendera. Aku sudah berusaha kabur namun karena kalah jumlah jadi mereka dengan mudah menangkapku. Aku mendelik saat mereka melepas jaketku. Usaha merebut pun gagal. Lalu, mereka mengikat tanganku hingga aku seakan memeluk tiang dari depan namun tanganku ke belakang.

"Mau Lo apa sih? Gue salah apa sama Lo?!" tanyaku tepat di depan muka si ketua.

"Mau gue apa? Yakin Lo nanya itu? Mau gue, bikin Lo sengsara. Dan salah Lo, itu karena Lo berani deketin Aldan, bahkan kalian kemaren nonton bareng di bioskop."

"Cuma karena Aldan Lo giniin gue?! Cih, pengecut!!!"

Plak!!

Dia menampar pipiku. Seumur hidup, baru kali ini aku ditampar. Itu pun oleh orang lain. Jika ditampar orangtuaku sendiri aku masih bisa memaklumi. Sedangkan ini, bahkan aku tidak tahu asal-usul keluarganya.

"Dengan Lo deket sama Aldan, itu sama aja cari gara-gara sama gue."

Aku tertawa meremehkan, "siapanya Aldan Lo? Pacar juga bukan, kan?"

Plak!!

Lagi, dia menamparku di pipi yang satunya.

"Sekali lagi gue liat Lo deket sama Aldan, bahkan Lo cuma jalan di belakang dia, gue pastiin gue berbuat lebih dari ini," peringatnya mutlak lalu mengomando temannya dengan isyarat tangan untuk pergi.

"Jangan ada yang lepasin dia!!!" teriak ketua geng permen tusuk itu pada orang yang menonton.

Saat ini aku menyesal karena tidak ikut kegiatan Pramuka. Melepas tali saja aku tidak bisa. Panas matahari sudah semakin membakar kulitku. Rasanya panas.

Aku menjerit, mengabaikan di mana aku berpijak dan siapa yang melihatku sekarang.

"Panas!!!"

Aku menjerit lagi, sambil tetap berusaha melepaskan tali dari tanganku.

Peter, tolong..

"Tolong!!! Kulit gue kebakar!!!" namun tetap tidak ada yang datang padaku. Sahabatku, mereka sedang ada di kantin. Dan tadi aku pamit ke kelas untuk mengambil uang yang tertinggal di tas.

"Siapapun tolong gue!!!" sia-sia, tetap tidak ada yang datang.

"ALDAN!!!! ALDAN TOLONG GUE!!!"

Aku terus berteriak sambil berusaha melepaskan tali yang masih dengan erat mengikatku.

"ALDAN BRAMASTA, TOLONG GUE!!"

Aku lelah berteriak, tanganku justru sakit karena terus aku gerakkan. Berkali-kali aku bergerak untuk menghindari sinar matahari, namun percuma saja. Aku menangis, sebenarnya aku benci menangis di depan banyak orang.

"Aldan, gue butuh Lo. Please, dateng, gue butuh Lo Aldan." lirihku sambil menunduk.

Peter, dimana temanmu itu? Mengapa dia tidak ada saat aku butuh dia? Saat kamu tidak bisa menjalankan tugas layaknya kakak.

"Tolong, gue bisa kena kanker kulit kalo terus di sini!"

"Moza, Bella, Adel, gue dalem masalah, kalian di mana?"

Heii gess!!

Kesian ye si Intan, diiket, kepanasan, gaada yang nolong pisan.

Aldan kemenong tuh? Peter? Palingan cuma natep sendu dedek angkatnya dari kejauhan.

Intinya, jan lupa ninggal jejak sebanyak mungkin😂

08.08.18

Tanggal syantiq gess, respon juga cantik kalo bisa😁

JOMBLO✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang