Bab 2

804 98 9
                                    

Emma berkali-kali melirik jam tangannya. "Sialan! Lima menit lagi dia tidak datang, gue tinggal juga, nih!" rutuknya dalam hati. Namun, tak lama kemudian bibirnya tersenyum kecil melihat sosok yang terburu-buru masuk ke dalam kafe.

"Maaf, Sayang, aku telat... Tadi ada kecelakaan di pabrik. Aku harus mengurusi pabrik, belum lagi pekerja yang terluka. Aku harus bolak-balik ke RS, kemudian mengurus asuransi. Maaf, ya, Emmm.." ujar Andre begitu ia sampai di meja Emma.

"Pernah denger yang namanya teknologi whatsapp, nggak, sih? Atau setidaknya telepon aku, dong, kalau kamu terlambat. Bikin orang cemas aja! Sebel, tahu, nunggu sendirian satu jam!" Emma merajuk.

"Maaf, deh. Handphone aku habis baterainya. Maaf, ya, Sayang... Ya?"

"Ya sudah. Aku dah menunggu satu jam lebih di sini. Mana pakai bolos bimbingan. Aku gak lulus-lulus salah kamu, ya! Jadi to the point aja, ya. Ada masalah penting apa sampai kamu maksa aku datang ke sini?" tanya Emma.

"Sebentar dulu, deh. Belum tarik napas, nih... Aku pesan dulu, ya. Sudah kelaparan. Tadi pagi aja nggak sempet sarapan," sahut Andre.

Emma kemudian memanggil pelayan. Lalu mereka berdua memesan makanan. Berhubung Emma sudah sedikit kenyang, ia hanya memesan sepotong cheese cake dan secangkir latte. Sementara Andre memesan T-bone steak dan sebotol bir, yang segera ia santap habis segera setelah pesanannya disajikan.

"Ish... Siang-siang udah ngebir aja. Baik-baik kepanasan!"

"Hehehe... Daripada nge-wine bikin ngantuk. Oke deh, gini..., jujur saja. Aku punya masalah besar. Aku harus ke Melbourne selama sebulan. Sementara itu ada klien penting yang harus ditangani. Kami harus membuat sebuah sambutan kecil. Tapi kamu tahu sendiri dong, Say, sambutan kecil yang berarti..." Andre sengaja menggantungkan kalimatnya. Lalu ia memanggil pelayan dan memesan secangkir kopi.

"Yeah... I know what you mean. Jadi kamu mau aku menangani acara ini?"

"Benar sekali. I won't be in Jakarta until D-day, and will go back to Melb the day after. Please, Emm... Aku nggak tahu lagi harus gimana," kata Andre sambil memasang wajah memelas.

"Oke kalau begitu. Aku mau membantu."

"Dua minggu lagi."

"Apaaa? Mana bisa, sih?! Itu mepet banget. Bisa aja, sih, tapi..."

"Tapi apa, Emm? Sebut saja, pasti aku turuti."

"Tapi bayarannya tiga kali lipat. Waktunya terlalu singkat. Ini mewajibkan kru aku kerja rodi. Jadi, aku juga harus memberi bonus untuk mereka."

"Deal! Mau empat kali lipat juga rela, kok. Aku kasih ekstra bonus, deh, kalau sukses," ujar Andre.

"Ga perlu, lah, sampai segitunya. Nanti aku kasih win-win price."

"Atur aja, lah," sahut Andre sambil meminum kopi Emma. "Oh ya, aku berangkat ke Melbourne-nya hari ini, flight jam tujuh. Kamu anter aku ke bandara, ya?"

"Beres. Ndre, ada bekas kopi, tuh, di atas bibir kanan kamu," kata Emma.

Andre secara refleks mengangkat tangan kanannya untuk mengelap sisa kopi itu dari bibirnya. Akan tetapi Emma mendahuluinya dengan menggunakan tisu.

"Kamu itu jorok banget, sih. Biasain pakai tisu atau serbet, dong." tegur Emma.

"Iya, deh, Emm.... Maaf, sudah kebiasaan dari dulu. Susah dihilangkan. Lagi pula di rumah kan tidak ada perempuan yang membiasakan sopan santun," jawab Andre.

Emma terdiam mendengar perkataan Andre itu. Lalu ia menyahut, "Ada atau tidak yang ngingetin, jangan jorok, deh! Nanti nggak laku di pasaran, lho... Rugi!"

"Ngomong-ngomong, aku ada satu permintaa lagi, Emm," pinta Andre dengan wajah yang sangat serius.

"Ada apa? Kalau aku bisa bantu, pasti aku bantu."

"Ehm... sebentar lagi aku mau mengadakan pesta ulang tahun. Besar-besaran. Budget-nya tidak terbatas. Pokoknya aku mau yang fenomenal. Undang semua orang. Pakai artis juga, kalau perlu undang tu Black Pink yang heits banget, siiisss."

"Wow.... ada angin apa, nih? Buat siapa?" tanya Emma penasaran. "Oh, aku tahu... for your girl friend, ya? Future wife? Akhirnya.... mapan juga kamu. Pasti orang ini spesial banget, ya, sampai kamu mau bikin acara istimewa untuk ulang tahunnya."

"Sebenarnya, Emm, ini alasan utama aku memanggilmu kemari."

"Oke, aku mendengarkan. Kamu hanya perlu memberikan garis besarnya, biar aku yang mengurus detailnya," sambut Emma antusias.

"Orang ini memang spesial. Dia, ehmm... Papa, Emm.." ujar Andre agak gugup.

Emma hanya terdiam. Disesapnya sekali lagi, dilapnya mulutnya dengan tisu kemudian bangkit berdiri.

"Emm..., tunggu dulu, dong," pinta Andre.

"Kalo kamu memanggil aku, membuat aku menghabiskan satu jam seperti orang bodoh hanya untuk mendengar sampah seperti itu, percuma!" sembur Emma.

"Emma, please... Tunggu dulu."

"Aku tidak mau tahu! Titik!" ucap Emma sambil berjalan ke pintu keluar dengan dagu terangkat tinggi.

"Emma tunggu dulu!" sahut Andre. Andre ingin mengejar, namun ia teringat bahwa mereka belum membayar. Ia mengambil sejumlah uang yang lebih dari cukup untuk membayar semua pesanan mereka berdua dan berlari keluar mengejar Emma.

Dari tempat duduknya, Tony dapat melihat kejadian itu dengan jelas.

"Tony... Tony.... Tony... Mars to Earth... Jangan ngelamun!" kata Doni.

"Gue nggak ngelamun, kok. Cuma lagi mikir strategi buat dapetin cewe tadi" jawab Tony.

"I see that look in your eyes... Don't play with fire if you don't want to get burn, Ton!" Chris memperingatkan.

"Tapi hebat juga cewe itu. At least, she made him pay the bill without making out. Samber aja, kalau perlu all out! Hehehe..." saran Leo.

"Gue pasti menang. Dia akan menjadi milik gue!" janji Tony. "Oh, ya, Don, kasih ke gue sini, minta kartu nama tadi!" 

(BUKAN) TARUHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang