Bab 5

507 68 28
                                    

Emma terlambat setengah jam ke tempat Andre. Itupun karena ia mengemudi dengan kecepatan tinggi dan nyaris tidak memperhatikan keselamatan sesama pengguna jalan.

"Maaf, telat," ucap Emma singkat.

"Emm... aku tahu kanu marah gara-gara tadi siang. Tapi jangan begini dong caranya... Kalau aku ketinggalan pesawat kan lain ceritanya... Kontrak besar nih!" omel Andre ketika Emma sampai di rumahnya. Andre memasukkan kopernya ke bagasi dan segera melompat ke kursi penumpang di sebelah Emma. Kemudian Emma langsung tancap gas menuju bandara.

"Emma, soal tadi sia..."

"Kalau kamu mau membicarakan hal itu lagi, lebih baik sekarang kamu pesan taksi deh Ndre" potong Emma ketus.

"Emm... please give him a chance..." bujuk Andre.

"Kalau kamu masih membicarakan hal ini, aku turunin kamu di sini!" ancam Emma sambil menghentikan mobilnya di pinggir jalan.

"Tapi Emma, dia ayah kita."

"Diam Ndre!" bentak Emma. "Sekali lagi kamu berusaha membujukku untuk hal itu, aku nggak akan pernah mau berbicara lagi sama kamu."

"Aku nggak akan diam Emm. It's not healthy for your soul... Lihat dirimu sekarang. Tak pernah sekalipun kamu membuka hati untuk laki-laki. Yang perlu kamu lakukan adalah berdamai dengan diri sendiri, maafkan Papa dan kamu pasti bisa menjalani hidup kamu dengan bahagia. Baik kamu maupun Papa, tidak ada satupun yang bahagia."

"Yeah right.... Memang kamu bahagia? Selama ini toh juga kamu selalu berganti-ganti pacar. Tidak pernah berdamai dengan dirimu sendiri. Masalah ini, kalau kamu belum bisa melakukannya pada dirimu sendiri, jangan coba-coba menasehati aku!"

"Oke....Is it that deep?" tanya Andre yang dijawab Emma dengan keheningan yang menyesakkan. "Right, then. I proposed a truce?"

"Truce" sahut Emma.

"Ngomong-ngomong, untuk cocktail party itu kamu mau konsep yang bagaimana?" tanya Emma sambil berusaha mengalihkan pembicaraan ke subyek yang lebih netral.

"Terserah kamu, yang pasti sekarang ini aku pergi ke Melbourne untuk bertemu dengan orang itu, nanti aku email detailnya paling lambat besok sore" jawab Andre.

"Wah, sepertinya orang penting dan berpengaruh" celetuk Emma, yang dibenarkan oleh Andre dengan sebuah anggukan singkat. Selama perjalan menuju bandara, mereka berdua akhirnya hanya membicarakan hal-hal yang ringan dan hal-hal seputar pekerjaan saja.

Dua jam kemudian, ketika mereka sudah berada di bandara, Emma memarkir mobilnya di lapangan parkir dna menemani Andre turun ke lobby. Sambil menggendong back pack yang terisi penuh, Andre berjalan menuju tempat check in. Untunglah ia belum ketinggalan penerbangan.

"Bye Ndre... Jangan bikin masalah di negeri orang. Take care ya... I'm gonna miss you. Pakai jaket kalau kedinginan, jaga kesehatan, minum vitamin, jangan sampai sakit!" berondong Emma sebelum andre boarding menuju Melbourne.

"Oke deh, kamu persis seperti Mama... Aku janji akan jaga kesehatan" janji Andre sambil tersenyum lebar. Lalu Andre menundukkan kepalanya, mencium dahi Emma dan berbisik di telinga Emma "Emm, tolong pertimbangkan lagi masalah tadi siang, ya..."

Tanpa memberi waktu kepada Emma untuk bereaksi pada permintaannya, Andre berjalan meninggalkan Emma dan memasuki launge untuk check in. Emma hanya dapat terdiam memandangi kakaknya pergi menjauh, sementara permintaan kakaknya itu masih terngiang di telingannya dengan jelas.

Ketika menjejakkan kakinya di bandara ini, matanya langsung menangkap bayangan sesosok gadis yang mengenakan setelah berwarna hijau lumut. Gadis itu masih mengenakan pakaian yang sama dengan yang ia kenakan tadi siang. Tony mengamati gadis itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sempurna.

Diamatinya mulai dari kakinya yang mengenakan sepatu model tali berwarna hitam, naik ke tungkainya yang langsing dan panjang. Badannya yang terbalut terusan hijau lumut itu tampak langsing dan proporsional, tidak menampakkan kelebihan lemak sedikitpun. Rambutnya sebahu, dimodel bob dengan sedikit sentuhan layer di samping wajahnya menampah keindahan wajahnya yang oval. Matanya bening, terlihat seperti sedang menerawang. Hidungnya mancung, tapi tidak lebar. Bibirnya tampak penuh dan minta dicium, dipoles dengan warna merah muda. Seperti tadi siang. Tony terpesona.

Namun semua itu buyar. Perutnya serasa ditonjok ketika ia mengenali lawan bicara gadis itu. Kepalanya serasa dihantam palu ketika ia melihat adegan mesra diantara kedua orang tersebut. Namun pemandangan ini makin membuatnya bertekad untuk mendapatkan gadis itu. Berapapun harga yang harus ia bayar.

William. Cukup sekali ia merebut segalanya dariku. Kehidupanku, ceriaku, cintaku, kepercayaanku.

"Hmmm.. adegan yang mesra sekali. Sebuah ciuman perpisahan? Saya rasa, pacarmu termasuk romantis, tapi kok jadi ingat, mukanya familiar. Ah ya, pernah masuk lambelambe sebagai nominator playboy cap wahid yang suka memacari artis cabe" sebuah suara berat mengagetkan Emma.

Emma yang merasa tersinggung mendengar ucapan itu langsung berbalik badan ingin menghardik orang yang berkata demikian. Tapi alih-alih ia bisa marah, Emma hanya terdiam terpaku. Ia menemukan sepasang mata dengan sorot tajam yang memperhatikannya. Emma harus mendongak untuk balas memandang pria itu. Sejauhmata memandang, posturnya sempurna. Bahunya bidang, tegap, tanpa ada tanda-tanda over weight. Wajahnya tampan dengan hidung aristokrat dan bibis yang tipis tapi sexy. Bukan jenis tampan manis seperti yang dimiliki Andre, tetapi ada kesan keras dari wajah itu. Namun yang menyihirnya adalah matanya yang tajam itu. Tatapan itu mampu melelehkan salju di kutub utara.

"Maaf, tapi itu sama sekali bukan urusan Anda!" hardik Emma. Dalam kejengkelannya, wajah Emma merona merah yang membuatnya nampak lebih mempesona.

"Kamu tambah memikat ketika sedang marah rupanya" sahut lelaki itu.

"Maaf, saya tidak menerima gombalan receh" balas Emma.

"Coba saja dulu, receh-receh kalau dikumpulkan akhirnya gunung juga lho. dipastikan saya bisa memberi lebih dari kekasihmu itu" balas lelaki itu sambil mengedipkan sebelah matanya.

Emma hendak membalas ucapan lelaki itu, namun lelaki itu sudah mulai berjalan menjauhinya. Emma yang kesal memutuskan untuk menelan kemarahnnya sendiri tanpa harus menarik perhatian banyak orang dan mulai berjalan menjauh menuju ke mobilnya di lapangan parkir.

Ketika sedang mencari kunci mobilnya di dalam tas, tiba-tiba Emma merasakan kehadiran, dengan mendengar suara rendah yang tak asing lagi.

"Rupanya kita bertemu lagi" seru sebuah suara.

Emma menengok, dan mendapati sekali lagi dirinya tersihir oleh tatapan mata yang dalam itu. Sebelum sempat Emma merespons, pria itu membuka pintu BMW X5ii nya, masuk kedalamnya dan menyalakan mesinya. Tidak mau kehilangan harga dirinya, Emma memutuskan untuk mengabaikan pria itu dan membuka pintu mobilnya. Namun rupanya pria itu masih ingin mengusiknya. Tiba-tiba mobil itu berhenti tepat di sampingnya dan kaca jendelanya terbuka.

"Kau tampak sangat menawan, berdedikasi tinggi dan terpelajar. But that guy of yours, he's not worhted. Lelaki pilihanmu itu sama sekali tidak sepadan dengan dirimu!" ujar pria itu sambil menebarkan senyum nakal.

"Maksud anda? Seperti apa yang pantas?"

"Mungkin seperti saya? Saya jamin, saya tidak punya track record playboy kelas kakap. Dari penampilannya kekasihmu tergolong pemberi janji dusta kepada para perempuan."

"You don't know him!" bentak Emma kesal mendengar lelaki ini menghina kakaknya.

"But I do know that I want you" balas lelaki itu sambil memandang Emma lekat.

"Well, you sound like one of those guy you critizied just now" sergah Emma galak. "Playboy." Ujarnya lebih lanjut sambil memandang sinis pria yang sekarang membuatnya terpesona dengan senyumannya dan marah sekaligus. Senyum tipis pria itu membuat jantungnya berdetak sedikit lebih kencang.

"Hahahaha.. tetapi menawan kan sampai kamu terpesona?"

Emma mengedipkan matanya, emosi Emma semakin tidak terkontrol. "Itu sama sekali bukan urusan Anda!" bentak Emma.

Pria itu hanya tersenyum. "Sampai berjumpa lagi" ujarnya seraya menjalankan mobilnya.

"Pria arogan yang brengsek!" maki Emma kesal sambil masuk ke dalam mobilnya.

(BUKAN) TARUHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang