Chapter 4 : Someone Who Looks Like You

17 5 4
                                    

Seperti janjinya pada Nenek Carina, Mary membawakan sup yang baru saja dibelinya untuk Nenek Carina.

"Nenek, Mary membawakan sup! Nenek pasti suka! Tidak akan bosan! Mary jamin deh!"

Nenek Carina menggerakkan kursi roda tuanya agar mendekat ke arah Mary. Seperti sebelumnya, Mary kembali menyuapi Nenek dengan perlahan. Mary tidak tega membiarkannya makan seorang diri, sebab untuk memegang sendoknya tangannya sudah bergetar sehebat itu. Maka itu Mary membantunya, walau tadi Nenek Carina sempat bersikeras untuk makan seorang diri agar tidak merepotkan Mary. Sambil makan, Nenek Carina mulai bercerita tentang masa mudanya, kehidupannya di hari tuanya, juga tentang keluarganya. Nenek Carina begitu antusias membicarakan tentang keluarganya. Tentang bagaimana ia mendidik putra tunggalnya, lalu melihat putra tunggalnya tumbuh dewasa dan menikah, lalu memiliki seorang anak, yang menjadi cucu kesayangan Nenek Carina. Putranya juga hanya memiliki seorang anak, yaitu cucu yang sedari tadi dibangga-banggakan oleh Nenek Carina. Tapi memang, kalau menurut cerita Nenek Carina, sepertinya hanya cucunyalah yang masih peduli dengannya.

"Cucuku, ia adalah anak yang sangat pandai. Sedari kecil, ia sudah terus mendapat ranking di sekolahnya. Ia memang berbakat! Oh ya!... ia juga anak yang sangat-sangat rajin! Oh Aku bangga sekali punya cucu sepertinya!"

Mary tersenyum mendengar Nenek Carina bercerita dengan penuh semangat.

"Dan hanya ia juga yang paling membelaku! Bahkan ia jauh lebih menyayangiku ketimbang Ayahnya." ucap Nenek Carina seraya menggerutu.

Mary yang penasaran bertanya pada Nenek Carina...

"Cucu Nenek laki-laki atau perempuan? Berapa usianya?"

Sebab sedari tadi Nenek Carina hanya menyebut 'cucu' tanpa menyertakan hal lain agar lebih jelas.

"Oh... dia itu Anak-"

Baru saja Nenek Carina hendak menjelaskan Mary di panggil oleh pengurus lainnya.

"Nek, Mary pergi dulu ya..." Mary berpamitan.

Nenek Carina mengangguk dan melihat Mary berjalan keluar dari ruangannya.

"Aku suka gadis ini..."

...

Tak terasa, sudah hampir sebulan Mary bekerja di yayasan ini. Walau digaji dengan upah kecil dan tak ada hari libur, namun Mary tetap bekerja dengan penuh semangat.

Mary yang baru saja datang ke tempat kerjanya bergegas melaksanakan tugasnya. Ia datang terlambat hari ini, karena banyak yang harus ia kerjakan di rumah hari ini. Beberapa porsi sarapan pagi di bawa oleh Mary menggunakan kereta dorong khusus untuk mengantar makanan ke satu persatu kamar.

"Dimakan ya sarapannya, Kek!" perintah Mary seraya berjalan keluar dari kamar salah seorang Kakek.

Sungguh pagi yang sibuk di hari minggu. Keadaan yayasan sedang ramai sekali karena keluarga yang datang untuk mengunjungi orang tuanya. Semenjak bekerja di yayasan itu, Mary menjadi sangat sibuk setiap hari sabtu dan minggu. Sabtu dan minggu adalah hari dimana kebanyakan para keluarga datang untuk menjenguk. Namun beberapa diantara mereka bahkan tidak ada yang menjenguk sama sekali.

"Permisi..."

Padatnya pengunjung yang berlalu-lalang membuat Mary kesulitan untuk berjalan melewati koridor panjang itu. Berhimpitan dan berdesak-desakan harus dilalui oleh Mary.

"Hari ini akan menjadi hari yang sangat sibuk..." gerutu Mary seraya terus berusaha untuk berjalan maju.

Jauh di depan sana, di perempatan koridor, Mary yang tanpa sengaja melihat jauh ke depannya  dan mengenali sesosok pria yang sedang melihat kiri dan kanannya, tampak sedang mencari jalan. Walau tidak begitu terlihat jelas, tapi ia sangat yakin kalau ia mengenali sosok itu.

"..."

Kereta dorong seketika terhenti disana, tak bergerak, walau itu hanya seinci. Tubuh yang tadi terasa panas akibat sesaknya keadaan sekitar, kini mulai terasa dingin. Mary berdiri kaku disana, tak bergerak sedikitpun. Bahkan ia serasa hampir berhenti bernapas. Hanya air mata yang bergerak mengalir membasahi pipinya yang tirus.

"..."

Ingin sekali mengatakan sesuatu, namun bibir yang terasa kelu, tak mampu menggerakkan satu patah katapun. Hendak berlari mengejar, apa daya... kakinya tak bisa ia gerakkan, hanya bergemetar disana.

Sementara pria itu disana masih tampak kebingungan mencari arah jalan. Berdiri disana, sambil kepalanya ia tolehkan ke kanan dan ke kiri.

"Alec..."

Satu kata akhirnya terucap. Bersamaan dengan itu, tubuh Mary mulai bereaksi. Ia mulai berinisiatif untuk berlari mengejarnya. Pria itu bertanya pada seorang pengurus disana, kemudian pengurus itu menunjukkan arah padanya, setelahnya... ia pun berjalan pergi. Mary yang sudah tidak peduli lagi dengan tugasnya segera menelantarkan kereta dorong itu begitu saja. Ia berlari sekuat tenaga. Melihat pria itu berjalan pergi, perasaan Mary berkecamuk dalam dirinya.

"Jangan! Jangan pergi Alec! Jangan pergi!" Mary terisak sambil terus berlari di dalam keramaian.

Mary terus mengikutinya. Setelah cukup jauh, sosok itu mulai tertutupi oleh orang-orang yang berlalu-lalang.

"Tidak boleh! Ini tidak boleh terjadi!"

Yang ditakutkan oleh Mary akhirnya terjadi. Ia kehilangan sosok pria itu. Mary tetap berlari dan melihat ke segala arah. Akan tetapi, ia tidak dapat menemukan sosok pria itu. Walau tidak rela, ia harus menerima kenyataan kalau ia telah kembali kehilangan kesempatan.

"Tidak boleh... kenapa pergi... jangan... Kamu tidak boleh pergi..."

Sesal Mary yang menyalahkan dirinya sendiri, karena tidak mampu mengejar. Dengan berlerai air mata, ia berdiri kaku disana.

"Tahukah Kamu? Kalau Aku selama ini sangat merindukanmu? Tidak... Kamu tidak boleh pergi..."

...

Dinginnya malam telah merambah. Pulang larut malam, Mary berjalan dengan gontai menuju rumahnya. Ia membawa sejuta perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. Sesampainya di rumah, Alex menyambutnya dengan ceria.

"Yay! Mama pulang!" teriak Alex dengan gembira.

Namun, melihat Ibunya bersedih, Alex ikut murung bersama Ibunya.

"Ma? Mama kenapa?" tanyanya.

Tersadar kalau seharusnya ia tidak memperlihatkan wajah murungnya di depan putri tercintanya, ia pun menghapus air mata yang tersisa di sudut matanya.

"Tidak apa-apa. Eh? Kamu kenapa belum tidur?" jawab Mary yang kemudian mengalihkan pembicaraan.

"Alex menunggu Mama pulang." Alex menjawab dengan wajah murung.

Senyuman pahit nampak di wajah Mary.

"Sudah makan?" Mary kembali bertanya.

Alex tidak menjawab, hanya mengangguk pelan.

"Kalau begitu Mama temani tidur ya... ini sudah malam. Tidak boleh tidur larut malam. Mengerti?"

Alex mengangguk dan menurut. Mary menggiring Alex masuk ke dalam kamar dan menemaninya tidur. Dalam belaian lembut seorang Ibu, tidak sulit bagi seorang anak untuk terlelap dengan cepat. Begitu pula Alex, dalam waktu singkat ia sudah tertidur.

Seraya membelai putrinya, Mary berpikir, siapakah yang yang dilihatnya? Bukankah Alec telah tiada? Namun pria yang dilihatnya jelas-jelas adalah Alec. Bagaimana mungkin?

...

Writer : Evelyn A Chandra

One Love For 10,000 YearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang