"Tiff, sampe kapan lo mau ngacangin gue?" Sheila menggoyang-goyangkan lengan Tiffany. Sudah kesekian kalinya Sheila bertanya pada gadis di sampingnya itu, tapi, tak ada satu pun jawaban yang dikeluarkan dari mulutnya.
Tiffany bergeming, sibuk dengan pikirannya sendiri.
Beberapa murid di kelas 12-B bertanya pada Sheila 'Tiffany kenapa?'. Namun, Sheila hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban. Bukan dalam maksud 'Nggak tau' atau 'Nggak apa-apa', tapi dalam artian 'Nggak, bukan urusan lo'.
"Tiff, gue tau apa yang lo rasain. Gue sahabat lo. Gue--" belum sempat Sheila menyelesaikan kalimatnya, Tiffany sudah memotongnya duluan, "Kalo lo sahabat gue, harusnya lo ngerti kalo gue lagi nggak mau diganggu."
"Tapi lo belom jawab satu pun pertanyaan gue," bantah Sheila.
Tiffany memandang wajah sahabatnya yang sedang menatapnya lekat-lekat.
"Lo masih suka kan sama dia?" tanya Sheila to the point.
"Iya. Gue masih suka sama dia. Masih sayang. Masih cinta malahan. Puas lo?" Tiffany memukul meja dengan keras dan hendak bangkit dari kursinya, tapi, tangan Tiffany ditahan oleh Sheila. Tiffany pun kembali duduk.
"Gue sahabat lo. Gue tau lo bukan lagi nggak mau diganggu. Tapi lo lagi butuh seseorang buat cerita," ujar Sheila pelan.
Tiffany menarik napas lalu menghembuskannya. Berulang kali sampai ia merasa cukup. "Lo bener, Sheil," katanya sambil tersenyun ke arah sahabatnya.
Setelah melihat kondisi Tiffany lebih tenang, Sheila pun bertanya dengan hati-hati. "Lo nggak suka ngeliat Edward jadian sama Felia?"
Tiffany tertawa hambar. "Kenapa lo masih nanya kalo lo udah tau jawabannya?"
"Gue kira setelah pacaran sama Matt lo bisa move on," kata Sheila.
"Gue kira juga gitu." Tiffany mengalihkan pandangan ke luar jendela kelas. "Tapi, ternyata susah. Lo kan tau kalo Edward itu first love gue."
"Iya gue tau, Tiff." Sheila mengangguk paham. "Tapi, mau gimana pun caranya lo harus move on."
"Kalo gue nggak bisa?" Tiffany bertanya.
"Bukan masalah bisa atau nggak bisanya. Tapi lo harus. Harus!"
"Gue tau gue udah punya Matt. Dan Edward udah punya Felia." Tiffany mengangguk paham. "Gue bakal coba move on."
Sheila tersenyum.
"Eh, Sheil."
Sheila mengangkat sebelah alis. "Hm?"
"Gue ngerasa kayak Felia benci sama gue, entah kenapa." Tiffany mengeluarkan kata-kata itu dengan ringan tanpa melihat ke arah Sheila seakan-akan kata-kata itu hanya bagaikan bisikan angin.
Sheila diam. Bingung ingin merespon apa. Ia juga heran mengapa sahabatnya berkata seperti itu.
Suara rusuhnya kelas seakan lenyap di antara Tiffany dan Sheila. Keduanya terasa sepi. Hening. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
Karena merasa canggung, akhirnya Tiffany mengalihkan topik.
"Eh, Sheil, ada rekomen film horor bagus nggak? Buat inspirasi naskah drama gue."
*****
Sorry, aku nggak bisa pulang bareng kamu. Aku ada urusan penting, harus buru-buru.
Begitu lah isi pesan dari Matthew. Tiffany menatap ponselnya dengan tatapan kecewa.
Masa harus jalan kaki sih? Mana hari ini cuacanya lagi panas, keluh Tiffany dalam hati.
Iya aku jalan kaki aja nggak papa kok.
KAMU SEDANG MEMBACA
KLUB HORROR
HorrorBerawal dari Diandra yang ingin membuat short movie yang merupakan projek akhir taun anggota ekskul drama. Dibantu oleh teman-teman kakaknya, Edward, yang bergabung dalam Klub Horror, mereka pun membuat sebuah short movie di tengah hutan sekalian be...