39. pergi

609 41 35
                                    

"Iya, itu bener."

Meluncur mulus dari bibir Aldan yang terasa manis kala kucium.

Aku bangkit berdiri. Pergi ke kamarku, meninggalkan semuanya yang ada di sini. Rasanya hatiku sakit, saat mendengar jawaban itu keluar langsung dari bibir Aldan. Walau sebenarnya, aku masih ada diantara yakin dan tidak. Bisa jadi ini semua hanyalah prank, karena beberapa bulan lagi aku ulang tahun. Tapi, jika dipikir dua tiga kali, mana ada prank dimulai sedini ini? Maksudku, seawal ini.

"Halo, Pak Indra! Siapkan pesawat, tujuan saya akan saya beritahu lewat pesan," ujarku menelepon seseorang.

"Siap, Nyonya!"

Aku mematikan sambungan telepon. Segera mengirim pesan berisi tujuan kepergianku. Memasukkan barang-barang yang sekiranya kubutuhkan di sana. Soal uang, itu bukan masalah. Aku membuka laci di dalam lemari pakaianku. Untuk mengambil uang tabunganku yang sengaja tidak kusimpan di bank. Itu ribet dan aku tidak suka. Tapi aku menemukan sesuatu yang lain di sana.

Sebuah ikat rambut berwarna hitam.

Aku teringat akan ikat rambut pemberian Alvan belum lama ini. Dan itu sampai sekarang bersemayam di dalam tasku. Tidak mungkin pindah ke sini dengan sendirinya. Di ikat rambut itu terdapat sebuah post-it dengan tulisan: dari Alvan Mei'08

Mei 2008?

Itu artinya, Mei sepuluh tahun lalu. Berarti aku telah mengenal Alvan sejak sepuluh tahun lalu. Tapi, bagaimana bisa?

Drrrtt! Drrrtt!

Aku tersentak saat merasakan getaran ponsel di saku celanaku.

Pak Indra
30 menit lagi, Nyonya, sudah bisa pergi.

Gueee
Makasih, Pak.

Pak Indra
Baik, Nyonya.

Dengan segera aku melupakan ikat rambut itu. Mengambil uangku dan juga beberapa pakaian. Setelah memasukkan semuanya ke dalam tas dan juga berpenampilan layaknya teroris. Aku keluar kamar lewat jendela. Berjalan mengendap-endap bak maling di siang bolong. Untung saja pembantu rumah ini sedang pergi ke pasar.

Sesampainya di luar gerbang rumah, aku langsung berlari menuju tempat biasanya aku mencari angkot. Memesan ojek online agar cepat sampai ke bandara.

Sekarang ini, jam sembilan pagi, tiga puluh menit lagi aku akan meninggalkan kota tempat dibesarkannya aku. Di sepanjang jalan menuju bandara, aku kembali mengenang kisah yang pernah terjadi di dalam pikiranku. Mengenang kisah yang terjadi di jalan yang kini aku lewati.

Kalian semua, manusia yang aku sayangi di sini, aku akan merindukan kalian.

• • • •

Sepuluh jam sudah aku berada di atas udara. Sesekali termenung, lalu tertidur. Memikirkan nasib hidupku yang penuh tanda tanya. Mereka bilang aku hilang ingatan, tapi aku tidak merasa begitu. Mereka bilang aku hilang ingatan, tapi mengapa mereka bungkam setahun ini?

Tanpa sadar, aku menangis. Yang entah karena apa. Aku merasa sebagian dari diriku menghilang. Hingga timbul lah rasa gelisah luar biasa. Jujur, aku bingung ada apa denganku sebenarnya. Hingga aku jadi seperti ini, menangis sesenggukan seolah aku ini manusia paling menyedihkan di muka bumi.

Saat ini, jam menunjukkan pukul setengah sebelas malam waktu Indonesia. Sebelas jam berlalu sudah. Sekitar enam jam lagi pesawat ini akan sampai di tempat yang ingin aku tuju. Daripada bosan menunggu aku memilih tidur.

Sebenarnya soal ponsel, tadi aku sempat terkejut. Pasalnya ponsel yang ada di dalam stopmap itu persis dengan ponsel milik Aldan. Bedanya milik Aldan berwarna hitam, sedangkan yang tadi warnanya putih.

Beberapa kali aku mencoba tidur, tapi beberapa kali itu pula aku tidak bisa tidur. Rasa gelisahku mengalahkan keinginanku. Walau aku telah memikirkan apa saja yang sekiranya bisa membuatku tertidur, tetap saja tidak bisa. Yang ada aku justru kepikiran tugas biologi yang belum aku kerjakan. Selain tugas biologi, aku bisa melihat Aldan setiap memejamkan mata. Hingga membuatku semakin sulit untuk pergi ke alam bawah sadar.

Aldan, kenapa kamu terus singgah di kelopak mataku bagian dalam? Dan mengapa aku tidak bisa mengusirmu?

"Jangan lari-lari," kata itu lagi. Semalam saat aku menonton TV, aku melihat iklan sabun mandi Lifebuoy. Ternyata cowok aneh ini memplagiat kata yang ada di iklan itu. Huh, dasar kehabisan ide.

"Jangan dikejar makanya," sahutku dengan perasaan dongkol saat tangan itu kini melingkar di pinggangku.

"Gue gak akan ngejar kalo Lo gak lari."

'Gue gak akan ngejar kalo Lo gak lari.'

Aku mulai kepikiran tentang kalimat yang Aldan katakan selepas kami menonton film horor di bioskop kala itu. Apa saat ini aku bisa disebut dengan lari? Lari dari kenyataan maksudnya. Lalu, apa Aldan akan tetap mengejarku? Atau justru tidak lagi mengejarku, karena Shireen sebagai alasan?

Memikirkan itu kembali membuat aku menangis tersedu. Kini aku berharap, Aldan akan tetap mengejarku, meyakinkan aku sekali lagi kalau semua ini hanya omong kosong belaka, memperingatkanku untuk jangan lari-lari, membawaku pulang, dan semua kembali berjalan sesuai alur cerita yang Tuhan gambarkan.

Mataku melirik salib yang dipajang oleh Carly di atas nakas. Berdoa kepada Tuhan sesuai dengan harapanku tadi dan juga berdoa, agar aku ditunjukkan mana yang benar dan mana yang salah.

"Tuhan, aku memohon bantuan padamu."

• • • •

Barcelona

Begitulah mereka menyebut kota ini. Dan, ya, di sinilah aku sekarang. Jauh dari kota tempat aku dibesarkan. Jauh dari kota tempat aku mengenal indahnya memiliki sahabat. Jauh dari kota tempat aku mengenal manusia yang namanya Alvan dan Aldan.

Untuk sementara waktu, yang entah sampai kapan itu, aku memutuskan untuk singgah di kota ini. Setidaknya untuk mengasingkan diri dari seluruh manusia yang kukenal di negara yang kupijaki sebelumnya. Sejak turun dari pesawat tadi, aku hanya memiliki satu keinginan.

Yaitu Aldan.

Aldan tahu aku di sini.

Lalu, datang kemari menemuiku.

Mengatakan semuanya tadi tidak benar.

Membawaku pulang.

Dan semua kejadian yang membuatku pergi dari rumah terlupakan dengan otomatis.

Saat ini, aku sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan. Setelah tadi aku menaruh barang bawaanku di sebuah mansion yang alamatnya tiba-tiba muncul di pikiranku.

Di sini aku membeli ponsel, lagi. Karena yang tadi sudah kutenggelamkan agar tidak dapat dilacak. Tentunya aku melepas segala macam yang ada di ponselku. Kartu perdana, baterai ponsel, tutup belakang ponsel, kartu memori, semuanya itu aku buang. Oh, kecuali kartu memori. Aku membuang mereka juga di tempat yang berbeda. Setelah mendapat ponsel yang aku inginkan, aku langsung otw pulang. Bukan ke Indonesia, tapi ke mansion yang entah milik siapa.

Setelah chapter ini, bakal banyak drama, siap aje ye ;v

Jan lupa ninggal jejak yee brei 😜

21.12.18
Bsk awto ultah, gaada yg say birthday gt😂
Say birthday sblm waktunya:v

JOMBLO✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang