"Tolong diatur lighting yang ada di sebelah kiri!" perintah fotografer itu.
Para kru bagian pencahayaan segera membetulkan posisi pencahayaan yang terasa kurang maksimal.
"Good!"
Sang fotografer segera melakukan aksinya, ia berpindah dari satu posisi ke posisi yang lainnya untuk mendapatkan posisi dan hasil terbaiknya. Sedangkan sang obyek foto, Giarvin, berpose dengan gaya yang berbeda-beda. Ia tampak menampilkan jam yang ia pakai, karena tujuan dari pemotretan ini adalah untuk promosi merek jam yang ia pakai tersebut.
"Great ! Mari istirahat dulu!" suruh sang fotografer.
Giarvin berjalan menuju kru yang mengurus konsumsi selama pemotretan berlangsung.
"Nona, Aku ingin minum... haus sekali." pinta Giarvin dengan wajah yang terlihat kelelahan.
Anggota kru bagian konsumsi itu segera memberikan segelas air putih segar pada Giarvin untuk menghilangkan rasa dahaganya.
"Thank you !" ucap Giarvin seraya mengedipkan sebelah matanya kepada wanita itu.
Lalu seperti apakah respon wanita itu? Tentu saja ia tersipu malu. Seorang Giarvin Qiang, sang supermodel yang sangat terkenal tiba-tiba mengedipkan mata padanya, tentu saja rasanya sudah seperti melayang ke awang-awang. Namun sikap seperti itu dianggap biasa oleh Giarvin, ia merasa kalau seorang wanita harus mendapat perhatian lebih agar merasa lebih dihargai. Terlebih, Giarvin sendiri sudah lama menetap di London saat dirinya masih sekolah dulu. Jadi tidak heran bila sikap dan budaya barat begitu melekat padanya.
Tiba-tiba saja, salah seorang kru memanggil Giarvin.
"Gia?! Gia!"
Giarvin segera menghampiri kru yang memanggilnya dan menanyakan ada apa gerangan memanggilnya.
"Ada apa?" tanya Giarvin.
Anggota kru itu segera menyerahkan ponsel miliknya.
"Itu, ada yang meneleponmu!" sahut anggota kru pria yang bertugas menjaga barang pribadi milik Giarvin.
Giarvin segera melihat siapakah yang meneleponnya. Ternyata orang itu adalah Neneknya sendiri.
"Loh?! Jarang sekali Granny telepon... bukankah kemarin Aku baru saja mengunjunginya?" batin Giarvin yang kini bertanya-tanya.
Diangkatlah telepon yang sedari tadi berdering keras.
"Granny?"
Seraya menenggak sisa air yang ada di dalam gelas yang ia genggam Giarvin mendengar suara Neneknya di seberang sana melalui telepon.
"Gia?! Nanti sore kau datang ke yayasan ya! " perintah sang Nenek.
"Apa?! Mana bisa Gran?! Aku ada pemotretan hari ini. Sungguh sangat sibuk sekali. How about tomorrow ?" bujuk Giarvin, berharap sang Nenek menyetujuinya.
Namun apa daya, sang Nenek tetap bersikukuh, memaksanya untuk datang menemuinya.
"Tidak ada tawar menawar! Nenek tunggu sore ini! " paksa Neneknya yang lalu memutus sambungan telepon.
Giarvin hanya ternganga menatap ponselnya. Biar bagaimanapun Nenek Carina memaksa, Giarvin tidak akan pernah marah pada Neneknya, karena hanya Neneknya yang paling membelanya dan menyayanginya sejak kecil sekali. Walau begitu, gerutu kecil takkan luput dari bibir sang supermodel.
...
Hari mulai gelap, matahari perlahan tenggelam, terbitlah bulan 'tuk menggantikan tugas sang surya. Di dalam kamar, sang Nenek cemas tak karuan. Karena Cucu kesayangannya belum juga menunjukkan tanda-tanda dirinya akan hadir. Tidak ada telepon ataupun semacamnya.
"Dasar anak ini! Mau sampai kapan ia menyuruhku menunggu dengan cemas seperti ini?! Bila lebih larut lagi, bisa-bisa Mary sudah pulang?!" gerutu sang Nenek.
...
Di perjalanan, mobil yang dikendarai oleh Giarvin terjebak macet yang amat parah. Walau jarak antara dirinya dan yayasan itu sudah tidak terlalu jauh, namun kemacetan ini sungguh menghambat perjalanannya. Sehingga sedari tadi Giarvin terus menerus mengoceh sendiri di dalam mobil.
"What the ?! Kalau begini terus, mau sampai kapan baru sampai di yayasan itu?!"
...
"Nenek? Mary pulang dulu ya." Mary berpamitan pada Nenek Carina.
"Eh?! Tidak mau tunggu Gia dulu sebentar?" tanya Nenek Carina yang terlihat sedikit kecewa.
Mary menggelengkan kepalanya pelan. Sesungguhnya, Mary sangat berharap dirinya bisa bertemu dengan Giarvin sore ini, namun Giarvin sepertinya batal untuk datang ke yayasan ini. Ia juga tidak bisa menunggu lebih lama lagi, ia harus segera memasak untuk putrinya di rumah.
"Baiklah." ujar Nenek Carina dengan kecewa.
"Mari Nek, Mary bantu Nenek naik ke atas ranjang."
Mary segera masuk ke dalam kamar Nenek Carina dan memapah sang Nenek ke ranjangnya.
"Terima kasih, Mary." ucap Nenek Carina.
"Mary pulang dulu ya, Nek!" pamit Mary lagi.
Ketika Mary memutar tubuhnya, Mary bertabrakan dengan seseorang.
"Ah?!"
"!!!"
Mary segera memandang sosok yang ditabraknya itu, ternyata orang yang tak lain adalah orang yang sedari tadi diharapkannya, yaitu Giarvin.
"Gia!" seru sang Nenek yang bahagia melihat Cucunya datang.
Memandang Mary yang terperangah, Giarvin hanya membalasnya dengan senyum manis. Sontak, senyuman itu membuat Mary salah tingkah. Mary segera memberi jalan bagi Giarvin untuk melangkah masuk.
"Granny ! Ada apa? Bukankah Aku baru saja menjenguk Nenek kemarin?" Giarvin bertanya-tanya.
"Apakah salah bila Nenek ingin kau datang lebih sering?" sahut Nenek Carina.
Tunduk pada argumen Neneknya, Giarvin hanya tersenyum saja. Sedangkan Mary yang masih terperangah hanya bisa berdiri di ambang pintu tanpa melakukan apapun.
"Mary? Kenapa hanya berdiri disana? Ayo masuklah! Mari kita berbincang bersama!" ajak Nenek Carina.
Ajakan tersebut menyadarkan lamunan Mary. Ajakan itu, adalah suatu ajakkan yang sangat diharapkan oleh Mary, akan tetapi, Alex kini sedang menunggunya di rumah. Mary khawatir bila ia terlambat pulang, Alex bisa kelaparan.
"Terima kasih, Nenek. Sesungguhnya Mary sangat ingin. Akan tetapi, Mary harus pulang sekarang. Ada yang menunggu Mary di rumah." tutur Mary.
Karena selama ini Nenek Carina menyangka kalau Mary tinggal seorang diri menjadi heran, ia mulai mempertanyakannya.
"Siapa yang menunggumu nak? Apakah orang tuamu?" tanya Nenek Carina lagi.
"Oh bukan... putri Mary, Nek." Mary menjawab dengan lemah lembut.
"Apa?! Putrimu?! Kau sudah menikah, Mary?"
...
Writer : Evelyn A Chandra
KAMU SEDANG MEMBACA
One Love For 10,000 Years
RomanceSekuel dari Happiness For 10,000 Years *Happiness For 10,000 Years 2* Pernikahan yang seharusnya membawa kebahagiaan malah tidak terasa bahagia. Mary dilanda rasa bersalah dan menyadari bahwa pilihannya salah. Setelah kematian Alec, melalui sedikitn...