CHAPTER 15
Tunggu, Apa yang Baru Kukirim?Aku mendesah lelah, memasukan kata sandi flat sebelum berjalan gontai ke dalam.
Dari skala satu sampai sepuluh, level hari burukku berada di angka tujuh. Sedikit bias karena aku sudah menghabiskan dua roti lapis dan menenteng kalguksu yang dibungkus. Lagi pula kenapa hari buruk harus bertahan lama-lama kalau kau punya kucing paling manis dan lucu yang senantiasa menunggumu pulang ke rumah?
Bicara tentang Marco, aku cepat-cepat menggerakan kaki menggeledah seisi rumah untuk menemukan anak buluku. Tapi begitu kusisir tiap sisi flat dan tidak kunjung menemukan kucing abu bermata bulat sempurna itu, aku lantas mengambil sekotak makanan kucing lalu menggoyang-goyangkannya menimbulkan bunyi gemersak yang cukup nyaring.
Tidak lama kemudian suara berisik datang dari arah tangga. Aku tergelak melihat buntalan abu itu berlari menghampiri lantas duduk manis di sebelah tempat makannya.
"Sayangku lapar, ya?"
Aku mengusap kepala serta menggelitik lehernya sejenak sebelum menuangkan makanan kering dalam kotak ke tempat makannya.
"Maaf ya, Marco. Aku harus punya gelar PhD dulu kalau mau melawan perintah Profesor Oh."
Aku tertawa lagi karena Marco sudah ribut menenggelamkan kepalanya pada ceruk tempat makan padahal aku belum selesai menuangkan sepenuhnya.
Setelah memberi satu usapan, aku beranjak menuju meja di depan sofa, menaruh satu kantung plastik kalguksu yang aku beli untuk makan malam. Pandanganku menanjak pada gorden besar yang sudah tidak diselipi berkas-berkas sinar lagi.
Perkiraanku untuk pulang lebih cepat, mencoba resep makanan yang kutemukan baru-baru ini di internet untuk makan malam, dan menyiapkan presentasi yang akan datang, semuanya berantakan.
Selepas menandaskan paket terakhir di sore hari, tepat ketika senyumku mengembang membayangkan kasur yang nyaman, profesor Oh meneleponku untuk segera ke ruangannya.
Tentu saja aku langsung bergegas pergi kembali ke Dakjeong setelah sebelumnya harus mengembalikan motor ke Itaerun dulu. Tidak mencoba basa-basi apapun. Langsung membalas baik, prof. Saya segera ke sana saat itu juga meski nyaris saja mengumpat di depan ponsel sebelumnya kalau bayangan mengerikan perihal akibat yang harus kuhadapi tidak mendadak menggelayut di pikiran.
Aku menyembur napas lelah. Melihat sofa setelah hari yang panjang sama halnya seperti melihat oasis di tengah gurun. Begitu menggoda. Namun aku berusaha mengurungkan niat untuk segera membanting tubuh ke dalam bantalan empuk tersebut, takut-takut jika terpejam sebentar saja akan tertidur dan malah bangun dengan sakit punggung.
“Yah, sebaiknya aku langsung mandi saja—”
Badanku mendadak membeku. Jantungku serasa dihantam kuat-kuat merasakan nyeri perlahan yang merayap di setiap inci bahu.
Tidak tidak. Sial. Jangan lagi.
Mataku terpejam erat, erangan pelan meluncur begitu saja. Sial. Sial sekali. Eskalasi nyeri mendadak menjadi begitu luar biasa dalam kejapan mata. Seakan ada sosok yang merobek-robek ototku dari dalam. Beringas. Tanpa ampun.
Ini jelas lebih buruk dari hari buruk.
Aku mencoba mengendalikan napas yang ritmenya sudah tak keruan. Membuka mata perlahan. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada aku cepat-cepat menanggalkan seluruh pakaian di ruang tengah, membawa tubuh ke dalam bak mandi.
Aku bersandar di ujung bak mandi, bergidik kala air dingin mulai mengalir menuju kaki, paha, perut, hingga seluruh badan. Meski demikian, meski gigil yang kian gencar melingkupi tubuh, itu masih tidak cukup. Masih tidak cukup untuk menutupi rasa sakit yang mendera seperti serabut otot yang tengah dibakar.
KAMU SEDANG MEMBACA
beauty and the bear | p. jimin
Fanfiction[ REMAKE | PJM fanfiction | heavy comedy ] Satu penyesalanku adalah: pernah menolak seorang Park Jimin 'Si Beruang Kelas Dua' yang sekarang bertransformasi menjadi idola terkenal. Tampan, mapan, dan segalanya. Jadi, waktu Areum-sahabatku yang ter...