"Gimana, bagus nggak ceritanya?" tanya Matthew kesekian kalinya.
Tiffany hanya diam menatap selembar kertas di hadapannya yang berisi cerita pendek untuk skenario short movie.
"Bagus nggak?" Matthew masih mengulang pertanyaan yang sama. "Kalo kurang bagus, bilang kurang apanya. Mungkin terlalu cepat jalan ceritanya? Atau terlalu klise?"
"Terlalu sadis," jawab Tiffany, lebih terdengar seperti gumaman.
Matthew mengerutkan alisnya. "Terlalu sadis? Ini hanya sepuluh persen tingkat kesadisannya dibanding cerita-cerita horor yang pernah aku baca, Tiff."
Tiffany melempar kertas tersebut ke sembarang arah. "Tau ah."
"Lah kok marah?" Matthew menatap pacarnya bingung.
"Bukan marah, tapi... Argh!" Tiffany menjambak rambutnya frustasi. "Aku masih trauma sama tragedi Diandra waktu itu."
"Ya ampun, Tiff. Ini gak ada hubungannya sama sekali sama kejadian itu."
"Jelas ada, Matt! Cerita yang dijadiin short movie itu pemeran utamanya Diandra dan kejadian yang menimpa Diandra itu bener-bener sama persis."
"Itu cuma kebetulan aja, Tiff."
"Oh, Matt! Gak ada kebetulan yang bisa sama persis gitu. Apalagi kali ini yang bakal jadi pemeran utamanya Edward." Tiffany menundukan kepalanya sebelum melanjutkan perkataannya, "Aku takut Edward kenapa-napa."
Matthew mendekat ke arah Tiffany, ditatapnya perempuan itu lamat-lamat. Tiffany mendongakan kepala. Sebelah alis Matthew terangkat. Menyadari perubahan wajah pacarnya, Tiffany segera menjelaskan agar tidak terjadi salah paham.
"Buk-- bukan begitu, Matt. Tapi, Edward itu sahabat kita kan? Maksud aku, aku nggak mau ada korban berikutnya setelah Diandra."
Matthew mengangguk. "Yeah, i know, tapi mau gimana lagi? Kata Michael hari ini harus udah selesai kan ceritanya?"
Tiffany diam saja tidak membalas ucapan Matthew.
"Kamu minta aku buat bikinin cerita. Aku udah bikinin cerita ini buat kamu susah payah. I have done my best. Jadi terserah kamu, kalo kamu suka ya pake aja ceritanya. Kalo nggak suka, bikin aja sendiri." Matthew menutup laptopnya dan membereskan beberapa kertas yang berserakan.
"Ih nggak gitu, Matt. Cerita kamu bagus banget dan aku suka. Makasih ya," ucap Tiffany.
"So? Kamu mau pake cerita itu?"
Tiffany mengangguk. "Yup."
"Nice!" Matthew mengacungkan jempol ke arah Tiffany. "Beres-beres sana. Aku anter kamu sampe rumah, abis itu aku jemput Mama aku. Nanti kamu berangkat duluan aja ke rumah Edward. Sekalian diskusi dulu sama dia, dia setuju nggak kalo ceritanya begitu."
Tiffany mengangguk-angguk mengiyakan perkataan Matthew. Lalu, Tiffany pun diantar oleh Matthew pulang ke rumahnya. Setelah turun dari mobil Matthew, Tiffany melambaikan tangan ke arah Matthew. Lalu mobil yang dikendarai Matthew pun menghilang dari pandangan Tiffany ketika belok di tikungan.
Tiffany membuka kunci rumahnya, lalu menutup pintu rumahnya kembali dan segera menuju kamar. Hal yang pertama ia jumpai adalah kasurnya. Ia segera merebahkan dirinya di kasur. Melamun sebentar hingga beberapa notifikasi muncul di ponselnya. Ternyata grup Line-nya berbunyi, grup Klub Horror.
Edward: Ngumpul di rumah gue jam 7 malem ya, guys. Tenang, makanan tersedia. Kulkas penuh.
Seth: YES! Ada yoghurt stroberi gak?
KAMU SEDANG MEMBACA
KLUB HORROR
HorrorBerawal dari Diandra yang ingin membuat short movie yang merupakan projek akhir taun anggota ekskul drama. Dibantu oleh teman-teman kakaknya, Edward, yang bergabung dalam Klub Horror, mereka pun membuat sebuah short movie di tengah hutan sekalian be...