36. Aldan hancur

628 43 22
                                    

Kalimat post-it Aldan mengingatkanku akan kejadian setelah aku hujan-hujanan dengan shower di kamar mandi Aldan. Saat dia mendudukkanku di pinggir kasurnya.

Kututup album di pangkuanku. Lalu, kutaruh dengan asal di sofa. Setelahnya, aku berjalan sesuai dengan kakiku ini melangkah. Dan aku berhenti saat sudah sampai di depan pintu kamar Aldan yang terbuka. Tanpa mengetuk pintu lebih dulu atau meminta izin untuk masuk, aku langsung masuk ke dalam kamar Aldan.

Hatiku mencelos, darahku serasa berdesir cepat, melihat Aldan yang tidur tengkurap di kasur dengan bahunya yang naik turun. Sebenarnya aku masih belum percaya dengan album dan video di flashdisk yang Aldan berikan tadi. Tapi sebagian dariku percaya kalau apa saja yang ada di kedua benda itu nyata adanya dan pernah terjadi.

Dengan langkah perlahan aku mendekat pada Aldan. Duduk di pinggir kasur dengan Aldan yang masih pada posisinya. Aldan menangis bahkan terisak. Suaranya begitu pilu, hingga seakan mengiris hatiku berulang kali, tanpa henti.

"Aldan," panggilku nyaris tak bersuara.

Tapi Aldan tidak menyahut. Mungkin, karena suaraku yang lirih tadi teredam oleh suara tangis dan isakan Aldan.

"Al," panggilku lagi dan kali ini aku menyentuh lengannya.

"Apa?" tanya Aldan dengan suara tidak jelas dan tanpa menoleh kepadaku.

"Lo kenapa nangis? Hmm?" tanyaku dengan nada yang kubuat selembut mungkin sambil mengusap kepala Aldan.

Ada pergerakan dari Aldan dan tak lama kemudian Aldan duduk menghadapku. Melihat wajahnya yang sekusut baju ketika diperas habis dicuci, mampu membuat dadaku terasa sesak. Entahlah, aku juga merasa tidak lama lagi salah satu dari kami berdua akan ada yang pergi. Pergi entah kemana. Pergi bertemu Tuhan atau pergi ke suatu tempat.

"Aku, a-aku, aku disuruh ni-nikah lagi," ucap Aldan dengan tersendat-sendat. "Papa udah netapin keputusan. Katanya, Jake butuh kasih sayang dari seorang ibu, dan ibu kandung Jake justru gak bisa ngasih itu. Jadi, gak lama lagi Jake punya ibu tiri, namanya Shireen Kamila," jelas Aldan yang membuat jantungku seakan berhenti berdetak.

"Percuma rasanya aku berontak, sampe kapanpun papa tetep ada di keputusan itu. Kuncinya di sini adalah kamu. Please, don't make me leave you," Aldan menunduk, lalu bahunya kembali berguncang.

"Jake? Dia beneran anak--"

"Ya, dia anak pertama kita," potong Aldan sebelum aku selesai bicara, "kamu hamil bulan Juni 2013, Jake lahir tanggal 1 bulan Maret 2014. Maret taun ini kamu lewatin ulang tahunnya dia, kamu tau apa yang terjadi?"

Aku diam.

"Dia gak mau tiup lilin dan justru ngurung diri di kamar," Aldan menjawab pertanyaannya sendiri.

"Istri?" maksudku aku bertanya siapa aku di hidup Aldan sebenarnya.

"Ya, kamu istriku. Aku punya empat mertua, ayah Stefan dan ibu Marta, lalu papa Benji dan mama Carly. Punya dua keponakan dari Peter sama Ella, dan itu cowok semua. Valerian sama Rafael."

Pertanyaanku tentang siapa Valerian terjawab hari ini. Valerian tidak lain adalah keponakan Aldan. Jika Aldan benar suamiku, maka Valerian juga keponakanku. Siapa ayah Valerian? Menurutku adalah Peter. Karena pesan yang Peter kirim saat aku berada di pasar malam waktu itu. Lalu, Sveta adalah istri Peter sekaligus ibu dari Valerian. Dan akhirnya pertanyaanku tentang dua nama itu terjawab, walau hanya hasil dari pemikiranku sendiri.

Lalu, siapa Rafael? Apa anaknya Ella dan pria di foto itu? Tadi aku sempat mengingat namanya saat Aldan mengendarai mobil layaknya orang kesetanan. Jeremy kalau tidak salah.

"Aku gak bakal ngelepasin kamu, aku bakal berontak lagi. Aku yakin Jake juga gak mau ditinggal kamu, aku--"

"Sebenarnya saya itu kenapa?" tanyaku dengan formal, karena bingung harus menggunakan aku-kamu atau Lo-gue, "mengapa saya seolah melupakan kalian?"

• • • •

Aku berjalan gontai menuju rumah. Dengan satu tangan menggenggam sebuah flashdisk dan satunya membawa album foto yang Aldan beri tadi. Sungguh, aku bingung dengan yang terjadi selama ini. Apa yang terjadi pun aku tidak tahu. Terlalu banyak misteri yang sulit kuungkap. Kisah ini lebih rumit daripada mengerjakan soal matematika yang belum diajarkan materinya.

Terlalu banyak kalimat tanya di dalam pikiranku. Hingga serasa kepalaku ini mau meledak. Saat coba kuhubungkan dengan apa saja yang ada di flashdisk dan di album foto, aku justru merasa terlalu banyak memori yang bermunculan di kepalaku. Seperti kelereng yang disimpan dalam plastik, yang dirobek plastiknya, maka kelereng itu keluar. Setidaknya seperti itulah yang terjadi di dalam pikiranku.

Akhirnya aku sampai rumah. Sepi. Tidak ada satpam yang biasanya berjaga di pos. Lalu Mbak Narsih yang biasanya memberi makan pudel milik Peter juga tidak terlihat. Mungkin mereka sedang di dalam dan sedang bersembahyang. Mengingat sekarang yang sudah masuk waktu Maghrib.

Aku menengok ke garasi, tidak ada motor Peter maupun mobil Ella. Mungkin Ella masih di kantor dan Peter masih di rumah Alvan. Daripada membuang waktu lebih lama di luar rumah, aku langsung masuk ke dalam. Menuju kamarku, lalu membersihkan diri.

Sambil menunggu Peter dan Ella pulang untuk makan malam, aku duduk termenung di kasur. Memikirkan kembali tentang kondisi Aldan tadi saat sebelum aku tinggal pulang. Aldan begitu hancur. Membuat hatiku juga ikut hancur. Walau sebenarnya aku tidak yakin kalau apa yang kulihat semuanya tadi benar, tentang video juga foto di dalam album itu.

Kubuka album foto yang terdapat post-it bertuliskan tulisan tanganku dan Aldan. Ingat arti kedua kalimat yang ada, keduanya sama memiliki arti tentang tidak akan meninggalkan. Dan Aldan tidak akan meninggalkanku, karena janji yang mengikat kami berdua. Entahlah, aku harus bagaimana.

Pelan-pelan:v

Jan lupa ninggal jejak yee brei 😜

12.12.18

JOMBLO✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang