44. son

689 47 32
                                    

"Aldan," panggilku setelah sadar.

Tapi tidak ada respon berarti dari Aldan. Padahal dia ada tepat di samping tempatku tidur.

"Aldan," panggilku lagi untuk yang kedua kalinya.

Namun sama saja, tidak ada respon dari Aldan. Aku tidak berpikir kalau dia mati, karena jelas terlihat dari bahunya yang naik turun. Mungkin saja dia hanya tertidur. Sebelum berakhir dengan pingsan, aku sempat mendengar suara tangisan bayiku. Indah.

Melihat Aldan tanpa sadar membuatku meneteskan air mata. Aku terharu dengan semua yang dia lakukan selama ini. Mulai dari usahanya melamarku hingga ke Madrid. Ya, dulu aku kuliah di sana. Setelah setahun menghabiskan masa SMA di Barcelona. Sebab setelah Stefan dan Marta menjemputku dulu, aku kabur ke Barcelona. Hidup dengan uang tabungan dan juga bekerja sebagai model. Hasilnya lumayan, aku bisa membeli mansion di sana. Bahkan dengan hasil pekerjaan itu, aku bisa membiayai kuliahku sendiri.

Peter sempat menemukanku di Barcelona, tapi aku tidak mau ikut pulang bersamanya. Aku terlanjur nyaman tinggal di sana. Entahlah, aku merasa, bebas. Contohnya, aku bebas pulang kapanpun. Walau tengah malam atau hari menjelang pagi. Aku bebas berjalan ditengah keramaian tanpa ada yang memandangku aneh. Tanpa ada yang mempertanyakan albinoku.

Setelah lulus SMA, aku kuliah di UCM (Universidad Complutense de Madrid). Mengambil jurusan ilmu fisika. Karena sebenarnya aku bingung hendak mengambil jurusan apa. Berhubung aku suka dengan pelajaran berbau angka, so, aku pilih saja itu. Aku pernah bilang bukan kalau apapun yang menyangkut urusan perusahaan dan bisnis aku malas menghadapi? Jadinya aku tidak tertarik untuk mengambil jurusan itu di sana.

Selama tinggal di sana, statusku sama saja. Masih singgah pada kata jomblo. Di sana aku bertemu banyak manusia baru. Bertemu laki-laki yang jauh lebih tampan daripada yang ada di Indonesia. Namun tak ada satu yang berhasil membuatku terpikat. Aku hanya sekadar mengangumi. Itupun yang paling jauh. Sudah tidak ada lagi rasa selain rasa kagum pada lelaki itu. Saat ada salah satu dari mereka memintaku menjadi kekasihnya, selalu kata lo siento yang keluar dari mulutku. Yang aku sendiri bingung apa alasanku berkata demikian.

Lalu, dia berusaha mempersatukanku dengan Stefan dan Marta. Setelah dia menemukanku di Madrid tentunya, dan setelah melamarku juga. Karena Aldan, aku dan orangtuaku berdamai. Karena Aldan, aku merasakan dekapan hangat orangtuaku. Karena Aldan, aku bisa melihat senyum bangga orangtua kandungku saat anaknya ini berhasil meraih prestasi. Karena Aldan, aku merasa lengkap.

Aku tersenyum tipis, membelai rambut Aldan dengan lembut. Sakit rasanya, saat dia hampir saja meninggalkanku dua tahun lalu. Saat aku masih terjebak dalam dunia masa lalu. Yang otakku seolah bisu. Tak pernah bertanya dan kerap bermasabodoh ria dengan kejanggalan yang ada.

Aldan mengangkat kepalanya, mungkin dia terganggu dengan pergerakan tanganku. Dengan segera aku melebarkan senyumku. Wajahnya kusut khas bocah bangun tidur. Dia ikut tersenyum. Seolah senyumku ini menular padanya. Lalu, ekspresinya berubah panik. Aku jadi mengernyit.

"Kenapa nangis?" tanyanya menghapus air mataku.

Jujur aku suka, saat dia seperti ini.

"Jangan nangis, suara--"

"Suara gue jelek kalo nangis," potongku cepat, karena saking hapalnya dengan kalimat Aldan yang satu itu.

"Itu tauk."

Aku terkekeh dan menggenggam tangannya yang ada di pipiku, "Aku gak pa-pa. Terharu aja tadi, karna keinget dulu."

Aldan ikut terkekeh, "Lamaran itu?"

Aku mengangguk.

"Sa," panggil Aldan.

"Apa?"

JOMBLO✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang