30. di jalan

613 44 29
                                    

"Nolo egredi eo iungit promissum," bisik Aldan setelah mendudukkanku di pinggir kasur dan sebelum dia pergi.

Bahasa mana lagi yang dia gunakan kali ini. Tapi, kata terakhir yang Aldan ucap, entah benar atau tidak, artinya adalah janji. Jika benar artinya janji, lantas, janji apa yang Aldan maksud? Dalam sejenak aku merutuki kebodohanku yang kurang menguasai bahasa yang ada di dunia ini. Nama bahasa yang digunakan Aldan baik yang barusan maupun yang lalu aku saja tidak tahu. Aku ingin mencari artinya di google translate, tetapi aku lupa apa yang Aldan katakan.

Karena dalam sekejap, dia berubah menjadi penderita bipolar disorder episode maniak. Di mana terkadang penderitanya berbicara dengan tempo cepat.

Aku berdiri, memungut jaket, lalu memakainya, begitu dengan sepatuku. Setelah itu, aku berjalan keluar kamar yang mungkin milik Aldan. Tapi, baru sampai di pintu, aku tertarik untuk melihat pigura foto yang dipajang di nakas samping kasur. Akhirnya, aku lebih memilih menghapus rasa penasaranku dengan melihat sebentar pigura itu.

Di foto hanya ada gambar Aldan memakai jas, yang semakin menambah kadar ketampanannya. Lalu, dengan iseng aku membalik pigura berhias kerang dan pasir pantai itu.

Best day ever, 3113 :)

Aku mengernyit bingung saat membaca tulisan yang ada di belakang pigura itu. Lalu, dengan iseng aku mengeluarkan foto Aldan dari dalam pigura. Hingga akhirnya aku melotot saat melihat foto yang disembunyikan di balik foto Aldan.

• • • •

Setelah melihat foto itu, aku pulang. Sendirian. Bahkan saat Aldan hendak mengantarku, aku membentak. Sungguh aku bingung dengan apa yang belum lama aku lihat. Sepanjang perjalanan aku mencoba merangkai segala kejanggalan yang mungkin terjadi tanpa kusadari belakangan ini. Aku justru teringat akan Stefan Alexeevich Sobakin. Pengusaha sukses yang memiliki istri bernama Marta Kostyaovna Volkova.

Jika orang di kedua nama itu adalah orangtuaku, apa sekiranya yang membuat aku tahu salah satu nama dari mereka. Padahal dulu, baik Carly maupun Benjamin hanya mengatakan kalau namaku adalah Rayssa Sobakina. Mereka berdua tidak menyebutkan nama tengahku. Nama Rasya yang ada pada namaku yang sekarang pun diambil dari kata Rayssa, hanya dipoles agar tidak terlalu sama, tapi juga tidak terlalu berbeda. Kini aku jadi merasa, mereka sengaja menyembunyikan siapa aku yang sebenarnya.

Tin tin!!

Aku terkejut saat mendengar suara klakson motor. Sontak saja aku menoleh dan menemukan Alvan yang kini sudah berhenti di sampingku. Aku memandangnya sekilas, lalu kembali menatap ke depan.

"Dari mana, Tan?" tanya Alvan setelah mematikan mesin motornya.

Aku diam untuk berpikir, apakah aku harus jujur atau justru berbohong saja. Aku tidak ingin kata cewek agresif keluar dari mulut Alvan, cukup kakaknya saja waktu itu. Hanya karena aku habis singgah di apartemen Aldan sebelum akhirnya berada di sini. Lagipula aku juga bingung mau menjawab apa nanti saat Alvan bertanya di mana letak apartemen Aldan.

Tapi, aku benci pembohong. Jika aku berbohong berarti aku benci pada diriku sendiri.

"Habis dari pasar malem," jawabku setelah teringat akan foto postingan Shireen di Instagram yang menge-tag akun milik Aldan.

"Sendirian?"

Aku menggeleng, "gak juga."

"Terus, kenapa Lo sendiri di sini? Lagian ini juga udah jauh dari tempat pasar malem diadain."

Aku merutuki Alvan yang sangat kepo malam ini di hatiku. Padahal biasanya, dia seakan tidak peduli aku masih bernapas atau tidak.

"Gue sengaja minta turun di sekitar sini tadi. Gue belom siap aja nunjukin rumah gue, eh, maksudnya keluarga angkat gue."

"Oh." mendengar respon Alvan, aku berpikir kalau tidak ada lagi yang akan dia tanyakan.

Lantas saja aku berjalan pergi, yang lagi-lagi tanpa pamit. Aku bersyukur saat tidak mendengar suara motor Alvan yang menyusulku. Lagipula aku tidak berkhayal seperti biasanya. Seperti saat kejadian angkot waktu itu misalnya. Aku tidak lagi berkhayal kalau Alvan akan datang lalu membawaku pergi dengan motornya. Persis seperti adegan di novel, film, FTV, sinetron, dan lain semacamnya.

Alasan mengapa aku tidak mau berkhayal seperti itu lagi, selain karena Alvan memang sudah ada yang punya, karena aku tidak ingin kejadian setelah aku berkhayal demikian terulang lagi. Yakni saat tiba-tiba Aldan memanggilku, lalu membawaku berlari bersamanya. Menyuruhku diam, dengan mengucap kata 'cewek agresif' juga. Aku tidak mau hatiku diporakporandakan Aldan lagi. Sudah cukup tadi saja, tidak perlu ditambah dengan pengulangan drama nyeleneh di hari Senin beberapa waktu lalu.

Drama nyeleneh di mana tokohnya jatuh kepleset kulit pisang, hingga lututnya sobek dan keluar darah. Lalu datang pangeran laknat yang terus mengingatkan untuk jangan lari-lari. Hingga sampai di akhir cerita, setelah si tokoh yang jatuh kepleset dicium bibirnya sambil digendong oleh pangeran laknat dijatuhkan, lalu ditinggal pergi.

Drama sepeti itu tidak mau aku ulangi lagi, cukup sekali dalam seumur hidup. Aku akan benar mengutuk orang yang beraninya membuat aku menjalani drama yang sama untuk kedua kalinya.

"Rasya!" hanya satu orang yang memanggilku dengan Rasya sejak awal bertemu.

Aku terus menambah tempo berjalanku, bahkan kini bisa dibilang berlari. Entahlah, mendengar suaranya saja membuat rasaku bercampur aduk. Lalu,

Dugh!

"Awwh," ringisku saat kepalaku menabrak sesuatu yang keras, tapi jelas bukan pohon.

"Hai, cantik!" sapaan itu entah mengapa membuatku merinding.

"Minggir!" seruku sambil menjauh dari tangan yang hendak menyentuh bahuku, lalu aku berbalik ke belakang dan hendak berlari, namun sayang, ada orang juga di sana.

"Jangan gitu dong, seenggaknya kita seneng-seneng dulu," ujar pria yang tadi kutabrak.

"Apaan, sih? Jauh-jauh dari saya!" seruku agak keras, aku bingung, baru jam sembilan tapi jalan ini sudah sepi saja.

"Eits, gak mungkin dong kita jauh-jauh padahal baru mendekat!"

Dasar hilang kewarasan!

Di saat seperti ini, aku teringat Jake. Tidak! Aku tidak akan menggunakan Jake sebagai alasan. Bisa semakin disangka anak nakal aku oleh mereka, karena keluyuran sendiri di malam dan tempat sepi.

"Heh, apaan Lo sentuh-sentuh gue?!" tanyaku menepis tangan yang menyentuh tanganku.

"Mulai nakal ternyata."

"ALDAN!!!!!" teriakku saat mereka mulai mencengkeram kedua tanganku.

"Heh, lepasin gak?! Mau Lo gue aduin ke Aldan?! Hah?!" seruku lagi dengan membawa nama Aldan sebagai ancaman.

"Siapanya Aldan Lo sampe berani ngadu ke dia?! Hah?!"

Aku menatap nyalang pria berotot bengkak yang ada tepat di depanku. "Yakin, Lo nanya gue siapanya Aldan?!" tanyaku dengan sinis.

Emang siapa?

Jan lupa ninggal jejak yee brei 😜

15.11.18

JOMBLO✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang