Tubuh Tiffany mencium lantai dengan keras. Tapi anehnya, ketika Sheila mendorong tubuh mungil Tiffany, gadis yang didorong itu tidak merasakan sakit. Tiffany pun berdiri kembali. Sebenarnya, ia tidak mengerti apa yang terjadi. Ia tidak bisa mengendalikan tubuhnya. Rasanya seperti tubuhnya bergerak sendiri tanpa dikendalikan olehnya.
Tiffany berjalan mendekat ke arah Felia. Diarahkan kedua tangannya ke depan seperti ingin mencekik seseorang. Tiffany ingin menghindar, ia ingin mengentikan tubuhnya yang bergerak sendiri. Namun, ia tak bisa. Semakin ia mencoba menolak semakin tubuhnya keras dan kaku.
"Apa yang udah lo lakuin, Tiff?!" bentak Sheila.
Raut wajahnya memancarkan kemarahan. Pertama kalinya, Sheila membentak sahabatnya, Tiffany.
Rasanya, Tiffany ingin menjelaskan semuanya. Ingin berlari memeluk Sheila dan menceritakan kepada sahabatnya itu bahwa bukan dirinya yang melakukan. Yang telah membunuh sahabatnya sendiri dengan sadis. Menggantung dan menusuk perut orang yang tak bersalah.
Kepala Tiffany tiba-tiba merasa pusing saat mendengar sirene polisi yang terdengar keras dan menusuk di indra pendengaran Tiffany. Dengan itu, tubuhnya ambruk ke lantai. Ia mengeluh sakit ketika kepalanya membentur lantai. Dirinya lemas, tak bisa bergerak.
Telinganya bisa mendengar langkah kaki terburu-buru mendekat. Dengan penglihatan yang sayup-sayup, ia dapat melihat beberapa polisi di ambang pintu. Ia juga melihat pacarnya di sana.
Tiffany ingin menghampiri Matthew, tapi tubuhnya sama sekali tak bisa ia gerakan. Ia merasa sangat tak berdaya hanya untuk membalikan telapak tangannya.
Polisi-polisi itu mendekat ke arah Tiffany. Mereka menggelengkan kepala dan mengucapkan beberapa kata yang akan mengubah hidup seorang Azlea Tiffany.
"Nak Tiffany, kau benar-benar sudah gila. Kali ini, kami tahu di mana tempat yang cocok untukmu."
*****
Tiffany membuka matanya perlahan. Dengan mata yang masih terbuka sedikit dan pikiran yang belum terlalu sadar, ia menatap ke sekelilingnya. Ia berada di sebuah ruangan persegi dominan warna putih. Namun, dinding dan lantainya tidak seputih susu, melainkan lebih terlihat seperti warna krem. Sebagian dindingnya pun mulai berkelupas.
Tiffany menegakkan badannya, ia melihat ke kasur di sampingnya. Masih sama, tidak ada yang menempati.
"Huft," Tiffany menghela napas berat.
Hari ketujuh ia berada di sini. Tempat yang tidak pernah ia ekspetasikan untuk tinggal di dalamnya. Bukan, ini bukan penjara. Melainkan rumah sakit. Tentunya bukan rumah sakit biasa, tapi rumah sakit jiwa. Yaitu, tempat tinggal orang-orang yang memiliki gangguan jiwa, bukan orang normal seperti Tiffany. Tiffany juga heran mengapa dirinya bisa berada di sini.
Ah, apa Tiffany terlihat seperti orang yang memiliki gangguan jiwa? Atau Tiffany memang memiliki gangguan jiwa?
Tiffany beranjak dari tempat tidurnya. Dengan kaki telanjang, ia berjalan menuju sebuah cermin di dekat pintu. Ditataplah wajahnya di hadapan cermin tersebut. Ia menangkup kedua pipinya menggunakan kedua telapak tangannya.
Namun, lama kelamaan ia merasa ada yang aneh dengan wajahnya. Dalam cermin itu, pipinya terlihat mengalirkan sesuatu berwarna merah. Dijauhkanlah kedua telapak tangannya yang ternyata penuh dengan cairan merah kental sepertu darah.
Tak percaya, ia pun menatap ke kedua telapak tangannya. Ia kira, itu hanya halusinasi di cermin, tapi nyatanya telapak tangannya benar-benar berwarna merah. Ia hampir saja menjerit saat darah yang berasal dari telapak tangannya semakin melebar.
Dan ia pun benar-benar menjerit ketika melihat Diandra dan Edward di pantulan cermin. Adik-kakak tersebut berdiri di sisi kanan dan kiri Tiffany.
Tiffany menoleh. Tidak ada siapa-siapa di sana. Lalu ia kembali menatap cermin, bayangan Diandra dan Edward tetap ada. Tapi kali ini, mereka mengacungkan sebuah pisau. Pisau tajam di tangan Diandra dan pisau pizza di tangan Edward.
KAMU SEDANG MEMBACA
KLUB HORROR
HorrorBerawal dari Diandra yang ingin membuat short movie yang merupakan projek akhir taun anggota ekskul drama. Dibantu oleh teman-teman kakaknya, Edward, yang bergabung dalam Klub Horror, mereka pun membuat sebuah short movie di tengah hutan sekalian be...