Kupandangi sebuah lukisan besar bergambar tujuh ikan Koi. Si bapak paruh baya yang kemarin mengumumkan penerimaan karyawan itu mondar-mandir membawa berkas, menelpon sambil mengangguk-angguk.
Ia melihatku sesaat, lalu mengangguk sambil meng-iya-iya-kan dan menutup teleponnya, lalu duduk di depanku.
"Saudari Freyssa, pekerjaan anda sebelumnya apa?" tanyanya membetulkan kacamatanya yang melorot.
"Di bagian pembukuan, administrasi dan keuangan, Pak," sahutku apa adanya.
"Oh... tapi kalau di sini lowongan untuk pembukuan dan keuangan baru saja terisi kemarin," katanya mengamati CV-ku lagi.
"Ya, saya tau, Pak," anggukku menunggu.
"Apa anda mau jika ditempatkan sebagai sekretaris? Hanya itu lowongan yang ada sekarang," ujarnya mengamatiku sekarang sambil memelorotkan kaca matanya.
"Saya tidak punya latar belakang pendidikan sekretaris, Pak," jawabku.
Si bapak itu mengangguk-angguk.
"Tunggu sebentar ya," ia berdiri dan menuju ke meja yang berada di paling belakang.nada seorang perempuan berusia sekitar empat puluhan sedang mengamati layar komputer. Keduanya tampak terlibat pembicaraan serius.
Perempuan itu menelepon dengan suara pelan yang tak bisa kudengar dari tempatku duduk.
Wajah perempuan itu tampak memerah dan tegang. Beberapa saat setelah mengangguk-angguk tidak jelas, ia menutup teleponnya dan mengatakan sesuatu pada si bapak paruh baya itu.Hmm... siapa sih nama si bapak? Name tag-nya terbalik, jadi aku tidak bisa membaca namanya.
"Saudari Freyssa, anda tunggu di sini sebentar. Saya akan mengambil berkas perjanjian kerjanya dulu," laki-laki itu bergegas keluar ruangan HRD tanpa menunggu jawabanku ataupun menoleh padaku. Tampaknya ia terburu-buru.
Aku kembali menghadap ke depan. Tampak si ibu yang duduk di belakang tadi membuang pandangannya begitu mataku bertemu dengan tatapannya.
Hampir seperempat jam aku menunggu si bapak, akhirnya ia kembali membawa tiga lembar kertas, lalu mengambil dua lembar lagi di laci mejanya.
Ia duduk kembali di depanku.
"Saudari tanda tangani surat perjanjian kerja di sini dan di sini," ia menunjukkan tempat dimana aku harus tanda tangan.
"Jadi? Saya diterima?"
"Ya. Kamu diterima bekerja di sini," ujarnya memberikan pena-nya untukku tanda tangan.
"Jadi saya bekerja di bagian apa?" tanyaku setelah membubuhkan tanda tangan.
"Sekretaris. Tadi Pak Boss bilang, pekerjaan sekretaris bisa kamu pelajari pelan-pelan."
Aku mengangguk. Ya sudahlah, dari pada tidak mendapat pekerjaan.
"Kapan saya mulai kerja, Pak?"
"Lha kamu bisa mulai kerja kapan?"
Ini bapak kenapa lucu amat ya? Aku bertanya, dia malah tanya balik.
Dering telepon membuat mulutku kembali mengatup.
"Tunggu," bapak itu memberi tanda dengan jarinya dan mulai melantunkan salam khas lalu raut wajahnya berubah serius, mengangguk-angguk dan menjawab 'ya' dengan takzim.
.
.
.
🌷🌷🌷
.
.
.
Hari ini hari terakhirku di kantor lama. Dinta menggerutu beberapa kali karena ia masih belum menguasai dengan benar pekerjaan yang kulimpahkan padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
In My Boss Arms
RomanceGak suka? Jangan baca! Khusus yang sudah berusia 21 keatas. Dilarang ngeyel, protes ataupun melakukan demo. Seperti biasa, cerita ini bukan untuk konsumsi anak-anak atau orang dewasa yang belum matang pemikiran dan diragukan kebijakannya dalam memba...