26

2.6K 235 42
                                    

Mereka bertiga tengah duduk di salah satu meja rumah makan padang di daerah kantor ayah wira. Yah, karena realita tak seindah ekspetasi. Percayalah, rumah makan padang di jogja jauh lebih menjamur daripada café café elit yang selangit.

Suasana tegang sangat tergambar jelas dimeja ini. Tatapan satya yang mengintimidasi wira dan jeje. Sedangkan yang terintimidasi saling menguatkan dengan menautkan kedua tanganya dibawah meja.

"Satya kecewa"

Hanya satu kata, kecewa.  Namun kata tersebut mampu menghancurkan wira. Ingin wira menjelaskan sesuatu. Namun, keduanya sudah sangat jelas. Tak ada lagi yang harus dijelaskan.

Tangan kanan wira memegang tangan kanan satya yang sedari tadi diatas meja.

"Satya.... Maaf.."

"Aku gabutuh permintaan maaf mas. Gak akan ada yang berubah"

"Mas mohon satya, mas gabisa ngejauhin mas jeje"

Sesuatu yang telah ia tahan akhirnya keluar juga. Menetes, hanya menetes. Tanpa suara ataupun isakan.

"Gausah nangis. Cowo ko nangis, mana di tempat umum lagi. Malu maluin"

Wira yang mendengar penuturan pedas adiknya hanya bisa diam dan menundukkan kepalanya. Meremas tangan yang sedari tadi menguatkanya.

Cukup sudah jeje melihat Kesayanganya diperlakukan seperti itu. Dia tak peduli lagi bahwa yang didepanya adalah calon adik iparnya sendiri.

Jeje menatap tajam satya.

"Satya.... Gue ga peduli lo siapa dan seberapa besar pengaruh lo buat wira. Tapi jangan pernah sekalipun lo buat kakak kandung lo nangis. Lo bener mau wira minta maaf atau ga gaada yang berubah. Jangan pernah sakitin kakak kandung lo selagi lo masih nganggep dia kakak."

Jae menarik wira meninggalkan rumah makan tersebut menuju motornya. Memakaikan yang lebih muda helm lalu menghidupkan motor brian. Terimakasih kepada brian yang motornya selalu dirumah. Jeje harus beli motor sepertinya.

Melajukan mesin tersebut menuju kos kosan nya. Jeje merasakan pelukan erat wira diperutnya dan kepala wira yang terbenam di punggungnya.

Sungguh, senakal nakalnya jeje, dia tidak akan membuat kakak kandungnya menangis. Apalagi menangis karenanya. Dia paling membenci orang yang tidak menghargai persaudaraan.

Setelah memarkirkan motor brian di garasi, jeje segera menarik wira kekamar. Beruntung kos kosan sedang sepi. Mungkin brian tengah kerumah bapak Arifin. Sedangkan saka dan dafa, entahlah, menikmati waktu terakhir mungkin.

Jeje mendudukan wira dikursi belajarnya. Meski kini wira tidak menangis lagi sorot matanya masih menunjukan kesedihan yang dalam.

Jeje mengelus kepala wira sebentar, melepaskan pakaianya, mengambil handuk lalu melangkah kearah kamar mandi.

Memasuki kamar mandi dengan setengah hati, menyalakan shower lalu berdiri di bawahnya. Memikirkan kejadian tadi dan kemungkinan kemungkinan yang akan terjadi.

Menghela nafas panjang lalu membersihkan dirinya. Beberapa menit berselang dia keluar dari kamar mandi. Dikejutkan oleh wira yang tiba tiba didepanya. Ekspresi wira sungguh tak dapat ditebak.

"Astagfirullah ra, ngagetin aja kamu"

"Cepet minggir mas, wira mau fap fap"

"Eeh ?! Kamu masih kecil astagfirullah wiraa"

Jeje mencubit pipi wira yang terlihat semakin tirus.

"Bwecwandwa wih mwasss. Lwepwsss"

"Iya iya mas lepas. Oh iya ra, nanti bantuin mas bilang ke saka sama brian ya"









"Bilang apa mas?"

/Brian ganggu mulu napadah -_-/

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 16, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

You AreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang