Prolog

34.6K 1.4K 56
                                    

Diandra yang sedang ditugaskan mencari kayu untuk membuat api unggun itu berjalan menyusuri hutan bersama kakak laki-lakinya, Edward. Setelah berjalan jauh menyusuri hutan, mereka memilih untuk beristirahat sejenak di tengah hutan. Diandra membungkuk, menumpu tangannya pada lutut, mengatur napas. Edward pun melalukan hal yang sama.

"Kayaknya di sini susah sekali ya untuk mencari kayu," keluh Edward. Ia menepis keringat di dahinya yang sedari tadi mengalir. Wajahnya terlihat sangat lelah.

Diandra sama lelahnya dengan Edward. Gadis berambut pirang sepunggung itu menatap ke langit. Matahari sudah tiga perempat jalan menuju ke peraduannya. "Iya. Tapi kita harus berusaha mencari kayu-kayu sebelum langit semakin gelap."

Edward menggaruk kepalanya yang tidak gatal, memikirkan bagaimana cara mendapatkan kayu sebelum matahari tenggelam lalu digantikan oleh bulan yang cahayanya hanya pantulan dari cahaya matahari. Sebuah ide pun muncul di kepalanya. "Gimana kalau aku cari ke sebelah sana, kamu ke arah situ," usul Edward sambil menunjuk ke arah yang ia maksud.

Diandra melihat ke arah yang ditunjuk oleh kakak laki-lakinya yang hanya berbeda satu tahun lebih tua darinya. Lalu, ia mengangguk setuju. "Oke deh, aku setuju. Lima belas menit lagi kita bertemu di sini, gimana?"

Edward mengangguk. "Oke." Sebelum mulai melanjutkan perjalanan, ia berpesan pada adik perempuan satu-satunya itu. "Jangan lupa handphone-nya diaktifin!"

Diandra mengedipkan sebelah matanya ke Edward sambil mengacungkan jempol yang artinya 'oke'. Setelah itu, mereka berpencar ke arah yang Edward maksud tadi.

Diandra berjalan dengan sangat hati-hati, sesekali ia tersandung oleh akar pohon yang memanjang di tanah. Kadang ia membungkuk, menyibak-nyibakkan rumput panjang, berharap menemukan sebatang kayu di sana. Pohon-pohon besar dan rindang membuat Diandra sedikit kesulitan mencari kayu karena minimnya pencahayaan. Hanya ada sedikit penerangan sinar matahari yang masuk dari cela-cela pohon.

Setelah menemukan beberapa kayu, Diandra segera berjalan menuju tempat yang sudah dijanjikan olehnya dan Edward sebelumnya. Ia berjalan dengan langkah besar karena hari semakin gelap.

"Diandra."

Sebuah suara menyebut namanya.

Diandra menoleh ke belakang. Tidak ada orang. Ia menolehkan kepalanya kesana-kemari, mencari-cari asal suara yang memanggil namanya itu. Namun, sosok yang memanggil namanya tidak muncul.

"Diandra."

Suara itu muncul lagi.

Diandra mengambil langkah besar untuk menghindar dari suara tersebut. Firasatnya mengatakan hal buruk. Jantungnya berdegup kencang ketika suara itu menyebut namanya yang ketiga kalinya.

"Jangan berlari, Diandra!"

Suara itu masih ada. Bahkan, suaranya terdengar lebih kencang dibanding sebelumnya. Namun, Diandra tidak memperdulikan sosok yang menyebut namanya itu. Ia berlari sekencang mungkin tanpa menoleh ke mana pun, tatapannya lurus ke depan. Berharap ia segera sampai di tempat yang dijanjikan Edward.

"Kau tidak akan lolos dariku, Diandra."

Diandra semakin ketakutan. Keringat dingin menjalar di seluruh tubuhnya. Air matanya pun ikut turun. Ia hanya bisa menunduk dan berlari, menghindar dari suara aneh tersebut.

Sesuatu membuat tubuh Diandra terjatuh ke tanah. Ia tersandung sebuah batu. "Aw!" Ia meringis ketika perutnya menimpa kayu yang dari tadi dipeluk olehnya. Tanpa berpikir apa pun, ia bangkit kembali. Menyeka keringat di dahinya sejenak, lalu menunduk mengambil kayu-kayunya yang tergeletak di tanah. Baru saja ia ingin kembali berlari, langkahnya terhenti ketika ia melihat sebuah pisau tergeletak di tanah di hadapannya. Ujung pisau yang tajam itu menyentuh ujung sepatunya. Entah jatuh dari mana pisau yang berlumuran darah tersebut.

"Jangan bergerak, Diandra."

Suara aneh tersebut muncul lagi.

Diandra tersentak. Ia melangkah mundur. Matanya menatap sekitar dengan perasaan was-was. "Siapa kau sebenarnya? Keluar kau!"

"Aku sedang menghampirimu," sahut suara aneh itu.

Diandra menggerakkan badannya, mencari-cari sosok yang meneror dirinya di tengah hutan. Ia meringis ketika melihat langit hampir gelap. Cahaya matahari akan benar-benar menghilang dari pandangannya sebentar lagi, lalu akan digantikan sinar bulan yang hanya pantulan dari cahaya matahari. Diandra yakin, sinar bulan tidak akan mampu meneranginya di tengah hutan dengan pohon selebat ini.

"Keluar kau! Aku tidak takut!" teriak Diandra lantang, walaupun sebenarnya ia sangat takut setengah mati.

Diandra menoleh ke belakang, memastikan keberadaan sosok itu ada atau tidak. Dalam hati, ia berharap sosok itu tidak hadir di hadapannya.

Namun, kenyataan tidak sejalan dengan harapannya. Ketika ia menoleh lagi ke depan, ia menemukan sosok hitam menjulang tinggi di hadapannya.

Diandra kaget setengah mati. Mata dan mulutnya terbuka lebar ketika sosok itu mengadahkan pisau ke tubuhnya.

Dan tanpa aba-aba apa pun, sosok itu menusuk perut Diandra dengan pisau.

"AAAAAAAAA!" Diandra menjerit. Ia terdorong ke belakang, tubuhnya jatuh terduduk di tanah. Kayu-kayu yang digenggamnya tadi pun jatuh behamburan.

Ia memandang pisau yang menusuk dirinya itu. Darah mengalir keluar, menembus kaos yang dikenakannya. Air mata membasahi pipi Diandra. Sementara sosok hitam itu tertawa misterius.

Syukurlah aku belum mati, batin Diandra saat ia berhasil mencabut pisau dari perutnya dan ia masih bisa bernapas. Perutnya terasa sangat perih sekali. Ia memandang langit. Cahaya matahari hilang total. Digantikan dengan sinar bulan berbentuk sabit yang menggantung indah di langit.

"Berani-beraninya kau menusuk perutku!" Diandra berdiri dan menodong pisau berdarah itu ke arah sosok hitam di hadapannya.

Sosok hitam itu hanya tertawa misterius. "Apa kau akan menusukku juga?" sosok itu bertanya merendahkan. Suaranya menggema di langit-langit membuat Diandra merinding ketakutan.

Diandra mengepalkan kedua tangannya, menggeram kesal. "Aku akan membunuhmu kalau kau tidak pergi dari hadapanku sekarang juga."

Sosok misterius itu hanya tertawa misterius yang terdengar merendahkan di telinga Diandra. Diandra sangat kesal mendengar tawa itu.

"Lihat ke belakang gadis kecil," ucap sosok hitam misterius itu.

Refleks, Diandra membalikan tubuhnya 180 derajat untuk melihat apa yang dimaksud sosok hitam itu. Namun, ia tidak menemukan apa pun di sana.

Dengan cepat, sosok hitam itu menggambil pisau dari genggaman Diandra dan segera membelek leher Diandra.

Diandra pun tewas terbunuh di tengah hutan.

--------------------------------------------------------------------------------------------

an:

Gimana prolog nya? Seru gak?

Jangan lupa comment & vote ya.

versi lama: 16 Juli 2014
revisi: 25 Maret 2017

KLUB HORRORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang