Chapter 13 : Request From Him

6 3 3
                                    

Beberapa hari setelah pertemuan Mary dengan Giarvin di Yayasan, Mary menjadi terus terbayang dan setiap hari mengharapkan kalau lelaki yang mirip dengan sahabatnya yang telah tiada itu kembali berkunjung ke Yayasan. Tray trolley berisikan makan siang untuk para lansia di yayasan itu di dorongnya menyusuri koridor dan ia pun lupa berhenti ke satu persatu kamar untuk membagikan makan siang itu. Dari ujung koridor Kennett bisa melihat kalau Mary tengah melamunkan sesuatu.

"Mer! Mer!" panggilnya dengan suara yang cukup keras.

Suara Kennett rupanya membuat lamunan Mary yang tengah berada dalam pikirannya berhamburan.

"Eh?" Mary terperanjat.

Kennett pun berlari kecil menuju Mary yang terdiam dengan masih menggenggam gagang tray trolley. Kennett menghampiri Mary dengan senyum manis di wajahnya.

"Mer... Kamu kenapa? Kok melamun begitu sih? Ada masalahkah? Ada yang bisa Aku bantu?" tanya Kennett dengan ramah.

Mary menggeleng pelan. Ia tak mungkin mengatakan kalau Ia tengah memikirkan seseorang saat ini.

"Oh begitu... baiklah. Kalau ada yang bisa ku bantu bilang saja ya. Jaga kesehatan, jangan sampai sakit ya." ujar Kennett seraya menyeka keringat di dahi Mary.

Sesaat setelah tindakan yang dilakukan oleh Kennett, Mary reflek menyeka keringatnya sendiri dan menjadi canggung. Berbeda dengan Mary, Kennett sama sekali tidak menunjukan wajah canggung. Ia malah tertawa pelan dan tersenyum menatap Mary.

"Mer, Bagaimana kalau nanti setelah pekerjaanmu selesai kita makan siang bersama?" tanya Kennett dengan hati-hati, Ia takut Mary menolak ajakannya.

Mary terlihat terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk seraya tersenyum. Wajah Kennett berubah menjadi sangat berseri-seri setelahnya. Kemudian Kennett pamit pergi, karena masih ada kerjaan yang menunggunya. Kennett pun meninggalkan Mary. Mary kembali teringat akan tugasnya saat ini dan segera melaksanakannya. Sampai di sebuah ruangan. Ruangan itu adalah ruangan yang di tempati oleh Nenek Giarvin, Carina. Seperti biasa, Mary mengambil makan siang dari tray trolley dan berniat mengantarkannya kepada Nenek Carina, sebelum Ia mendengar suatu percakapan dari dalam kamar sang Nenek.

"Gran... Come on ! Apa enaknya tinggal disini? Lebih baik tinggal di rumahku. Aku juga bisa bertemu Nenek setiap hari." ajak seseorang yang merupakan suara seorang pria kepada Nenek Carina.

Mary mengenali suara itu dengan baik dan sangat hapal akan suara tersebut.

"Gia? " batin Mary yang menerka-nerka.

Nenek Carina tampak tidak menjawab ajakan dari cucunya itu. Mary mengintip melalui pintu yang sedikit terbuka dan melihat Nenek Carina tetap membaca buku tanpa menghiraukan cucunya yang sedang meraung-raung membujuknya dengan susah payah. Mary memutuskan mengetuk pintu kamarnya dan melangkahkan kaki memasuki kamar tersebut. Nenek Carina menyambut baik kedatangan Mary.

"Mary"" Nenek Carina menyambut dengan antusias.

"Sepertinya Aku tidak di sambut sehangat itu ketika datang tadi." celetuk Giarvin yang sedikit cemburu dengan kedekatan Neneknya dengan Mary.

Mary menoleh ke arah Giarvin dan tersenyum simpul melihatnya cemburu dengan wajah lucu.

"Biarkan saja dia. Cemburu seperti bocah saja." canda sang Nenek.

Giarvin kemudian melipat tangan dan melihat ke arah yang berlawanan dengan Neneknya, seolah sedang bermusuhan. Mary hanya tertawa kecil melihatnya. Kemudian Mary meletakan sepiring makan siang di atas sebuah meja.

"Nek, ini makan siangnya ya. Harus dimakan agar Nenek semakin kuat dan sehat. Mary pamit ya. Mau antar ke yang lainnya juga. " Mary berpamitan dengan sopan.

Sang Nenek tersenyum dan mengangguk. Mary pun beranjak keluar kamar sembari beberapa kali curi pandang ke arah Giarvin yang duduk cuek. Setelah Mary keluar, tak lama kemudian Giarvin menyusul Mary. Baru saja gagang tray trolley itu di pegang Mary, tangan Mary malah di genggam oleh Giarvin dengan sedikit terburu-buru. Bukan hanya perasaan terkejut yang memenuhi benak Mary saat ini, perasaan senang yang luar biasa juga sangat membuncah.

"Tn. Gia? A-ada apa?" tanya Mary dengan sedikit terbata-bata.

Mary menatap sepasang mata Giarvin, ketika menatapnya, Mary merasa kalau ia sedang berhadapan dengan Alec saat ini. Namun kembali pada kenyataan, Alec yang di harapkannya hanya hidup dalam kenangannya saja.

"Aku ingin minta bantuan darimu!" jawab Giarvin tiba-tiba dengan suara yang pelan, setengah berbisik.

"Bantuan?" Mary kebingungan.

Giarvin menoleh ke belakang, ke arah kamar Nenek Carina beberapa kali, ia hanya memastikan kalau percakapan antara dirinya dengan Mary tidak di dengar oleh Neneknya yang keras kepala itu.

"Begitulah... Aku ingin kamu membantuku untuk membujuk Nenekku yang prinsipnya sekeras batu itu agar mau tinggal bersamaku... dirumahku. Bagaimana menurutmu?" Giarvin memohon bantuan dari Mary karena Ia merasa Mary lebih mampu untuk membujuk sang Nenek.

Permintaan yang baru saja diajukan Giarvin membuat Mary agak sedikit bingung karena terlalu mendadak. Tapi permintaan itu tidaklah terlalu sulit, sehingga Mary merasa kalau Ia sepertinya bisa membantu Giarvin.

"Apa yang membuatmu yakin aku bisa membujuk Nenekmu? Sedangkan Kamu yang cucunya saja tidak berhasil melakukannya?" tanya Mary sebelum mengiyakan permohonan Giarvin.

Mendengar pertanyaan Mary ia menghela napas. Giarvin kemudian menjelaskan kalau Neneknya itu tipe yang unik. Menurutnya, Neneknya itu lebih mendengarkan orang lain yang dianggapnya akrab ketimbang keluarganya sendiri. Terlebih Giarvin dapat melihat kalau Nenek Carina menganggap spesial keberadaan Mary disisinya.

"Hmm... ini bagaimana ya... Aku juga tidak tahu apakah Aku bisa, Tn. Gia." ucap Mary dengan wajah serius.

"Kau bisa panggil Aku Gia, tak perlu dengan kata 'Tuan'." pinta Giarvin.

"Baiklah, Gia."

Sebenarnya Mary memang hendak membantu, akan tetapi ia merasa harus meledek Giarvin dengan tarik ulur yang membuatnya tidak sabar. Dan benar saja, Giarvin menggenggam tangan Mary dengan erat dan menatap penuh harap dengan bujukan-bujukan yang manis hingga Mary bersedia mengatakan 'mau'.

"Baiklah. Tapi ada satu syarat!" Mary menjawab dengan permintaan.

"Apapun itu! Aku sanggupi asal kamu bisa membujuk Nenekku!" Giarvin pun menyetujui dengan antusias dan tanpa pikir panjang apa yang akan menjadi permintaan Mary.

Mary mengangguk-angguk seraya tersenyum, kemudian menatap mata Giarvin dengan penuh arti. Ia pun mengemukakan permintaanya dengan suara lembut.

"Aku hanya ingin menghabiskan satu hari penuh bersamamu dengan mengobrol dan bercerita bila Aku berhasil membujuknya." Mary berujar.

"Hanya itu?" tanya Giarvin bingung.

Mary tersenyum manis dan kembali menatap Giarvin dengan tatapan lembut.

"Betul! Hanya itu."


...


Writer : Evelyn A Chandra

One Love For 10,000 YearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang