CHAPTER 13
Itaerun! Run! Run! Run!Don't wanna be an American idiot
Don't want a nation under the new mania.Aku mengerang, merasakan kesadaran terlalu datang tiba-tiba. Tanganku mengibas-ngibas udara, meraba bagian samping kasur sebelum menemukan sensasi dingin logam.
Kelopak mataku terbuka sedikit hanya untuk melihat jemariku sendiri menggeser ikon ke kanan, musik mati, lalu melirik ke arah jam.
"Masih jam delapan kurang," gumamku pada bantal di depan wajah.
Sisa-sisa kesadaranku malah menjemput kembali ingatan semalam.
Sehabis pening dengan tugas esai yang hanya tercipta dua baris setelah nyaris dua jam berlalu dan hal-hal lainnya yang terlalu panjang jika aku jelaskan, aku dan Jimin melakukan video call tengah malam yang kebanyakan diisi dengan bagaimana kami menghabiskan hari dan seribu satu ceritaku—yang padahal kalau aku ceritakan pada orang lain, rata-rata mereka jawab itu cukup aneh namun Jimin meresponsnya seolah itu adalah kisah yang tidak boleh sampai dilewatkan—mendiskusikan apapun dari kata yang tidak sengaja kami ucapkan lalu berujung panjang lebar sampai hal terakhir yang aku ingat sebelum aku tewas oleh kantuk adalah, kalimat Jimin tentang Namjoon kehilangan paspornya. Untuk kedua kalinya, kalau tidak salah.
Mengingat-ingat kepingan manis itu tanpa sadar membuatku tersenyum, semakin merengkuh bantal dan membenamkan kepala.
Masih betahnya kedua kelopak mataku merekat membuatku berencana untuk tidur lagi. Lagi pula kelas Profesor Dojoon masih terhitung-
Tunggu. Tunggu dulu.
Hari apa sekarang?
Kali ini dengan tiga perempat kesadaran aku secepat kilat meraih ponselku kembali, memeriksa hari yang sebaris dengan keterangan jam.
"SABTU?!"
Kemudian aku bangun seperti meerkat.
"Sial sial sial! Aku harus ke Itaerun!"
Aku segera melesat ke kamar mandi—oh sial (lagi) kenapa aku harus memilih flat yang kamar mandinya berbeda lantai!—menyikat gigi, keluar, lalu masuk lagi karena ada panggilan alam.
Tanganku asal mengambil jins dan kemeja flanel. Sepersekian detik kemudian mataku bergeser pada ponsel yang menyala di atas kasur. Aku mengambilnya dengan setengah telanjang selagi memakai cepat kaus putih lalu menyelipkan ponsel di antara kuping dan pundak sembari kedua tanganku mengepas kemeja yang aku gunakan sebagai luaran.
"Yoboseyo, Yeji unnie, maaf aku ketiduran, semalam aku harus menyelesaikan esai," seruku terburu-buru, menjelaskan setengah kebenaran.
Aku tentu tidak perlu mengatakan keseluruhannya kalau alasan aku terlelap seperti orang mati karena nyaris begadang video call dengan Jimin.
"Sepertinya aku tidak akan heran lagi sekarang." Kekehan lembut keibuan terdengar di seberang sana. "Soonja, hari ini kita overload, banyak paket yang harus dikirim. Jadi tolong cepat kemari ya. Aku tidak tau harus berbohong apalagi kalau kau tidak ada di sini dalam lima belas menit."
Tenang. Aku pernah punya waktu empat belas menit dan bisa menyelesaikannya dengan baik walau setelah aku periksa ternyata tampangku seperti habis pulang dari Perang Dunia.
"Siap kapten!"
"Dan juga kau tidak perlu repot-repot sarapan. Aku sudah membawa kue dadar dari rumah."
Selepas membalut badan dengan kaus, kini ponselku kugenggam. "Terima kasih sekali, unnie. Jangan terlalu baik padaku. Aku tutup dulu, ya. Dah."
KAMU SEDANG MEMBACA
beauty and the bear | p. jimin
Fiksi Penggemar[ REMAKE | PJM fanfiction | heavy comedy ] Satu penyesalanku adalah: pernah menolak seorang Park Jimin 'Si Beruang Kelas Dua' yang sekarang bertransformasi menjadi idola terkenal. Tampan, mapan, dan segalanya. Jadi, waktu Areum-sahabatku yang ter...