9

120K 6.9K 179
                                    

Kusentakkan lenganku hingga terlepas dari genggaman Dominic. Ia berbalik dengan cepat dan mengernyit menatapku tidak suka.

"Ada apa lagi?" tanyanya dengan suara rendah.

"Ada apa? Dom! Ini perlu diluruskan. Kita tidak bisa menikah!" aku menjerit tertahan.

Dominic memandangku tajam. Rahangnya tampak mengetat. Aku tau, ia menahan marah. Aku mundur dengan waspada. Bekerja padanya, menghadapinya setiap hari menbuatku semakin mengerti semua sikap dan sifatnya.

"Kita tetap akan menikah! Kamu tidak punya alasan untuk menolakku, Frey!"

"Kau belum mengenalku dengan baik, Dom."

"Tentu saja aku mengenalmu dengan baik. Bahkan aku tau dimana titik sensitif yang selalu membuatmu mendesahkan namaku setiap kali kusentuh," ucapan Dominic membuat wajahku terasa panas.

"Tidak bisakah kau menjaga ucapanmu?"

"Tidak ada yang salah dengan ucapanku, Frey. Apa yang kukatakan adalah kenyataan. Atau kamu mau menyangkalnya?" Dominic memandangku tajam.

Aku tidak bisa berkata-kata. Dominic benar. Ia selalu bisa mengaburkan kewarasanku dan menerima sentuhannya begitu saja. Tapi menikah?

"Sekarang ikut aku. Kita harus memesan cincin," Dominic kembali meraih pergelangan tanganku dan memaksaku mengikutinya,

"Kau yakin akan menikah denganku? Lalu, apakah aku harus menandatangani perjanjian seperti kau menjebakku dalam pekerjaan tidak lazim ini?" sindirku terpaksa mengikutinya.

"Hmm.... ide bagus. Akan kupikirkan nanti," jawabnya semakin mempercepat langkah lebarnya. Aku tersaruk-saruk mengimbangi langkahnya dengan heels sembilan senti-ku.

Ia membawaku ke sebuah toko perhiasan, menyuruhku memilih. Namun setelah ia sadar bahwa aku hanya melihat-lihat tanpa berniat memilih salah satu dari yang dipamerkan di etalase, Dominic mendengus lirih. Aku tau ia kesal, tapi ini salah satu bentuk pembangkanganku agar ia berpikir dua kali untuk tetap melanjutkan niatnya memaksaku menikah dengannya.

"Frey," aku menoleh saat mendengarnya menggeram pelan.

Dominic melambaikan tangan memberi isyarat agar aku mendekat.

"Tanganmu," ia menarik tanganku dan memasukkan salah satu cincin dari beberapa yang dipilihnya.

Aku jadi berpikir, mungkin jika aku bertingkah seperti wanita materialistis, Dominic akan mundur dan melepaskanku. Hmm.... apakah perlu kucoba?

.

.

🌷🌷🌷

.

.

Aku menyimpan satu set perhiasan di dalam lemari berikut sepatu dan baju yang harganya puluhan juta.
Aku ingat bagaimana Dominic memandangku dengan dahi berkerut. Biar saja ia berpikir bahwa aku perempuan yang suka memoroti laki-laki.

Suara ponselku terdengar nyaring. Bella! Rasanya sudah lama sekali aku tidak menghubunginya.Tentu saja! Ponselku disita Dominic dan baru saja dikembalikan padaku. Tapi memang kesibukan yang Dominic ciptakan membuatku sedikit melupakan Bella.

"Hallo Bella?"

"Frey, kemana saja kau? Kemarin ada yang menanyakan apartemenmu. Apa benar kau menyewakannya? Kau pindah kemana? Astaga! Baru kutinggal pulang seminggu, kau menghilang! Aku bahkan belum sempat bertanya darimana kau mengenal Dominic! Dia sahabat Alano, kau tau?"

Aku terkikik mendengar cerocosannya.

"Aku akan menceritakan semuanya," kataku duduk bersandar di kepala ranjang dan mulai menceritakan bagaimana aku pindah dari apartemen, sampai Mama Dominic mengatur pernikahanku dan Dominic.

In My Boss ArmsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang