CHAPTER 11
Aku Pasti Sudah GilaPandanganku meluas pada seluruh penjuru restoran dengan gaya minimalis yang lumrah akan warna-warna segar. Dinding berpola bata yang ditempeli siluet pemandangan jembatan entah jembatan di mana, aku tidak tau. Kursi besi berwarna putih atau lemon yang nyaris semuanya terisi manusia-manusia yang ingin mengisi perutnya; ada yang makan dengan anggun seolah dia memang tengah syuting untuk iklan restoran ini; ada yang makan begitu lahap seakan terakhir kali dia makan saat usianya masih belia.
Aku biasanya menikmati potret ramai seperti dengan baik. Kalau sedikit lebih observasif dan banyak waktu senggang, bisa saja aku menebak umur semua pelanggan. Tapi sekarang tidak. Atensiku hanya separuh tersisa di depan sana, separuhnya lagi berkelana memikirkan sesuatu.
Sesuatu tentang apa Jimin sekarang bekerja sebagai artis atau bukan. Pasalnya nyaris dua minggu terakhir ini kami sering bertukar pesan dan sepertinya dia terlihat memiliki waktu luang lebih dari apa yang aku perkirakan.
Atau memang selebriti tidak sesibuk itu, ya?
Acara hei-kau-sedang-apa lalu mendadak obrolan kami menyentuh apapun yang muncul di pikiran masing-masing sebenarnya tidak begitu intens. Kami hanya mengobrol sekitar lima sampai lima belas menit sehari, paling lama setengah jam mungkin. Aku juga tidak begitu yakin. Malah berkali-kali aku lupa membalas pesannya karena ketiduran dan Jimin juga begitu.
Tidak intens tapi rasanya pas. Sesuai porsinya. Tidak lebih tapi cukup untuk membuatku merasa lebih dekat, menggerus sekat canggung antara kami dan mulai melupakan kalau aku pernah menolaknya.
Nah kan sial aku jadi ingat lagi.
Rasa ragu yang hinggap di benakku langsung hilang begitu melihat potongan scene acara variety show yang menampilkan Jimin dan Jin (kalau aku tidak salah ingat) di televisi yang terletak di ujung restoran. Televisi yang sama yang dulu membuat jantungku nyaris loncat dari cangkangnya.
Aku tanpa sadar tersenyum tipis.
Deru napas dan hawa keberadaan di sampingku tidak membuatku mengalihkan pandangan.
"Dia tampan sekali, bukan?" tanya sosok yang seratus persen aku yakin itu Jinri dari suaranya yang cempreng.
Aku mengangguk, masih memandangi sosok Jimin di layar.
"Dia juga berbakat, berkarisma, dan lihat garis rahangnya. Sepertinya tanganku akan terluka kalau menyentuhnya."
"Hm." Aku beranggut, tersenyum miring. "Dia sangat berbakat."
Jimin memang punya bakat menari luar biasa dari SMP. Garis rahangnya juga sekarang terlihat begitu jelas apa lagi kalau dibanding dulu.
Jinri menghela napas. "Dia punya tipe wajah handsome-problem-solving. Ketika kau melihatnya masalah-masalah hidupmu seperti selesai. Beruntung sekali ya yang dapat dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
beauty and the bear | p. jimin
Fanfic[ REMAKE | PJM fanfiction | heavy comedy ] Satu penyesalanku adalah: pernah menolak seorang Park Jimin 'Si Beruang Kelas Dua' yang sekarang bertransformasi menjadi idola terkenal. Tampan, mapan, dan segalanya. Jadi, waktu Areum-sahabatku yang ter...