.001 - Aku Lebih Suka Menyebutnya Kebetulan Daripada Takdir

779 118 102
                                    

Tidak ada yang lebih mengesalkan dari memulai harimu dengan kesialan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak ada yang lebih mengesalkan dari memulai harimu dengan kesialan.

Pertama, sebenarnya ini sudah menjadi rutinitasku, sih. Aku yang entah kenapa punya gen ceroboh begitu banyak di dalam tubuh selalu terpeleset terlebih dahulu sebelum meraih ponsel untuk mematikan lagu American Idiot-nya Green Day yang kugunakan sebagai dering alarm. Lagu yang menghentak memang sempurna untuk membangunkanmu.

Kedua, sewaktu aku sudah berjuang mengambil barang tersebut, aku dikejutkan dengan digit jam yang tertera. Singkatnya, aku telat. Panjangnya, aku cuma punya waktu sekitar 17 menit untuk bersiap dan sampai di restoran sialan ini. Itu jelas tidak bagus, karena ketika aku sedang buru-buru, persentase kepelesetku jadi meningkat dua kali lebih tinggi.

Dan benar saja ketika keluar dari flat, aku untuk jutaan kali tidak sengaja tersungkur dan menginjak ekor anjing Labrador yang entah datang darimana—aku tidak tau dan sebenarnya tidak mau tau juga. Gonggongannya sangat keras sampai tetanggaku membuka pintu flat-nya, kemudian misah-misuh yang kira-kira bunyinya, "Hei, berengsek, ada apa denganmu pagi-pagi? Alisku jadi miring!"

Tapi aku terlalu dikejar waktu untuk memberinya respons yang baik. Jadi berbekal minta maaf samar-samar, aku lari seperti orang kesetanan. Aku tau aku memang punya firasat tidak bakal berteman baik dengan tetangga baru itu, ya ampun. Lagipula yang benar saja, gara-gara alis?

Oh iya, aku sampai lupa, aku Kang Soonja, 23 tahun, banyak mengambil pekerjaan sampingan dan mahasiswa semester agak akhir dan aku sangat apresiasi jika kalian tidak bertanya kenapa bisa begitu karena aku sudah mengulang kalimat yang sama sekitar ... ratusan kali, mungkin?

Kini aku tengah mencatat pesanan pelanggan dengan senyum cerah meskipun rasanya aku ingin memutar mataku sampai surga. Pasalnya pelanggan di depanku sekarang bisa-bisanya butuh waktu sekitar lima belas menit lebih hanya untuk memutuskan memilih ayam goreng dengan scramble egg atau ayam goreng dengan rasa pedas.

Aku yakin kalau dia disuruh untuk memilih sepatu yang diskon lima puluh persen atau beli satu gratis dua, es di kutub antartika sudah meleleh semua.

"Ya sudah, aku pesan yang ayam goreng pedas saja," ucap pelanggan tersebut akhirnya, yang omong-omong seorang wanita.

Aku menghela napas pendek kemudian mengulang kembali daftar pesanan. "Ayam goreng pedas bagian paha bawah tapi jangan terlalu pedas, nasi, dan segelas soda tanpa es. Ada tambahan?" tanyaku setelah mengabsen catatan kecil di hadapanku, tersenyum tipis.

Apa ini? Ayam goreng pedas dan segelas soda di pagi hari? Lambungnya terbuat dari logam mulia?

"Tidak ada. Itu saja," balas wanita itu, tersenyum ramah. Aku jadi sedikit menyesal mengumpat dalam hati.

Aku menunduk sopan, sebelum kembali ke konter untuk menyerahkan daftar pesanan.

"Tidak, biar aku saja. Kau gantikan aku mengawasi pelanggan." Itu Shin Jinri—teman sejawatku yang kini menggenggam tanganku untuk menghentikan aktivitas menuangkan satu gelas soda. Setengah karena dia memang punya hati malaikat, setengah lagi barangkali karena dia tau aku punya sindrom tersungkur tanpa sebab.

beauty and the bear | p. jiminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang