"aku udah lebih baik, tenang aja."
Ya, ada Juna disana. Setelah kurang lebih seminggu datang, akhirnya ia bisa melihat wajah itu lagi.
Juna refleks mendongak begitu mendengar suara Kinan. Cewek itu sedang menuruni tangga dengan menenteng kotak hitam ditangannya.
"Kin? Kamu.."
Sampai Kinan berdiri dihadapannya, Juna tak juga melanjutkan ucapannya. Ia nampak kebingungan ingin mengatakan apa.
Diamatinya wajah Kinan dengan seksama. Yang jelas pipi gadis itu terlihat lebih kurus sekarang. Lingkaran hitam dibawah kedua matanya pun terlihat sangat jelas. Pucat seperti kehilangan auranya.
"bagus kakak kesini," gumam Kinan lalu duduk disebelah Juna, sofa ruang tamu.
"aku udah kesini tiap hari tapi-"
"ini dari kak Juna kan?" potong Kinan sambil meletakkan barang bawaannya diatas meja.
Sebuah kotak berwarna hitam dengan pita emas, yang begitu dibuka akan menampilkan bunga warna-warni yang sangat cantik. Sayangnya bunga itu sudah mengering dan berubah kecokelatan.
Serta sebuah buku yang datangnya bersamaan dengan bunga tersebut. Diberikan langsung oleh seorang anak kecil pada waktu itu.
Sontak Juna mengalihkan pandangannya sesaat lalu kembali melihat Kinan. Kali ini diliputi rasa bersalah.
"bego ya, aku seneng banget dapet bunga ini waktu itu." ujar Kinan mengingat waktu dirinya selesai sidang dan mendapat hadiah istimewa ini. Yang ternyata sama sekali bukan dari Attala.
"maaf Kinan. Aku cuma mau kamu seneng waktu itu, Attala gak dateng. Jadi..."
Untuk yang kesekian kalinya Juna tak bisa melanjutkan kata-kata.
Kinan tersenyum masam, "makasih udah bela-belain beli ginian segala. Tapi kakak juga harus tau, perempuan benci dibohongin."
Mendengar itu jantung Juna terasa jatuh ke perut. Terlalu menohok, sampai laki-laki saja merasa malu dan ingin enyah dari bumi. Kalimat itu santai, tapi menusuk.
"Kin, maaf! Sumpah, aku juga baru tau semuanya."
Kinan menunduk muram, "gak usah dibahas. Aku gak mau benteng yang aku buat seminggu ini runtuh lagi. Capek tau kak," ia tersenyum sedih pada akhirnya.
Membuat Juna menatapnya dengan sejuta ketertegunan.
"aku mau istirahat," gumamnya.
Juna terkesiap, dengan cepat merubah posisinya menghadap Kinan. "Kin, sebentar-"
"ini dibawa aja nanti,"
Kinan melirik kotak bunga dan buku diatas meja sekilas. Kemudian dengan langkah gontai meninggalkan Juna yang masih terbungkam ditempatnya.
🌿
Bukan tidak paham situasi. Kinan hanya merasa bahwa ia mencintai Attala, maka yang harus dilakukan pada saat itu hanyalah menuruti egoisnya sendiri.
Ia sakit hati, sangat. Yang ingin didengarnya hanya pengakuan dan penjelasan dari Attala. Tapi cowok itu bersikap seolah biasa saja dan memilih menyembunyikan semuanya dari Kinan.
Setiap hari, setiap malam dan setiap detiknya dihantui oleh rasa bersalah. Kinan merasa jahat karena telah memutuskan untuk bersama Attala meskipun mengetahui fakta konyol dibelakang itu. Tapi tidak bisa, semua itu terhenti bahkan ditengah jalan yang suram.
Dengan cepat dihapusnya jejak air mata dipipinya itu. Sembari menunggu seseorang datang sesuai dengan janji yang telah dibuat sebelumnya.
Suasana kafe siang itu tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa orang yang bercokol dimeja-meja tertentu.
"Kinan,"
Suara itu menyadarkan Kinan dari aksi mengaduk kopi susunya. Secepat mungkin dilihatnya Attala yang baru saja datang dengan wajah belum seratus persen normal, masih ada bekas memar karena tinju dari Juna beberapa waktu lalu.
Setelah hampir lima belas menit saling diam, Kinan memutuskan untuk bicara duluan. Ia menghela nafas dalam beberapa saat.
"gak mau ngomong duluan?" tanyanya.
Attala langsung menatapnya.
"tujuan aku minta kamu kesini sebenernya pingin denger aja gimana ceritanya, tapi ya udahlah."
"maaf,"
Hanya itu kata yang dapat terucap. Sebisa mungkin Attala menahan emosinya agar tidak nampak dihadapan Kinan. Ia malu, lebih malu dari apapun. Terlebih, malu pada dirinya sendiri.
Kinan tersenyum tipis, "kalo itu yang kamu mau, aku udah maafin kok." jawabnya.
Keduanya terdiam lagi, sibuk mengatur kata dalam pikiran masing-masing.
Dan untuk yang kesekian kalinya hanya terdengar deru nafas Kinan yang begitu berat. Seperti sedang berusaha menahan diri agar tidak menangis lagi.
"resiko dalam mencintai adalah terluka," Kinan bergumam sambil tersenyum sendu, "apa itu benar Ta?"
Attala terdiam lima detik sebelum akhirnya menganggukkan kepala perlahan, "itu benar Kinan." jawabnya berat.
Kinan tidak lagi tersenyum, ia benar-benar ingin menangis sekarang. Tapi tidak mungkin juga didepan Attala. Cukup, yang kemarin sudah lebih dari sekedar cukup.
"maaf udah memperburuk masalah, harusnya aku gak egois dan nolak lamaran kamu waktu itu." sesalnya.
Attala mendengarkan dalam diam.
"aku pikir cinta bisa ngalahin semuanya loh," Kinan tertawa garing, "tapi nyatanya gak sama sekali."
"aku terlalu polos buat percaya itu. Makanya sekarang berasa kayak mati,"
Bukan hanya Kinan yang hancur, sejak berbulan-bulan yang lalu, Attala lah yang pertama terluka.
"aku minta maaf," ujar Attala dengan penuh sesal. Ia tidak sedikit pun memalingkan tatapannya dari Kinan. Perlahan, putih bola mata itu terhalang oleh kabut tipis yang kemudian mengalir dipipinya.
Kinan langsung menunduk, berusaha menelan sendiri isakannya. Ia benar-benar tidak ingin menampakkan wajah terlukanya didepan Attala. Justru cowok itulah yang lebih dulu meluapkan emosinya.
Dalam beberapa detik Kinan mengangkat kembali kepalanya, "sekuat apapun aku nahan kamu," ia menggeleng lemah, "gak akan pernah bisa, Ta."
"kalo kamu gak punya nyali buat cerita sama aku, gak apa-apa."
Meskipun dari kelihatannya dua orang itu sedang berbincang biasa, tapi siapa sangka bahwa ada sejuta mata pisau yang menancap dipunggung masing-masing.
"asalkan, kamu harus punya nyali buat tanggungjawab perbuatan kamu. Anak itu butuh bapak."
Attala memang tak bereaksi apa-apa, tapi Kinan tahu pasti bahwa ia mendengarkan dengan baik. Walaupun yang ada hanya penyesalan.
"oh iya," Kinan merogoh ke dalam tasnya, "makasih ya, udah ngajarin aku tentang perasaan."
Sembari tersenyum pedih Kinan meletakkan sebuah cincin diatas meja, pemberian Attala pada saat lamaran kemarin.
Kemudian ia meraba kalung yang dipakainya, pemberian Attala juga, waktu dirinya ulangtahun.
Tanpa bicara sepatah katapun, Kinan menarik kalung tersebut sampai terputus. Ia meringis tatkala tipisnya benda itu seolah menggoreskan luka.
Kalung yang sudah putus itu juga diletakkan diatas meja. Dikembalikan pada yang memberi meskipun itu hanya menancapkan luka. Kinan tak mau ambil resiko lebih. Ia harus sesegera mungkin mengikhlaskan keadaan.
"aku pamit,"
🌿
.
.
.
-tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ [0.1] AN ACCIDENTALLY - KINAN chap. 1 // Lee Taeyong
Fiksi RemajaCinta itu sepenuhnya tentang perasaan. Dan dia, yang membangun istana ini, adalah dia yang menghancurkannya. Based on true story ⚠ Do Not Copy / Plagiarism ⚠ An Accidentally © chojungjae, Mei 2018