Bab 7

448 61 24
                                    

Emma memandangi gedung itu dengan  dengan suasana hati tak menentu. Jantungnya berdebar kencang. Ia merasa seperti anak kemarin sore yang baru pertama kali akan mempresentasikan makalahnya dihadapan guru dan teman-teman sekelasnya. Proyek kali ini harus tembus jika ia masih ingin mempertahankan kelangsungan hidup perusahaannya dan mata pencaharian bagi karyawannya. Setidaknya pendapatan dari proyek ini dapat menutup setengah dari keseluruhan hutangnya.

Gedung itu tampak sangat megah dan futuristik. Interior lantai 14 lebih mempesona lagi. Sesuai dengan image yang ingin diciptakan oleh Chain Tech sebagai salah satu perusahan berbasis teknologi muktahir yang bonafid. Emma memasuki lobbynya. Lobby itu didekorasi dengan nuansa minimalis yang memberikan kesan dingin dan angkuh. Dengan berbagai macam alat detektor logam dan banyaknya petugas keamanan yang harus dilewatinya sebelum mencapai lobby utama. Di lobby utamanya, nuansa hitam dan abu-abu keperakan mendominasi dekorasi ruangan itu. Meja resepsionis terbuat dari marmer berwarna hitam sementara furniturnya minimalis modern dengan dudukan berwarna hitam dan pegangan dari besi keperakan. Semuannya mencerminkan kemajuan dan kesederhanaan yang ditawarkan oleh kecanggihan teknologi yang mereka tawarkan.

Selepas memandangi kemisteriusan dekorasi lobby utama Emma berjalan menuju lift. Hatinya berdebar-debar memikirkan kemungkinan proyek ini ia peroleh. Selama perjalanan ke atas, Emma tidak henti- hentinya berfikir mengenai orang yang akan ia temui. Akankah negoisasi itu akan berjalan dengan lancar. Ataukah berakhir buruk? Apakah orang yang akan mewawancarainya nanti baik. Apa malah sebaliknya cerewet dan demanding.

Ketika pintu lift terbuka terpampang dihadapannya sebuah gang yang terkesan anggun namun sekali lagi terpeancar aura dingin. Semuanya senaukin membuat Emma gelisah. Dengan guguo ia melangkah kedalam ruang yang didominasi warna hitam itu. Digemgamnya dengan erat lap topnya serta tas berisi portofolio perusahaannya.

Seorang perempuan muda berwajah cantik menyambutnya di front desk.

"Maaf, ada yang bisa saya bantu?"

Emma berdeham, kemudian menjawab "Nama saya Emma, dari Lavender Event Organizer. Saya sudah membuat janji dengan Bapak Anthony Chandra."

"Baik, ditunggu sebentar. Resepsionis itu mengangkat telepon dan berbicara sebentar. Setelah beberapa saat mendengarkan telepon itu ditutup.

"Maaf Bu Emma, Bapak sedang rapat. Mohon ditunggu sebentar."

"Baik. Terima kasih" jawab Emma.

Emma kemudian duduk di sofa yang sengaja disediakan di ruang tunggu itu. Tangannya mendadak menjadi dingin. Diliriknya jam di pergelangan tangannya. Kira-kira berapa lama ia akan menunggu, pikirnya.

Namun di tengah-tengah lamunannya, ia dikejutkan oleh suara resepsionis tadi.

"Bu, silahkan masuk. Bapak sudah menunggu. Silahkan ikuti saya"

Resepsionis itu membuka sebuah pintu besi besar yang menghubungkan ruangan para eksekuitf dengan ruang tunggu tamu.

"silahkan masuk Bu, mohon ditunggu sebentar."

Ternyata ia dihantarkan ke sebuah ruang rapat yang sangat luas. Dengan dekorasi semi modern-etnik, perpaduan yang khas. Peralatan presentasi terpampang dengan lengkap disitu. Mulai dari over head projector sampai ke LCD. Emma memegang portofolio perusahaannya dengan erat.

Emma menunggu dengan gelisah. Dilihatnya bayangannya di kaca jendela ruangan itu. Ia tampak profesional. Ia mengenakan kemeja biru langit dan celana bahan beige, dipadukan dengan blazer berwarna beige juga. Rambutnya digulung ke atas dengan rapi, menampilkan lehernya yang jenjang.

Tidak berapa lama kemudian pintu ruang rapat itu terbuka dan masuk seorang pria. Emma menahan napasnya dengan tegang. Ia harus memperoleh proyek ini tekadnya.

(BUKAN) TARUHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang