Aku masih kesal. Dominic bersikeras tidak mau mengembalikan ponselku karena aku tidak mau menciumnya. Itu kan ponselku! Aku membelinya setelah mengurangi jatah belanjaku selama lima bulan! Meskipun dengan gajiku yang sekarang aku bisa langsung membeli ponsel itu tanpa harus menabung dan mencicil terlebih dulu, tetap saja itu ponsel kesayanganku.
"Kamu marah?" Dominic mengerutkan kening memandangku dari jarak dekat.
Aku melengos.
"Tidak! Mana boleh sekretaris marah dengan atasannya? Boss selalu benar! Bukan begitu Mr. Maxleon?" sindirku sinis.
"Hmmm.... benar juga...." ia mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di dagunya seolah berpikir keras.
Aku mendengus pelan, memalingkan wajahku darinya.
"Mengabaikan pihak pertama dan lebih tertarik pada obyek lain, sepertinya termasuk dalam menyalahi perjanjian itu," sindirnya ketika aku bertahan untuk memilih mengabaikannya.
Kalau saja mobil yang kutumpangi ini tidak sedang melaju kencang, ingin rasanya aku melompat keluar agar tidak berada di satu ruang yang sama dengannya!
Dominic menggeser duduknya ke tengah. Tangannya menarik pinggangku dengan kuat, hingga mau tidak mau aku bergeser menempel padanya.
"Nah, begini lebih baik," gumamnya tanpa melepaskan gamitannya.
"Kita sedang di mobil, Mr. Maxleon. Apa kata supir anda kalau ia melihat ini," bisikku menekan kekesalan atas sikap seenak perut Dominic.
"Kamu memerlukan privasi, Baby?" ia balas berbisik, mendekatkan bibirnya ke telingaku. Tangannya meraba tombol di pintu dekatnya dan kaca gelap perlahan naik membuat sekat antara ruang kemudi dan penumpang. Suhu di sekelilingku terasa meningkat perlahan.
"Ti-dak. Turunkan penyekatnya. A-aku uhm... saya perlu... eh-"
"Aku perlu denganmu, Freyssa Baby," ia makin merapat. Kepalanya miring dan mendekatiku. Bibirnya meraup bibirku dan melumatnya tanpa memberiku kesempatan menolak atau protes.
Gerakan bibirnya yang lembut mempengaruhi kewarasanku. Tanpa sadar aku melenguh pelan, mencengkeram krah jas-nya. Bibirku mengkhianati dengan bergerak membalas ciumannya. Tangannya yang berada di pinggulku meremas lembut, sedangkan sebelahnya lagi mengusap pahaku, menyusur naik menangkup dadaku, memberi pijatan lembut dan menggoda.
Mataku terpejam menikmati sentuhannya. Aku semakin melayang hingga suara Bima menginterupsi melalui interkom, bahwa kami sudah sampai di bandara.
.
.
🌷🌷🌷
.
.
Aku menunduk mengikuti langkah Dominic sambil merutuki diri. Bagaimana bisa aku terhanyut begitu mudah oleh sentuhan Dominic. Betapa malunya aku ketika menyadari bibirku pasti bengkak karena kebasnya sangat terasa.
"Kenapa berjalan di belakangku?" gerutu Dominic menarik tanganku, men-sejajarkan langkahku dengannya.
Aku pikir lebih baik aku diam dan menurut. Daripada aku tersesat karena tiket penerbanganku ada pada Dominic sehingga aku tidak tau harus masuk gate berapa.
Ia memberikan tiketnya ke petugas bandara. Penerbangan kelas bisnis ini baru pertama kalinya untukku. Jika bukan ikut dalam perjalanan bisnis Dominic, aku pasti tidak akan pernah merasakan betapa nyamannya duduk di kelas bisnis.
Seorang pramugari tampak melayani Dominic dengan senyum manis.
Aku mendengus pelan. Laki-laki di manapun sama saja. Dominic tentu senang mendapat pelayanan super manis dari pramugari itu!
Diam-diam aku mengalihkan pandanganku ke arah jendela dan memejamkan mata. Aku teringat pesan dari Andrew sebelum Nadia mengirimkan pesannya. Laki-laki itu meminta bertemu. Entah apa yang akan dibicarakannya, yang pasti aku enggan menemuinya. Untuk apa lagi bertemu? Hanya akan membuka luka lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
In My Boss Arms
RomanceGak suka? Jangan baca! Khusus yang sudah berusia 21 keatas. Dilarang ngeyel, protes ataupun melakukan demo. Seperti biasa, cerita ini bukan untuk konsumsi anak-anak atau orang dewasa yang belum matang pemikiran dan diragukan kebijakannya dalam memba...