Lampu berkerlip di sana sini dengan hentakan beat musik menggema hingga ke sudut yang paling dalam. Tidak secelahpun terlewat. Goyangan erotis di lantai dansa. Desahan karena tubuh bergesekan di sudut-sudut dan di manapun tempat tersembunyi.
Kuhempaskan tubuhku ke kursi tinggi setelah lelah bergoyang. Keringat membasahiku, gerah. Kuedarkan mataku menyapu seluruh ruang, memindai sosok Bella. Aku menyerah. Ia tidak kutemukan di manapun. Aku yakin ia sudah bergumul entah di kamar hotel atau di tempat lain dengan seorang laki-laki yang sejak kedatangan kami sudah langsung menempel padanya tanpa sempat memberitahuku.
"Brandy," seruku.
Bartender itu mengangguk tersenyum, menyediakan segelas kecil itu padaku.
Tanpa basa-basi langsung kutenggak tanpa peduli kesopanan cara minumku. Aku muak dengan kesopanan. Aku muak dengan aturan-aturan yang mengekangku. Aku muak dan patah hati, mengabaikan rasa terbakar di lidah dan tenggorokanku.Bayangan Andrew yang telanjang bulat di atas tubuh Brigitta dalam kondisi sama melintas di mataku, bahkan desahan dan erangan merekapun masih terngiang di telingaku. Brengsek!
Aku memberi isyarat pada bartender itu dengan jariku. Ia menyodorkan satu gelas lagi padaku. Rasa panas yang menyengat tenggorokanku membuatku berharap mampu melenyapkan bayangan erotis mantan kekasihku tadi pagi. Baru kali ini aku minum minuman sejenis ini. Tapi hatiku terlalu sakit untuk berpura-pura baik-baik saja.
Brengsek!
Aku merutuk lagi dalam hati.
Dua tahun aku menjalin hubungan dengan Andrew. Kujalani dengan penuh kehati-hatian dan kesetiaan. Tapi apa yang kudapatkan? Perselingkuhan! Pengkhianatan! Dasar kecoa comberan!Kepalaku mulai berputar. Wajah-wajah mereka tampak berbayang. Apa aku mabuk?
Kurasa tidak! Kata orang, mabuk bisa melupakan segalanya. Aku masih bisa merasakan sakitnya hatiku. Berarti aku belum mabuk bukan?"Baru pertama kali kemari?"
Aku menoleh, mengerjap berulang-ulang mendapati seraut wajah tampan dengan mata abu-abu gelap tersenyum tipis padaku. Kulihat sekelilingku, beberapa pria berpakaian hitam-hitam tampak siaga.
"Siapa namamu?"
Aku mengernyit mendengar pertanyaannya. Apakah ia bertanya padaku?
Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Tidak ada orang lain di sebelahku."Kau bertanya padaku?" aku menunjuk diriku sendiri.
Pria itu mengangguk masih dengan senyumnya.
"Aku? Apakah penting bagimu? Tapi baiklah... hik...perkenalkan, namaku Freyssa. Dan... stop! Jangan mengasihaniku....aku tidak akan menangis karena kebrengsekanmu, tuan Andrew Permata! Pergi saja sana ke neraka!" teriakku berdiri. Berusaha menegakkan tubuhku yang oleng.
"Freyssa. Hati-hati, Freyssa. Kau bisa jatuh," pria itu menahan tubuhku dengan lengannya melingkari pinggangku.
"Hahaha... apa kau pikir aku mau kembali padamu? Cih!" aku berusaha menepis lengannya. Kenapa laki-laki itu wajahnya berbayang dan berubah menjadi Andrew? Aku mengerjap beberapa kali.
"Dia minum berapa gelas?" tanya pria itu menoleh pada bartender.
"Hanya dua gelas kecil brandy, Tuan," bartender itu menunjukkan gelas kosong bekasku.
"Kenapa? Apa aku ... hik ...tidak boleh minum? Aku haus! Sini berikan lagi segelas padaku!" bentakku sewot.
"Kau sudah mulai mabuk, Frey," pria itu mengeratkan pelukannya.
"Aku tidak mabuk, Tuan tampan," aku terkikik menatapnya.
"Kau belum pernah minum sebelumnya?"
"Apa pedulimu? Hik... Hei, tambah minumnya! Apa kau pikir aku tidak sanggup membayar hmm?" pandanganku berbayang. Duh, kenapa sekelilingku berputar? Kepalaku sakit sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
In My Boss Arms
RomanceGak suka? Jangan baca! Khusus yang sudah berusia 21 keatas. Dilarang ngeyel, protes ataupun melakukan demo. Seperti biasa, cerita ini bukan untuk konsumsi anak-anak atau orang dewasa yang belum matang pemikiran dan diragukan kebijakannya dalam memba...