Dominic membawaku ke sebuah restaurant. Dari penataan ruang dan cahaya, aku tau tempat itu sangat berkelas. Aku merapatkan diri ke tubuh Dominic. Angin malam yang menyapu bahu telanjangku membuatku sedikit menggigil.
Dominic meraihku dalam pelukannya, membawaku mengikuti waiter yang menunjukkan meja kami.
Waiter baru saja pergi setelah menghidangkan beberapa masakan.
"Kita kan belum pilih menu, kok mereka sudah menghidangkan makanan?" tanyaku setengah berbisik.
Dominic tertawa kecil.
"Aku sudah memesannya terlebih dulu saat reservasi, Sayang," jawabnya membuatku mengangguk paham.
Kami makan dalam diam. Sesekali mataku bersirobok dengan mata Dominic. Kilat di matanya membuatku merinding. Ada sesuatu dalam pikirannya yang membuat bulu kudukku meremang.
Aku baru saja meletakkan gelas tinggiku ketika Dominic meraih jemariku dan menggenggamnya lembut. Aku memandangnya sementara ia mengunci tatapan padaku.
"Frey, aku mau kita segera punya anak."
Kutatap wajah tampannya. Berusaha menyelami riak di matanya. Sekelebat dugaan melintas dengan cepat. Semakin aku menepiskan, semakin dugaan itu sering melintas, melambat dan mengendap.
"Kita harus lebih rajin bercinta agar kamu bisa segera hamil."
Aku teringat ungkapan cintanya, lalu perasaan meraguku. Apakah ini alasan yang ada di balik ungkapan cinta Dominic? Sejak awal dia mengikatku, mulai dengan perjanjian aneh hingga pernikahan ini, dia selalu mengatakan tentang anak.
Dengan gugup kuraih lagi gelas tinggiku dan meminum isinya hingga tak bersisa. Aku tidak tau harus bereaksi seperti apa, tapi ucapannya dan dugaanku itu membuat aku memikirkan hal-hal yang buruk.
"Frey?"
Aku menatapnya, lalu cepat-cepat menunduk. Genggamannya mengerat.
.
.
🌷🌷🌷
.
.
Aku beringsut pelan, melepaskan diri dari pelukan Dominic. Wajah damainya yang terlelap membuatku ragu. Apakah ini benar? Kupejamkan mata sejenak, lalu beranjak ke kamar mandi.
Kupandangi tubuh telanjangku dari pantulan cermin. Beberapa kissmark bertebaran di sana. Terutama di dada kiriku. Kugigit bibirku membayangkan apa yang semalam kami lakukan. Makan malam romantis, berakhir dengan pergumulan penuh gairah.
Menyadari satu hal, aku meraih tas-ku, mengambil botol kecil dan mengeluarkan isinya dan menelannya dengan cepat. Buru-buru kumasukkan kembali wadah kaca itu, menyempilkannya ke balik retsleting bagian tersembunyi dalam tas.
Pelan aku melangkah ke bawah shower, mulai membasahi diriku. Pikiranku berkecamuk hebat.
'Aku mau kita segera punya anak.'
Lalu setelah itu apa? Kenapa aku semakin meragu?
Tubuhku sudah sangat basah. Aku tidak peduli. Aku hanya diam, membiarkan guyuran air dingin itu menimpa kepala dan tubuhku tanpa ingin berbuat apa-apa. Sampai sepasang lengan melingkar dan mengusap perut datarku.
Aku berjenggit. Bagaimana aku sampai tidak mendengar kehadiran Dominic? Sejak kapan?
Kupejamkan mata ketika bibir Dominic menyusuri bahu dan tengkukku, membuat gelenyar aliran listrik merambati seluruh sendiku. Ia menyulutkan api gairahnya, mengajakku terbakar bersama dalam hasrat.
KAMU SEDANG MEMBACA
In My Boss Arms
RomanceGak suka? Jangan baca! Khusus yang sudah berusia 21 keatas. Dilarang ngeyel, protes ataupun melakukan demo. Seperti biasa, cerita ini bukan untuk konsumsi anak-anak atau orang dewasa yang belum matang pemikiran dan diragukan kebijakannya dalam memba...