Di kantor polisi, Tiffany sudah seperti pengedar narkoba yang sedang diwawancarai. Beribu-ribu pertanyaan diajukan oleh beberapa polisi yang sebelumnya heran mengapa teman rekan kerjanya membawa seorang anak dibawah umur dan dijadikan tersangka. Untungnya, Tiffany bisa menjawab semua pertanyaan dengan nada seserius mungkin yang meyakinkan agar tidak dicurigai. Padahal dalam hati ia sangat deg-degan setengah mampus.
Bisa bayangkan jika kalian berada di posisi Tiffany? Ditanya-tanyai, dituduh menjadi tersangka, pasti sangat nervous kan? Nah, itulah yang Tiffany rasakan.
Polisi segera menelepon kedua orangtua Tiffany dan kedua orangtua Tiffany pun segera datang ke kantor polisi. Wajah mereka terlihat cemas, tapi, mereka pasti yakin sekali kalau anak semata wayangnya tidak mungkin melakukan hal sekejam itu.
Setelah Tiffany keluar dari ruang wawancara, giliran kedua orangtuanya yang diwawancara sedangkan Tiffany menemui Matthew yang tengah duduk di sofa ruang tunggu. Matthew duduk membungkuk dengan tangan yang menutupi wajahnya. Tiffany tersenyum kecil melihatnya. Ia benar-benar bersyukur punya pacar seperti Matthew. Laki-laki itu rela menunggu dan menemani Tiffany semalaman walaupun Tiffany tahu ia sangatlah lelah dan butuh tidur. Tiffany tahu itu dari beberapa gelas plastik bekas kopi di meja kaca kecil di samping sofa. Pastilah itu bekas Matthew karena tak ada seorang pun di sana selain Matthew dan petugas kepolisian yang sedang berjaga di dekat pintu.
Satu jam lima belas menit berlalu. Setelah berbincang-bincang dengan polisi, kedua orangtua Tiffany menemui putrinya di ruang tunggu yang ternyata tertidur di bahu pacarnya.
Denise menepuk pelan-pelan bahu Tiffany, berniat membangunkan anak gadisnya. Ternyata bukan hanya Tiffany yang terbangun, Matthew pun ikut terbangun.
Setelah kedua orangtua Tiffany berkata, "Nggak usah khawatir, semua baik-baik aja, sayang. Papa harus balik lagi ke Chicago, sedangkan Mama temenin kamu di sini. Tapi, Mama pergi ke supermarket dulu beli bahan makanan. Kamu duluan pulang aja sama Matthew, Mama tau kamu capek," pada Tiffany, mereka langsung bergegas meninggalkan kantor polisi.
Maka dari itu, Tiffany langsung pulang ke rumahnya diantar oleh Matthew.
"Nggak usah dipikirin. Nanti kamu stress. Mending kamu istirahat aja, gih," ujar Matthew setelah ia menginjak rem tepat di depan rumahku.
Tiffany tersenyum. Sudah kesekian kalinya ia merasa beruntung memiliki pacar yang perhatian seperti Matthew.
"Kamu mau masuk dulu apa langsung pulang?" tanya Tiffany seraya membuka pintu mobil.
"Langsung pulang aja. Aku tau kamu butuh waktu sendirian untuk istirahat."
Tiffany menghela napas. "Tapi aku bener-bener ngerasa ber--"
Ucapan Tiffany terhenti ketika Matthew menempelkan jari telunjuknya ke bibir Tiffany.
"Ssttt... Don't say that. Kamu nggak salah apa-apa, Tiff. Mending kamu buruan istirahat deh." Matthew mengelus pipi Tiffany lembut.
"Yaudah, aku masuk ya. Makasih, Matt. Hati-hati di jalan," ujar Tiffany sebelum ia angkat kaki dari mobil Matthew.
Tiffany melambaikan tangannya ke arah mobil Matthew yang semakin menjauh. Ketika mobil Matthew belok di tikungan, Tiffany segera masuk ke rumah
Gadis berambut pirang panjang itu berjalan sempoyongan menuju kamarnya. Pikirannya pun kacau. Timbul pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya belum ia ketahui.
KAMU SEDANG MEMBACA
KLUB HORROR
HorrorBerawal dari Diandra yang ingin membuat short movie yang merupakan projek akhir taun anggota ekskul drama. Dibantu oleh teman-teman kakaknya, Edward, yang bergabung dalam Klub Horror, mereka pun membuat sebuah short movie di tengah hutan sekalian be...