Di malam yang sunyi dan sepi, ketika itu, jarum jam menunjukkan pukul 01:47 dini hari. Mary masih tidak dapat tertidur. Ia terduduk dan termenung di atas ranjang. Ia masih teringat-ingat pada kejadian tadi siang yang bisa dikatakan cukup membuatnya syok. Namun ia masih tidak habis pikir, mungkinkah Alec yang telah tiada kembali bangkit? Atau mungkin seseorang yang sangat mirip dengannya? Karena sangat tidak mungkin kalau itu sekedar khayalan. Tetapi, ialah orang terakhir yang menemani Alec di saat ia menghembuskan napas terakhirnya. Kejadian itu jelas-jelas nyata, tetapi Mary juga sangat yakin pada apa yang ia lihat tadi siang.
"Alec... sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa Aku melihatmu tadi? Mengapa Kamu tidak mencariku bila Kamu memang masih hidup? Ataukah ia hanya seseorang yang mirip denganmu? Mengapa bisa seperti ini? Kalaulah ia orang lain... mungkinkah semirip itu denganmu?"
Mary kembali mengingat kejadian yang baru saja terjadi siang tadi. Pria berambut coklat ikal sebahu, namun memiliki wajah yang teramat sangat mirip. Mary menoleh ke sampingnya dan melihat putrinya yang tengah terlelap. Ia memberi belaian lembut seraya menangis.
"Alec... baru kini Aku menyadari kalau bertahan hidup itu ternyata sangat sulit. Aku begitu menganggap mudah semuanya dulu... kini begitu berat kujalani. Alec... Aku minta maaf atas segala perbuatanku padamu selama ini. Aku menyesali semuanya. Andai masa-masa indah itu bisa kembali... Aku bersedia melakukan apa saja demi memperbaiki segala kesalahanku padamu. Walau waktu tidak bisa di putar ulang, setidaknya adakah sebuah kesempatan untukku?"
Ia kemudian berbaring di atas ranjang dan berusaha memejamkan matanya yang terus berlerai air mata.
...
Masih di malam yang sama, namun di tempat yang berbeda. Seorang pria baru saja pulang ke rumahnya. Dari jauh ia sudah melihat sebuah mobil yang ia kenali terparkir di depan rumahnya.
"Papa? Untuk apa ia kemari?"
Pria itu kemudian menghentikan laju mobilnya setelah tepat berada di belakang mobil itu. Ia pun melepaskan seatbelt yang terpasang, lalu turun dari mobilnya. Seorang pria paruh baya menghampirinya sesaat setelah ia turun dari mobil. Melihat kalau ternyata yang datang benar adalah Ayahnya, mimiknya perlahan berubah menjadi datar.
"Ada apa datang kemari?" tanya pria itu.
Tidak senang dengan sikap anaknya, pria paruh baya itu protes atas sikapnya.
"Sikap macam apa itu?! Itu caramu menyapa Ayahmu?! Apa Kau sudah tidak anggap Papa lagi?!"
Seolah tidak mendengar, si pemuda tampan itu menyandarkan tubuhnya pada mobil miliknya.
"Sudahlah..."
Ayahnya berusaha meredam amarahnya.
"Kedatanganku kemari... umm... Aku ingin Kau-" kata-kata itu dipotong oleh si pemuda.
"Kau ingin Aku jadi penerus perusahaanmu. Bukan begitu? I'm so sorry, but I'm not interested." pemuda itu melanjutkan kata-kata yang ia potong tadi seraya menyalakan sebatang rokok yang sedang di berada di tangannya.
Mata pria paruh baya itu terbelalak mendengarnya dan segera mengamuk.
"Anak sialan! Kau kira Aku mau mengemis seperti ini pada bocah sepertimu kalau bukan Ibumu yang memaksaku untuk memulai pembicaraan denganmu?!"
Dengan santai pemuda itu menghembuskan asap rokok dari mulutnya dan menatap ke arah langit. Merasa tidak ditanggapi oleh putranya, pria paruh baya itu mencengkram jaket kulit berwarna coklat yang di pakai si pemuda.
"Brengsek! Kau begitu kurang ajar! Aku harus memberimu pelajaran agar Kau sadar! Aku bukan seorang Ayah bila tidak bisa mendidik anaknya dengan benar!"
Tanpa berpikir panjang, pria paruh baya itu melayangkan pukulan pertamanya dan mendarat di wajah putranya. Ia tak segan melayangkan pukulan keduanya dan berniat melakukannya lagi.
"Pukullah... pukul lagi bila Kau merasa pantas memukulku." ucap pemuda itu seraya menatapnya dengan tatapan tajam.
Mendengar ucapan putranya, kepalan tangannya mengendur dan ia pun melepaskan cengkramannya. Pemuda itu kembali merapikan pakaiannya yang sedikit berantakan.
"Menurutmu... Kau pantas memukulku? Aku tidak keberatan dipukul lagi olehmu bila kau jawab pertanyaanku. Menurutmu, kau pantas memukulku?" tanyanya dengan nada rendah, namun memiliki maksud di dalam nadanya.
Pria paruh baya itu tak mampu menjawab, ia hanya menatap ke dalam mata putranya. Berusaha mengartikan maksud dari pertanyaan putranya.
"Kau bilang Aku begitu kurang ajar... masa iya kau tidak mengetahui asal mulanya mengapa Aku menjadi kurang ajar seperti ini?" tanya pemuda itu lagi, disertai tatapan sedingin es.
Pria paruh baya itu mundur beberapa langkah ke belakang dan menundukkan kepalanya.
"Biar kutanya lagi... Kau bilang Kau bukan seorang Ayah bila Kau tidak bisa mendidik dengan benar... bukankah Kau telah gagal menjadi seorang Ayah sejak lama?"
Pemuda itu berdiri tegak. Ia tersenyum sendiri.
"Kau datang ke rumahku dan-" kali ini, kata-kata pemuda itu yang di potong oleh Ayahnya.
"Rumahmu juga rumahku! Apa salahnya Aku datang kemari?!" amuk Ayahnya.
Pemuda itu kemudian tertawa, seolah ada yang lucu dari perkataan Ayahnya.
"Rumahku... juga rumahmu... kurasa kau salah. Rumah ini kubeli dengan hasil jerih payahku. Tidak sedikitpun aku meminta uangmu untuk membeli rumah ini! Dan lagi, Aku masih bisa mengingat jelas apa yang kau katakan padaku 12 tahun yang lalu. Bisa dikatakan... kata-kata itu masih terngiang dalam benakku." ujar si pemuda dengan emosi yang tertahan.
Pria paruh baya itu menatap putranya dan melihat tatapan yang di berikan putranya. Kemudian ia pergi meninggalkan tempat itu tanpa mengucapkan satu patah kata pamit. Ia pergi begitu terburu-buru dengan mengendarai mobil pribadinya. Melihat mobil Ayahnya semakin manjauh dari komplek rumahnya, pemuda itu menghela napasnya. Kemudian setetes air mata jatuh membasahi pipinya.
"Semua kejadian bagai terekam dan tersimpan dalam memoriku. Selamanya... dan tak mungkin terlupa."
...
Writer : Evelyn A Chandra

KAMU SEDANG MEMBACA
One Love For 10,000 Years
Roman d'amourSekuel dari Happiness For 10,000 Years *Happiness For 10,000 Years 2* Pernikahan yang seharusnya membawa kebahagiaan malah tidak terasa bahagia. Mary dilanda rasa bersalah dan menyadari bahwa pilihannya salah. Setelah kematian Alec, melalui sedikitn...