Malam itu Kinan tidak bisa tidur dengan tenang seperti biasanya. Pikirannya melayang pada kejadian sore tadi. Kalau saja tidak ada acara ketiduran, ia pasti tidak akan terlambat menemui Attala.
Ponsel ditangannya terus menyala, menampilkan roomchat dengan Attala yang belum mendapatkan balasan. Jemarinya bergerak naik turun, menyesal karena terlalu buru-buru sampai tak sadar Attala menghubunginya tadi sore.
Kini hanya tertera belasan panggilan tak terjawab disana.
.
Sinar mentari pagi menyelinap masuk melalui celah-celah jendela yang tak tertutup gorden. Menyilaukan seorang gadis yang baru saja terbangun dari tidur melelahkannya.Hari sudah pagi, Kinan langsung berjengkit ingin mengecek ponsel. Tapi benda kotak itu tidak ada dimana-mana.
"aduh, kemana sih?" kesalnya.
Disingkirkannya selimut dan bantal, namun tak didapatinya benda itu. Kinan beranjak turun dari ranjang, tapi sesuatu yang keras tak sengaja terinjak oleh kakinya. Begitu dilihat, ternyata ponselnya tergeletak dilantai.
"ck, kok bisa disini sih?" gumamnya seraya memungut benda itu.
Kinan tak begitu peduli dengan kejadian semalam. Dimana saat ia menunggu balasan sampai terkantuk-kantuk dan ponsel yang berada ditangannya terlepas dari genggaman.
Kosong.
Itu yang pertama kali dilihatnya. Attala kemana sampai tidak memberinya kabar apapun.
Pukul setengah delapan pagi. Musik bertempo sembilan puluhan terdengar mengawali pagi di rumah berdinding krem itu. Karena semalam ayah Kinan baru saja pulang dinas sejak tiga hari yang lalu, jadi tak perlu ditanya siapa yang memutar dvd tersebut.
Sarapan rutin hari ini bertema jadul, dengan sang kepala rumah tangga duduk tegap dikursinya, diiringi srikandi-srikandi cantik macam istri dan anaknya.
"ayah udah beli makanan buat kamu tuh," ucap ayah disela aktifitas mengunyahnya.
Kinan mengangguk, "makasih yah," jawabnya singkat.
"daritadi ayah liatin, kamu kenapa?"
Baru saja Kinan akan menjawab, ponsel yang tergeletak disebelah piringnya menjeritkan ringtone. Serta merta sang empunya benda langsung menegakkan posisinya, karena yang muncul di layar ponsel berupa panggilan video dari Attala.
Kinan langsung meraih ponselnya ke pangkuan, berharap sang ayah tak sempat melihat siapa yang menelepon.
"aku ke kamar dulu ya," ujarnya lalu segera pergi, menyisakan setengah porsi nasi gorengnya diatas meja.
Kinan berlari cepat menuju kamar dan segera menutup pintu rapat-rapat.
"ck," decaknya, "kamu kemana aja sih?" tanyanya langsung tanpa salam pembuka.
Sementara diseberang sana Attala hanya memasang senyum, seolah tidak berbuat apa-apa.
"kamu yang kemana aja?" Attala bertanya balik.
"aku udah jelasin di chat, kamu baca aja sendiri."
Dengan senyum khasnya Attala terkekeh, "iya aku baca. Jangan cemberut gitu dong,"
Meskipun ini jelas-jelas bukan salah Attala, tapi tetap saja Kinan bersikap seolah cowok itu lah yang tak mau menunggunya kemarin dan pergi begitu saja.
"aku kangen kamu,"
Jantung Kinan berdesir hangat.
Meskipun bukan pertama kalinya Attala mengatakan hal seperti itu, tapi tetap saja dari sorot matanya cowok itu tulus, banget.
"kamu mau ngapain bawa-bawa handuk?" rupanya Kinan mengalihkan pembicaraan dengan cepat. Dan kebetulan Attala sedang mengalungkan handuk kecil dilehernya.
Dari layar ponsel terlihat Attala langsung menyingkirkan handuk putih tersebut. Menampilkan kaos hitam ngepas tubuh, bikin yang memakai jadi super ganteng.
"abis mandi," jawabnya seraya menyisir rambut dengan jemari.
Kinan tersenyum namun tak berminat membalas ucapan Attala. Yang ia butuhkan hanya satu, yaitu melihat setiap inci wajah cowok itu dalam diam. Tak perlu bicara, setidaknya rasa rindu sudah terobati.
"kok diem? Ngeliatin apa?" Attala menoleh kesisi belakangnya penasaran.
"jangan bikin takut dong, aku sendirian nih." tambahnya.
Sontak Kinan jadi tergelak, "jangan cupu jadi cowok!" ujarnya.
"cupu? Yang kemarin malem gimana?"
Senyum Kinan langsung lenyap, berganti dengan gerakan mata canggung berusaha menghindar dari tatapan Attala yang seolah hanya sejengkal dengannya.
Kinan jadi tersipu, mengingat malam terakhir sebelum Attala pergi. Dimana pertama kalinya bagi Kinan, merasakan begitu dalam perasaan cowok itu untuk dirinya.
Attala bukan tipe pria yang dapat mengungkapkan perasaanya dengan kata-kata apalagi rayuan gombal. Semua tahu itu. Tapi, Attala bukan juga tipe pria yang bisa menahan diri untuk mengutarakan rasa sayangnya melalui perlakuan fisik.
Attala terkekeh, "malu ya?" godanya.
"udah deh, jangan nyebelin." balas Kinan menahan malu, "kamu dimana?"
Masih disisa-sisa tawanya cowok itu menjawab, "aku di rumah sewa. Maaf ya semaleman gak bisa ngubungin kamu, aku langsung beres-beres disini. Gak enak soalnya berdua temen,"
Penjelasan Attala kurang lebihnya dapat dipahami oleh Kinan. Karena cowok itu memang tidak berbohong.
Dari layar ponsel terlihat bahwa rumah sewa itu cukup luas untuk ditempati dua orang. Ini lebih dari layak sebenarnya.
"lumayan lah disini, seenggaknya udah ada tempat buat tidur." lanjutnya.
"keliatan kok, luas. Terus kamu betah?"
"enggak, soalnya gak bisa liat pacar." jawaban yang tidak ada dua detik itu membuat Kinan kembali tersenyum. Pinginnya sih nyusul, mau meluk. Tapi mustahil.
"ini liat kok,"
"dari hape, enakan juga liat langsung. Ketara cantiknya,"
Kinan terkekeh pelan, kayaknya tu cowok belajar banyak selama temenan sama Juna.
Beberapa detik dibiarkan berlalu, dengan dua wajah yang saling bertukar pikiran lewat tatapan mata. Meski terhalang oleh jarak, keduanya bersikeras akan mempertahankan hubungannya sampai kapanpun.
Kinan tersenyum, meski tak ada satupun yang membuka suara lagi, namun tatapan mata itu sudah mewakili semuanya.
Diseberang, perlahan bibir Attala ikut tersenyum. Cowok yang tidak begitu mengerti sastra itu kini mengakui, bahwa karya maestro-maestro besar yang sering menyebutkan tentang jarak adalah benar adanya.
Jarak yang begitu ingin dibunuh, tetapi tidak pernah bisa. Jarak yang membentengi langkah dua insan yang sedang dimabuk asmara, seolah sengaja ada hanya untuk memisahkan.
"aku kangen kamu, Kinan." gumam Attala.
🌿
.
.
.
.
-TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ [0.1] AN ACCIDENTALLY - KINAN chap. 1 // Lee Taeyong
Teen FictionCinta itu sepenuhnya tentang perasaan. Dan dia, yang membangun istana ini, adalah dia yang menghancurkannya. Based on true story ⚠ Do Not Copy / Plagiarism ⚠ An Accidentally © chojungjae, Mei 2018